Ekses Pemerintahan Oligarki:
PSN atas PIK dan BSD merupakan Kebijakan Sesat
Oleh: Eddy Junaidi (Hastha Brata Institute)
Apa dasar Joko Widodo mengeluarkan kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk Pantai Indah Kapuk (PIK) dan Bumi Serpong Damai (BSD)?
Bermula dari usulan Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk pengembangan wisata terpadu dengan pengembangan PIK di Pantai Indah Kapuk ke arah Kabupaten Tangerang dan Serang sampai 9 Kecamatan. Proyek PIK dimiliki oleh Aguan (Sugianto Kusuma) dan Anthony Salim (dua dari Sembilan Naga).
Proyek BSD (eksis 6.000 hektar), dan akan ekspansi ke arah Parung. BSD juga dimiliki oleh salah satu Naga, yakni keluarga Sinar Mas.
Dasar utama bagi sang taipan sebagai oligarki, tentu untuk keuntungan pribadi (perusahaannya), namun bagi Joko Widodo adalah penyimpangan. Konon dibuka oleh Said Didu kala latar belakang keluarnya Peraturan Presiden sebagai PSN karena negara mengucurkan dana masing-masing Rp 20 triliun, padahal dikucurkan hanya 50% untuk dua perusahaan, sedangkan sisa Rp 20 triliun untuk dana IKN. Ini bentuk pengelolaan keuangan negara yang ugal-ugalan (despotik) dari Joko Widodo.
Dampaknya bagi masyarakat yang terkena objek pembebasan lahan sungguh fatal, karena diusir paksa dari lahan yang sudah turun-temurun ditempati. Konon pembebasan hanya dengan harga Rp45.000–Rp55.000 per meter, padahal mereka menjual bisa mencapai Rp35-45 juta per meter, sungguh terjadi simbiosis mutualistis dengan ekses kebijakan pengaruh oligarki ini.
Ekses Pemerintahan Oligarki
Proyek PIK dengan Label PSN merupakan Ancaman Geostrategis dan Geopolitik (Joko Widodo harus Bertanggungjawab)Di era Orde Baru, kita ingat warga korban Waduk Kedung Ombo yang jelas-jelas untuk kepentingan rakyat sendiri manfaatnya. Bagaimana jika yang menggusur adalah swasta, dengan cara tidak manusiawi, dengan label PSN (Proyek Strategis Nasional).
Pantai Indah Kapuk (PIK) yang dimiliki oleh pengusaha Aguan dan Anthony Salim, dengan progresif mereka ekspansif melakukan pembebasan lahan dengan harga per meter kisaran Rp40.000–Rp60.000,- padahal NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) rata-rata di daerah tersebut adalah lebih dari Rp100.000 per meter. Nantinya mereka akan menjual kembali, dan harganya bisa mencapai Rp30 juta – Rp40 juta per meter. Jauh dari rasa keadilan.
Bisa kita tanyakan kepada Aguan, jika dari sembilan kecamatan yang digusur itu ada komunitas Tionghoa, apakah dia akan menggusur seperti saat ini? Warga Teluk Naga (Tangerang) sudah lama bersengketa dengan developer PIK. Kita mendengar berbagai tindak kekerasan bagi warga yang tidak mau menjual tanahnya. Rekaman di Youtube dari Said Didu dan Alvin Lim, cukup menjelaskan semua yang terjadi. Karena Youtube-nya viral Said Didu diadukan oleh masyarakat setempat (yang merasa diuntungkan oleh proyek tersebut) kepada POLRI dengan kasus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), persis seperti era Kolonialisme dengan VOC, politik “adu domba”. Mudah- mudahan POLRI tidak mau diperalat.
Semua berkat label PSN, dan terkesan bahwa selama sepuluh tahun kepemimpinan Joko Widodo adalah “kacung” investor dan anti rakyat. Hal ini salah satu ekses pengaruh oligarki.
Sampai pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 2024 nanti, dua developer dengan label PSN akan mengoptimalkan pembebasan lahan, mumpung harga bisa murah sebagai PSN.
