Mala Prohibita atau Mala in se Terkait Peristiwa Rapat Paripurna RUU PILKADA  Mesti Diproses Hukum

(Sebuah tanggapan Damai Hari Lubis, Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212 terhadap pendapat pakar hukum tata negara dan pakar komunikasi politik terkait Rapat Paripurna untuk menerbitkan RUU. PILKADA Kontra Putusan MK.)

Penulis ingin menanggapi pendapat pakar hukum tata negara dan pakar komunikasi politik yang disampaikan oleh sumber berita dari CNNIndonesia.com pada Jumat (23/8) yang mengutip nara sumber dua orang Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Brawijaya (UB) Muhammad Ali Safa’at dan Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga.

Menurut penulis terhadap pendapat hukum ketatanegaraan dan politik dari kedua pakar sudah mengandung unsur-unsur kebenaran sesuai merujuk konstitusi (penuhi unsur yuridis formil).

Adapun materi narasi yang ditanggapi dan dibenarkan oleh penulis adalah:

1. Pendapat pakar dari Universitas Brawijaya (UB) Muhammad Ali Safa’at; “secara normal sudah tidak ada lagi peluang pemerintah untuk menganulir putusan MK/ Mahkamah Konstitusi. Meski demikian masih ada celah melalui dua pintu, yakni PKPU dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait Pilkada. Namun hal itu akan bersifat inkonstitusional lantaran membangkang putusan MK terakhir. ‘Dan,’ Ketika perubahan undang-undang keadaannya sudah tidak disahkan atau dibatalkan, jadi otomatis harus mengikuti isi dari putusan MK,”

2. Pendapat pakar komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga; “Untuk tetap waspada  manuver DPR dan Jokowi Usai RUU Pilkada Batal Disahkan”

Adapun dalil-dalil hukum penulis terhadap pembenaran pendapat kedua pakar tersebut sesuai alasan politik hukum (tata negara dan asas asas dan teori hukum pidana) adalah ; “bahkan perbuatan para wakil rakyat pada hari Kamis , 22 Agustus tersebut, merupakan sebuah delik makar terhadap konstitusi yang harus dipertanggungjawabkan secara etika/ moralitas politik dan proses hukum pidana Jo. Asas setiap warga negara sama dimata hukum (equality before the law). Karena prinsip setiap perbuatan melanggar hukum, sampai kapan pun tetap sebuah pelanggaran dan mesti dapat dipertanggungjawabkan dan harus merujuk keberlakuan hukum atau sesuai asas legalitas (kepastian hukum) Jo. Vide asas hukum mala in se yakni perilaku yang diketahui adalah perbuatan jahat, merusak atau amoral, sekalipun tidak diatur dalam undang-undang. Terlebih perilaku DPR RI ini terkait fakta penyimpangan terhadap kekuatan hukum (rule of law) serta makna kepastian hukum (legalitas/ rechtmatigheid terkait putusan MK yang kekuatan hukumnya menurut asas teori mala prohibitia harus berlaku sebagai hukum positif atau putusan MK wajib diberlakukan bukan di obstruksi oleh kekuatan nepotisme  (Jo. UU. RI Tentang MK Jo. UU. Nomor 28 Tahun 1999 Jo. KUHP).

Namun yang terjadi pada Kamis, 22 Agustus 2024 DPR RI. Adalah penyimpangan hukum, yang diimplementasikan oleh para penyelenggara dalam bentuk sebagai peristiwa politik yang menunggangi hukum, sehingga jika dikaitkan perilaku penyimpangan politik hukum (praktik ketatanegaraan) serta ditinjau dari sisi asas-asas  hukum pidana, maka tidak terlepas daripada unsur-unsur delik nepotisme dikarenakan kepentingan batas usia seseorang yang terhalang untuk dapat mengikuti kompetisi pilkada di 2024. Maka perilaku beberapa pengurus partai dan para anggotanya di DPR RI. Serta kroni (Kaesang-Jokowi dan Para Ketum Partai), telah melakukan tindak pidana formil dan materil, sebuah tindakan kejahatan yang tidak membutuhkan selesainya perbuatan delik, namun cukup sudah dilakukan dan sudah ada akibat dari perbuatan.

