Akhirnya, Rakyat Berdaulat!
Jakartasatu.com– KPU nyaris bencong. Persetubuhan di siang bolong. Berdalih prosedural. Cukup sudah persetubuhan yang dipertontonkan Ketua Komisi Pemilu sebelumnya yang berujung pemecatan. Malu dan memalukan.
Akhirnya KPU menyatakan akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Undang-undang Pilkada. Seolah tak cukup _warning_ tiga punggawa hakim konstitusi dan marak suara rakyat berdaulat di jagat maya. Jimly Asshiddiqie, Hamdan Zoelva dan Mahfud MD — ketiganya pernah menjabat Ketua MK-RI.
Manuver DPR bersama pemerintah menggulirkan revisi Undang-undang Pilkada. Memicu gerakan rakyat. Hanya dalam tempo kurang 24 jam, massa mahasiswa dan kekuatan rakyat sipil — merangsek parlemen. Tak cuma di gedung DPR/MPR RI yang digeruduk dari arah depan dan belakang. Juga berlangsung antara lain di Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Makasar. Menuju gedung DPRD provinsi masing-masing.
Siang tadi, parlemen dan istana (baca: pemerintah) gayung bersambut. Menyampaikan pernyataan yang masih ngeles dan normatif. Bahwa Selama tidak ada pengesahan Revisi UU Pilkada hingga 27 Agustus 2024, maka yg berlaku ketentuan terakhir (putusan MK). Tak tegas. Lebih pada upaya meredam gejolak daulat rakyat.
Massa mahasiswa dan rakyat tak beringsut dari titik-titik unjuk rasa. Sore hari, KPU bersikap. Menyusul DPR RI melalui wakil ketuanya, Sumi Dasco — menyatakan: Proses pengesahan Revisi UU Pilkada batal. Meski rada terlambat, tampaknya sampai pada pemahaman dasar: Kembali ke Putusan MK.
Ada apa gerangan? Salah satu dari berjibun opini hendak menjawab: Gara-gara Satu Keluarga, Marah Rakyat Senegara.
***
Jimly Asshiddiqie lebih awal meminta “segera saja KPU perbaiki PKPU”. Mantan Ketua MK ini menegaskan, bentuk pemerintahan Indonesia adalah republik. Namun budaya politik yang terlihat hari ini cenderung menerapkan sistem monarki atau kerajaan.
Mantan Ketua MK, Hamdan Zoelva menilai revisi UU Pilkada yang dipaksakan akan membuat aturan itu cacat hukum dan inkonstitusional. Bahkan sudah dinyatakan MK.
Mantan Ketua MK, Mahfud MD menegaskan bahwa putusan MK merupakan tafsir resmi dari konstitusi setingkat Undang-undang. “Ada prinsip demokrasi dan konstitusi yang mengatur permainan politik,” katanya.
Dasar hukum yang mengatur, bahwa keputusan MK tidak dapat diubah atau dibahas kembali oleh lembaga lain, termasuk DPR, adalah sebagai berikut:
UUD 1945, Pasal 24C ayat (1) menyatakan, bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
Undang-Undang Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi: Pasal 10 ayat (1) huruf d menyatakan, bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Undang-Undang Nomor 8/2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi: Memperkuat ketentuan, bahwa putusan MK tidak dapat diubah.
Dengan dasar hukum tersebut, putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh untuk mengubahnya.
Hari-hari ini, menggeliat maklumat rakyat. Menyelamatkan demokrasi, menyelamatkan Indonesia.***
– penulis: imam Wahyudi (iW).