Dengan dasar apa Joko Widodo memberi label PSN kepada dua developer tersebut? Masyarakat di sekitar dua proyek tersebut berbuat dosa apa terhadap Joko Widodo sehingga tega memberikan “azab” kepada mereka? Digusur dengan harga penggantian tak layak adalah proses pemiskinan negara secara sistematis dan massif. Sadarkah tuan Presiden akan hal itu?
Joko Widodo dalam setiap kebijakannya terkesan tidak mempertimbangkan nasib rakyat. Seolah menggunakan kacamata kuda untuk menjadi ‘’kacung’’ investor. Apa dasarnya? Jelas hal ini berkaitan dengan Aguan (Agung Sedayu) sebagai pimpinan konsorsium pengusaha pendukung proyek IKN (Ibu Kota
Nusantara). Franky Oesman Widjaja (Sinar Mas) juga anggota konsorsium, yang keduanya dikenal sebagai bagian dari Sembilan Naga (oligarki). Dengan dukungan mereka terhadap proyek IKN, mereka mendapat kompensasi label PSN pada proyek PIK (Pantai Indah Kapuk) dan BSD (Bumi Serpong Damai).
Bayangkan rakyat Jakarta dan Banten (9 kecamatan) dari Tanjung Priok sampai wilayah Banten akan menjadi obyek penggusuran, tidak lagi bisa menikmati pantainya sejauh puluhan kilometer. Ini negara milik rakyat Indonesia atau negara milik para taipan?
Prabowo Subianto setelah dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia harus membatalkan label PSN untuk swasta, dengan dasar tidak ada sama sekali kepentingan negara, selain kepentingan komersial para taipan. Cukuplah ketimpangan ekonomi yang menggugat rasa keadilan sosial terjadi, jangan ditambah lagi penderitaan rakyat dengan membuat kebijakan yang semena- mena.
Masyarakat yang tergusur adalah nelayan, petani, serta buruh yang mayoritas penghuni wilayah Pantai Utara. Mereka rentan miskin, sekarang menjadi miskin permanen. Jika mereka mempunyai tanah/lahan rata-rata seluas 200 m2, dan diberi ganti rugi sebesar Rp 50.000,-/m2, mereka hanya menerima uang sebesar Rp10 juta, bisa apa coba?
Lahan produktif, sawah, tambak, dan kebun diuruk, tentu masyarakat di wilayah tersebut akan kehilangan mata pencaharian. Sekarang ini sedang terjadi di empat kecamatan, yakni Teluk Naga, Mauk, Kronjo, Kosambi, dan akan terus melebar ke 5 kecamatan dari 9 kecamatan di Kabupaten Serang, yang menjadi target seluas 1.755 hektar.
Semua ini terjadi akibat Joko Widodo sebagai boneka oligarki dan gaya kepemimpinan despotik (semau gue). Produk dan ekses dari pengaruh oligarki karena Aguan (Sugianto Kusuma) salah satu dari Sembilan Naga, adalah salah satu pemilik PIK bersama Anthony Salim (anggota Sembilan Naga lainnya). Hanya satu kata, Proyek Strategis Nasional PIK dan BSD dibatalkan.
Ini Pelanggaran HAM
Masih segar dalam ingatan kita tentang perlawanan masyarakat Pulau Rempang (Kepulauan Riau); dengan alasan ingin mendirikan pabrik kaca, harus mengosongkan seluruh penduduk di pulau tersebut. Setelah mendapatkan
penolakan dan perlawanan dari rakyat Indonesia khususnya suku Melayu, akhirnya proyek dibatalkan.
Apa yang terjadi sebenarnya? Ternyata bahwa pengusaha tersebut bekerjasama dengan RRT (Republik Rakyat Tiongkok), berencana membangun pangkalan perang Cina di Pulau Rempang. Konon isu rencana tersebut dibocorkan oleh CIA (Central Intelligence Agency) Amerika Serikat yang peka terhadap agresifitas Cina di wilayah ASEAN dan Laut Cina Selatan.
