Utopia Fatamorgana di Tengah Oasis

Oleh Taufan S. Chandranegara, praktisi seni, penulis.

Sistem kenegaraan terpopuler nyaris seluruh dunia, kesetaraan menuju keselarasan, ada, di isme-demokrasi, konon. Katanya begitu, lantas laris manis-demokrasi di adopsi negera, negara di dunia, modern, global kini.

Demokrasi. Apakah hanya terlihat kasat mata, saat pemilihan umum, saja, di legal

kebebasan berpendapat melekat pada isme demokrasi lingkaran kontrol asas, prinsip prinsip sebuah negara di benua manapun.

Isme-demokrasi, itu, anutan terbenar, katanya, lagilagi nyaris, mendunia sejak di

perkenalkan oleh sistem ketata-kelolaan kenegaraan. Konon pula, demokrasi, juga

merupakan bumbu pelengkap komunikasi antar tata-aturan sebuah negara, demi, tertib hukum, ekonomi, kebudayaan. Benarkah begitu.

Akan tetapi, tentunya, barangkali-loh, tanpa asas sebuah negara tampaknya isme-

demokrasi akan-jalan di tempat, tak kenal kultur dari tradisi bangsa.bangsa, pembentuk kesatuan, persatuan sebuah negara, dimanapun.

Isme-demokrasi dipastikan, resmi, konon, sebagai wahyu buatan manusia untuk manusia atas kehendak kultur manusia-modern, di benua-planet bumi, barangkali, guna mencapai  tujuan stabilitas kuasa rakyat, dititipkan pada sistem kekuasaan disiplin-tata negara, lagilagi terasa, terlihat, lewat pemilihan umum, bebas, terbuka, jujur, adil, rahasia alias jurdil, di negara manapun.

Anehnya, pada isme-demokrasi, masih tersusupi perselingkuhan monopoli di sektorsektor esensial, menjadi dosis berkala dalam aklamasi kepentingan kuat-invasi militer, invasi perdagangan, misalnya. Semoga tak terjadi di negeri tercinta ini, dilindungi Pancasila. Amin.

Alkisah, di sebuah negara modern democracy di benua nun di sana, benua jauh, melukiskan pelarangan berbusana sopan sesuai asas agama, keyakinan-santun, menutupi tubuh kaum perempuan, di negara itu, mengenakan burqini di sebuah pantai, dianggap mengganggu hakikat, kekuasaan modern democracy, negara itu. Aneh ya.

Burqini, adalah baju renang tertutup rancangan Aheeda Zanetti, seorang muslim Lebanon bermukim di Australia, terinspirasi dari busana Burqa. Perfeksi busana sempurna menutupi bagian tubuh, disebut ‘aurat’ bagi muslim, dibuat dari bahan cukup ringan berkualitas baik, sangat memungkinkan untuk berenang.

Sesungguhnya jika negara itu paham benar ‘hak melekat’ pada isme modern democracy, salah satunya, melarang adanya monopoli-enggak boleh ada monopoli dalam bentuk apapun, itu, merupakan salah satu syarat, ber-demokrasi.

Jika hal sederhana itu dikaji secara saksama, mungkin negara itu tak perlu menuai kekhawatiran, larangan berlebihan, atau, bisa jadi, barangkali, negara itu super paham modern democracy, sehingga kebablasan mengemukakan pelarangan ber-burkini di kolam renang umum, juga pantai.

Semisal nih ya: Oh! Boleh ya, monopoli hak publik. Oh! Boleh ya, monopoli oksigen. Oh! Boleh ya, monopoli udara. Oh! Boleh ya, monopoli media sosial, tak peduli asas makrifat hidup bersama sedunia berpayung hak asasi manusia-HAM, saling menghargai kesetaraan keselarasan kebudayaan antar bangsa.bangsa, di tengah musim global, kini.

Tampaknya, pelarangan ber-burqini di negeri, nun-di sana itu, tak cantik, tak rupawan pula, jika disandingkan dengan deklarasi HAM-PBB 1948; manusia sebagai makhluk sosial, siapapun di manapun di muka bumi ini, memiliki haknya, perlindungannya, untuk hidup dengan segala perilaku baiknya, di muka norma hukum, demi tercapainya cita-cita hak kesetaraan, keselarasan, keseimbangan kehidupan.

Lantas ada pertanyaan di angkasa dunia. Dimanakah gerangan, dimensi ukuran modern democracy, orang per-orang melekat hak kulturnya, hak hidupnya. Jika memakai busana santun, ber-burqini, untuk berenang ditegur hingga tingkat pelarangan.

Seumpama nih ya: Apa kata Cleisthenes (570-506 SM) pencetus awal demokrasi di Athena itu, jika dia ditanya Mahatma Gandhi, ditanya Soekarno-Hatta, bapak demokrasi Indonesia, akan makin seru, jika, Nelson Mandela, ikut mempertanyakan pelarangan itu.

Apakah kemudian, Montesquieu, akan kembali turun gelanggang, terkejut melihat monolog monopoli pelarangan itu. Barangkali langit akan memberi jawaban di cuacacuaca, dia akan lebih terkejut lagi ketika melihat jual beli kekuasaan ada di ranah berkedok demokrasi tender, demokrasi lintang pukang, demokrasi otokrasi oligarki. Wah, ciloko tenan je, hiks.

Jika ternyata, isme modern democracy itu, mampu berubah rupa setiap saat menjadi

antologi monopoli, dapat berubah rupa pula dong, menjadi dua mata pisau kekejaman,

invasi-monopoli, membuat lukaluka sejarah. Jika kesadaran pada ranah keselarasan kemanusiaan, adil, beradab, gotongroyong, terkikis oleh, the ego of power, pelarangan macam itu, barangkali.

Bersyukur. Indonesia, taat asas tunggal Pancasila-UUD’45, luhur norma, filosofis, luhur budipekerti, luhur akalbudi, esensial sebagai pusaka sahih pengendali isme-modern democracy, itu sebabnya pula, semoga di negeri tercinta ini, di jauhkan dari sentimen rasisme, anarkisme, radikalisme, SARA-strategis. Amin Ya Ilahi. Meskipun politik deforestasi-illegal logging masih bercokol gagah perkasa di dukung oleh para penjilat penguasa. Jreng!

Indonesia, negeriku ini, taat asas-tolerensi berbudi, itu sebabnya pula, senantiasa damai-sebagaimana Ki Hajar Dewantara, mewariskan pelajaran kearifan edukasi dalam lingkup Taman Siswa, di adopsi oleh Soekarno-Hatta, menuju pertumbuhan pendidikan pasca-kemerdekaan.

Salam Indonesia Keren Negeri para sahabat, damai bagi kita semua, saudaraku. Namun Oligarki berkedok demokrasi wajib diwaspadai sebagai ancaman siluman serius terhadap ranah politik kebudayaan atau sebaliknya.

***

Jakartasatu Indonesia, Agustus 23, 2024.

Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.