JAKARTASATU.COM– Kritikus Faizal Assegaf mengomentari pidato Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri saat usai mengumumkam cakada dan cawakada pada Senin (26/8/2024) di DPP, Menteng, Jakarta.
“Hampir dua jam Megawati berpidato, isinya curhat, banyolan dan berteriak mirip knalpot vespa. Tak beri faedah bagi rakyat. Hanya celoteh dan narasi penuh kebohongan saja,” katanya, lewat akun X-nya, Kamis (29/8/2024).
“Tapi lucunya, sebagian netizen dan jejaring pers dibuat terjebak seolah Mega dan Jokowi pecah kongsi. Faktanya tidak,” lanjutnya.
Justru, kata Faizal, kedua aktor tersebut makin lihai mengkelabui rakyat untuk mengusung Pramono Anung di Pilgub DKI Jakarta.
“Pramono adalah kader inti PDIP yang ditugaskan di lingkar kekuasaan Jokowi. Tak lain, demi menjaga hubungan yang kuat antara petugas partai dan misi politik PDIP,” terangnya.
Peran yang sangat strategis itu kata dia berlangsung hampir 10 tahun.
“Jelang lengser, Pramono tampil memperjelas kemesraan Jokowi dan Megawati. Melalui momen Pilkada, Pramono mengatakan Jokowi sangat happy atas keputusan Mega dan PDIP mengusung dirinya sebagai Cagub,” katanya.
Ungkapan itu kata dia, makin meyakinkan rakyat bahwa antara Mega dan Jokowi di balik layar sangat akur.
“Hanya di ruang publik gemar menyajikan aneka drama politik tipu-tipu. Ibarat tikus dan gorong-gorong, saling melengkapi,” katanya.
Seluruh elemen mahasiswa yang kini bergerak dalam aksi protes, tentu tersadarkan. Ternyata dinasti Jokowi dan dinasti Megawati sama saja.
“Asbab yang memicu daya rusak atas tatanan bernegara dan kehidupan rakyat banyak.
Padahal, Faizal mengamati, berulang kali, sebagian elemen rakyat berupaya menarik PDIP dan Megawati ke jalan yang benar. Menjauh dari kekuasaan Jokowi dan berpihak pada kepentingan rakyat.
“Namun tetap saja bersenyawa dan tak terpisahkan. Tak heran, Jokowi dan keluarganya mabok kekuasaan serta terlibat dugaan aneka skandal korupsi,” kata dia.
Ihwal serupa pun diungkapnya menyeret para elite PDIP dan keluarga inti Megawati. Saling menyandera dan bersandiwara.
“Adagium maling teriak maling adalah gambaran perilaku di antara Megawati dan Jokowi. Berpura-pura mununjukan seolah bersitegang, kenyataan satu komplotan. Walhasil, tanpa rasa malu dan brutal melakoni politik tukar guling. Ratu Banteng dan Raja Jawa, sama saja…!” (RIS)