REVITALISASI DEMOKRASI

Oleh : Girarda
Alumni YISC Al Azhar

Para pendahulu kita dan penerusnya hingga kini, sejak proklamasi kemerdekaan sampai sekarang setuju bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang berlandaskan hukum. Jadi hukum dan aturan mesti mendukung terselenggaranya demokrasi negara Indonesia dengan baik. Dalam perjalanan bisa jadi bentuk negara demokrasi tidak seperti yang diharapkan. Bisa jadi ada pihak pihak tertentu yang mau memaksakan kepentingannya.

Bila boleh dianalogikan bahwa demokrasi dalam pilkada seperti lelang, maka peserta lelang mengajukan diri melakukan penawaran melalui tender terbuka. Peserta pilkada mengajukan diri melalui parpol kemudian rakyat sebagai ‘user’ memilih calon calon yang diajukan. Agar cukup fair ada yang membuat aturan bahwa peserta lelang mesti lebih dari satu kalau bisa minimal tiga. Namun bisa jadi ada pihak yang menginginkan sebagai pemenang sejak awal hingga timbul istilah ‘tender diatur’. Sehingga tender hanyalah formalitas.

Analogi seperti diatas, tercium adanya pilkada ‘diatur’. Pemenangnya sudah diarahkan. Peserta parpol pendukungnya sudah dikondisikan, hingga tidak ada ruang buat calon pesaing, kecuali sebagai calon pesaing formalitas. Secara mengejutkan terbit keputusan MK No 60 yang memporak porandakan skema ‘diatur’ dalam pilkada. Semoga selanjutnya terjadi pilkada dan pemilu yang cukup fair. Dan semoga parpol cukup mahir menjaring aspirasi rakyat, sehingga rakyat punya cukup alternatif pilihan. Yang pada gilirannya bisa didapatkan kepala daerah dan lainnya yang cukup mumpuni memegang jabatannya.

Semoga momentum keputusan MK nomor 60 merupakan tonggak revitalisasi demokrasi. Yang proses dan prosedurnya cukup fair, terhindar dari upaya upaya yang mengarah kepada pemusatan kekuasaan, karena bisa mengarah ke kekuasaan tiran.