Atau setidaknya perilaku para anggota yang turut serta merancang dan ikut pada sidang paripurna DPR RI a quo, telah melakukan “percobaan makar” atau kejahatan terhadap konstitusi serta dilakukan dengan TSM serta sudah selesai dilakukan, adapun tidak selesai dilakukan oleh sebab faktor luar atau karena faktor kuorum yang tidak tercukupi bukan batal atau tidak jadi melakukan constitutional disobidience putusan MK. A quo No. 60/ XII/ 2024 atas kehendak/ niat dari dalam hati sendiri (peserta rapat paripurna).

Karena fakta hukumnya, sidang paripurna DPR RI. untuk mengesahkan RUU. Dilakukan dengan faktor dan unsur-unsur disengaja dan berencana melakukan nepotisme untuk merevisi UU Pilkada menjadi undang-undang pada Kamis (22/8), namun batal dengan alasan yuridis persyaratan peserta rapat tidak kuorum.

Dan faktanya sidang DPR RI a quo demi seorang Kaesang Putra Presiden Jokowi, sehingga perbuatan rapat paripurna DPR RI a quo Jo. membuat RUU. Adalah dolus disertai mens rea (sengaja dan niat atau berencana), perilaku yang dapat diancam sebagai delik nepotisme Jo.UU. RI No. 28 Tahun 1999y karena dengan sengaja ingin membatalkan Putusan MK  No. 60/ PUU. XII / 2024. Sedangkan secara hukum hasil putusan MK. Otomatis menjadi bagian daripada frase atau pasal atau bab pada sebuah undang-undang yang menjadi objek perkara sengketa (JR/Judicial review uu. pilkada), dan produk putusan MK adalah inkracht atau terakhir dan mengikat atau final and binding, karena tanpa hak banding, kasasi maupun request civil/herziening atau Peninjauan kembali.

Oleh sebab “kedaulatan berada ditangan rakyat” sebagai dalil konstitusional, maka kemarin 22 Agustus 2024 logis jika muncul aksi demo penolakan dari para mahasiswa dan publik umumnya kepada perilaku rapat paripurna dalam bentuk  konspirasi kejahatan (pelanggaran konstitusi).

Sehingga fenomena peristiwa pada hari dan tanggal 22 agustus 2024 representatif  aksi perlawanan hukum dari massa yang berdaulat versus penyimpangan atau pembangkangan hukum dari para wakil rakyat plus pembiaran atas penyimpangan hukum dari Jokowi selaku presiden RI, karena fakta hukum Jokowi tidak berupaya untuk menghalangi para anggota legislatif untuk pengesahan RUU. PILKADA serta untuk bakal disahkan oleh Eksekutif (Presiden), sehingga aksi perlawanan mahasiswa pada tanggal 22 Agustus 2024 adalah proporsional dan objektif, karena sesuai asas suara rakyat yang didasari makna dan praktik kedaulatan serta konstitusional, maka kausalitas hukumnya AKSI DEMO YANG MENGIMPLEMENTASIKAN UPAYA PENEGAKAN HUKUM TIDAK BOLEH DIHALANGI OLEH SIAPAPUN

Sehingga Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, sudah benar menskors rapat paripurna tersebut, walau secara yuridis formal, sesungguhnya Dasco tidak perlu menyebut rapat paripurna diundur sampai tanggal 27 Agustus 2024 karena alasan tidak penuhi kuorum. Melainkan, ideal jika Dasco menyatakan: “kami tidak akan melanjutkan perisitiwa hukum yang telah kami lakukan hari ini, Kamis, 2 Agustus 2024. Dan Kami sadari kami telah keliru akan terjerumus kepada peristiwa penghianatan konstitusi, yang akan menambah rusaknya tatanan negara RI. Serta akan mengundang tragedi sejarah hukum bahkan akan berimplikasi peristiwa manusia berdarah-darah. Dan justru atas perilaku kami selaku wakil rakyat akan mengundang gagalnya peristiwa hukum suksesi nasional, pelantikan dan penggantian kepemimpinan yang konstitusional pada 20 Oktober 2024.

Kemudian,  semestinya Dasco menutup dengan kalimat, “untuk itu kami sampaikan sekali lagi permohonan maaf kami atas nama para anggota yang terhormat yang ada di lembaga DPR RI yang telah berlaku keliru dan sesat serta tidak role model