Bukan tidak mungkin stigma Negara dalam Negara menjadi isu politik dari proyek tersebut. Aguan sebagai oligarki yang dekat dengan negara leluhurnya, bukan tidak mungkin akan digunakan RRT untuk kepentingan geo-strategisnya.
Kita ingat skema negara Singapura yang semula provinsi dari negara Malaysia yang dominan dihuni oleh warga Tionghoa. Pengusaha proyek Pulau Rempang juga partner dari Aguan. Otoritas wilayah eksklusif PIK seakan alergi dengan kehadiran pribumi (apalagi yang tidak punya) sudah menjadi cerita atau rahasia umum. Belum lagi karakter wilayah komunitas Tionghoa seolah bukan wilayah negara Indonesia. Terkesan ini bagian dari rencana Aguan dan beberapa taipan membangun reklamasi PIK, yang tidak optimal karena Anies Baswedan saat itu tidak mendukung rencana tersebut.
James Riyadi (Lippo) mencoba membuat kesepakatan dengan RRT untuk membangun wilayah Cikarang dengan proyek Meikarta. Dengan konsep yang sama dengan wilayah khusus, memanfaatkan infrastruktur jalan tol, bandara Kertajati (Bandung), dan pelabuhan Subang. Kembali, Lippo juga gagal mewujudkan proyek spektakuler ini, dan mangkrak.
Berikutnya, Joko Widodo mempunyai rencana mengambil-alih Jakarta, dengan memindahkan ibu kota ke IKN. Dengan sombong Joko Widodo menyatakan bahwa IKN sepenuhnya didukung oleh swasta. Saat itu SoftBank (Jepang) menjadi investor dengan iming-iming properti pemerintah yang ditinggalkan di Jakarta jika jadi pindah ke IKN. Di belakang SoftBank ada RRT (Xi Jinping) dan para taipan sebagai pendukung.
Keberlanjutan Joko Widodo tiga periode menjadi Presiden, menjadi prasyarat langkah tersebut, ternyata gagal juga.
IKN jelas tidak didukung oleh Prabowo Subianto jika menggunakan APBN. Setelah insentif pajak dan HGU (Hak Guna Usaha) 180 tahun, terkesan Joko Widodo merasa negara ini miliknya. DPR pada awalnya justru mendukung. Dasar pecundang.
Jadi perlu kita khawatirkan bahwa proyek PIK adalah bagian dari rencana awal tentang wilayah otoritas seperti reklamasi, Meikarta, dan menjaminkan properti pemerintah di Jakarta untuk kooptasi wilayah Indonesia yakni “Negara dalam Negara”. Mudah-mudahan sejalan dengan pernyataan Prabowo Subianto bahwa pembangunan infrastruktur tanpa memikirkan keamanan dan keselamatan rakyat yang menjadi National Interest.
Perlawanan dan advokasi harus dilakukan untuk ulah proyek PIK ini, yang semata-mata membuat perumahan untuk kepentingan orang kaya (prioritas warga Tionghoa), tidak terikat skema 1:3 (1 rumah mewah : 3 rumah sederhana). Manfaatnya apa untuk penduduk sekitar dan untuk negara, kok diberi label PSN?
Lihat ini sebagai Ancaman
Perspektif kita melihat hal ini jangan hanya terbatas kepentingan komersial, ekspansi bisnis belaka, atau ketidak adilan semata, tetapi sudah merupakan ancaman.
Ada satu kelompok bisnis yang merupakan bagian dari oligarki, mempunyai wilayah otorita terbentang puluhan kilometer dari Kapuk sampai kesembilan kecamatan (saat ini). Semua sangat mungkin terjadi di wilayah tersebut. Mulai dari imigran gelap, penyelundupan narkoba, perjudian, penyelundupan senjata, dan kejahatan luar biasa lainnya.
Dengan otorita ini, ada wilayah yang mengeliminir peran negara di wilayah tersebut. Dalam hal ini, kita harus melihat juga perspektif ancaman geo-strategi dan geo-politik.
Prabowo harus membatalkan label PSN atas PIK dan BSD
***