Monolog Tanpa Partitur
Oleh: Taufan S. Chandranegara, praktisi seni, penulis.
Ketika bumi tak berdasar, langit tak ada, apapun tak ada. Makhluk hidup bergelantungan pada abstraksi pengkultusan diri sendiri. Nah, ini celaka banget, lantas apakah konsumtif juga masih ada. Pertanyaan berhenti pada redaksional pesanan nasi kotak tanpa lauk pauk memadai, sebab kehidupan telah menjadi angin di hampa udara, itupun kalau masih ada.
Walah, kalau angin saja tak ada di hampa udara, lantas bagaimana nasib gajah, harimau atau serigala ataupun binatang lainnya, termasuk jasad renik hingga molekul penghidup materi. Apakah daya hidup pada sistem atomistis masih menggeliat secara alami. Lagilagi pertanyaan pandir dari makhluk seperti saya.
“Loh jadi anda pandir ya.”
“Kurang lebih begitu.”
“Oh! Kalau anda pandir. Apakah anda masih bisa baca tulis.”
“Kadang bisa, kadangkadang tidak.”
“Apakah itu artinya anda termasuk jenis makhluk multidunia.”
“Bukan juga, saya makhluk multiduniawi, tergantung jenis jual beli pasaran pesanan kuenya, atau kadangkadang tahu sama dengan tempe, atau tahu sama dengan tahu tempe lah hai.” Seraya mencubit diri sendiri.
“Semakin tak jelas saja, tapi, jangan khawatir sobat, saya tetap mengagumi anda. Semakin anda tak jelas saya semakin kagum.”
“Dahsyat, bukan main-main, terima kasih anda telah bersedia mengagumi saya.” Keduanya bersalaman, lantas saling memberi salam perpisahan, saling berpelukan, bertangisan tersedusedan.
Demikianlah adegan semi-dramatik. Artinya kurang lebih hal itu cerita antara dramatisasi puisi di antara cerpen di luar kisah tentang novel, ataupun kisah sembelit terheroik dalam susastra kedramaan, oleh sebab karakter tak lagi mencapai epik dari musikalisasi dramatik keadaban-esensial. Seperti telepon berdering lalu mati. Berdering lagi. Mati lagi. Hanya begitu saja.
Akan tetapi barangkali memang demikian, kekinian dari pengadeganan pendramaan, di antara dramatisasi telah tersuspensi oleh acuan tak bernama diluar konfesi asumsi. Pusing tujuh keliling, berpusing-pusing. Tercapai atau tidak, menjadi tak penting lagi, terpenting tak masuk perangkap tikus. Sekalipun telah tersedia perangkap super sekali secara teknologis, maupun antropologis sangat strategis superpraktis.
Namun, acapkali namun, maka tendensi keterperangkapan menjadi nonlogis, ketika logistik berubah menjadi perilaku sosial, ter.asosial, di luar formalitas legal formal lompatan bajing ala superhero bersalto. Nah loh, disini pula barangkali, dramatisasi kisah dramatik terlihat peran kepalsuan dari keaktoran, akibat pola dari skenografi disuperkan oleh akronim bualan siang bolong. Mendadak hilang. Mendadak pergi. Kemana perginyakah sang aktor abalabal seolaholah berintelektual itu.
Tak ada lagi rasa malumalu kucing, sebab kucing tak lagi mengeong “Meong!” ngeong mengeong. Berubah rupa menjadi selicin belut, menggeliat kian kemari, lantas melesat lepas entah kemana.
“Raib Bro?”
“Bukan raib Bray. Tapi menyirna ajaib. Mencuri adegan menyelinap di balik layar, masuk kedalam niskala pandora kale hak.hak.hura. Mungkin loh.”
“Wah! Mungkin selalu.”
Adegan selesai tanpa solilokui, meski prolog senantiasa menjadi garis tebal sebagaiman tercantum dalam pasalpasal anonim ajaib. Jreng!
***
Jakartasatu Indonesia, Agustus 21, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.