Kala Matra Logika

Oleh: Taufan S Chandranegara, praktisi seni, penulis.

Benar. Semar kalau kentut bisa mengguncang angkasa itu sebabnya para dewa di langit, sungkan, jika Semar memohon sesuatu untuk kemaslahatan planet bumi. Semar boleh dibilang jarang meminta apapun, apalagi fasilitas naik gaji atau mobil mewah, padahal kerja sedikit banyak permintaan, cuma duduk, protes kiri kanan di belakang meja.

Semar, kalau pun memohon sesuatu kepada dewa, tidak untuk kepentingan, diri sendiri. Semar, mengabdi untuk semesta nurani meski hal itu tak pernah tampak, baik secara metafisika maupun logis, bagi Semar tidak penting benar, hal itu hanya istilah eksak ke non eksak bagai sinonim ke antonim bolak balik begitu saja.

Bagi Semar, hidup bersama di planet bumi memelihara kebaikan, saling menghormati, terpenting, utama, dibanding makan atau minum atau hal bersifat materi. Itu sebabnya kesaktian Uwak Semar, tidak tertandingi oleh siapapun, termasuk kaum raksasa pemilik saham patgulipat sekalipun. Enggan perang tanding, berhadapan dengan Semar.

Bagaimana mungkin akan perang tanding. Mendengar nama Semar saja para makhluk sakti dalam bentuk apapun langsung patuh. Sebab tak mungkin makhluk sekelas dewa seperti sosok Semar, bersahaja, hanya memiliki kekayaan kain poleng kotak-kotak hitam putih serta kalung berbentuk lonceng di lehernya.

Dengan wujud, wajah antara senyum seakan menangis, tidak ganteng tapi karismatik di antara sederet dewa top di kahyangan, murah hati murah iman suka menolong senantiasa inheren dengan semesta, universal. Bagi Semar hidup sekadar kesadaran sementara, tak ada kekal, namun wajib adaptif menghormati sesama.

Itu sebabnya Sang Hyang Tunggal turun ke bumi, berubah rupa menjadi Semar. Dengan wujud fisik penuh simbol dalam arti luas. Tubuh Semar bulat merupakan simbol bumi tempat tinggal semua makhluk, simbolik, kesederhanaan, melahirkan berbagai inspirasi multitafsir, makna kesuburan, kebaikan, keseimbangan semesta berkelanjutan.

Logika Semar, rasional, sosio humanis, membuka spirit langit maha luas memberi kesadaran, makhluk hidup bermula menuju akhir, tak ada satupun hidup tidak berguna bagi sesama jika ihwal kesadaran kelahiran makhluk apapun kembali pada induk, pada Ibu Semesta-Alam Rahim, merupakan kala matra logika.

“Ibu” melahirkan bangsa-bangsa di planet bumi, kamus besar peradaban keilmuan di semesta. Tidak ada hal terhebat suatu perjuangan cinta sekaligus kasih sayang, selain kala matra logika “Ibu” melahirkan keturunan untuk dunia. Itu sebabnya pula mengapa Socrates (470-399 SM) menghormati, menyayangi Ibunya berprofesi bidan.

Tidak pernah sedikit pun Socrates membuat teror bagi sesama pada masanya. Namun pertanyaan-pertanyaan Socrates, teror, mumpuni bagi sesama, siapapun, bertemu dia di jalanan, di pasar maupun di alun-alun kota kelahirannya Athena, senantiasa membuka wawasan inteligensi sesama, bagi kesejahteraan kebijaksanaan akal budi.

Jika kesombongan menyerap-isme ataupun neo-isme tidak dengan nurani akal budi, tapi, hanya dengan cara pandang sempit melihat tolok ukur hidup, sebatas, nilai horizon seperti tampak lurus, sesungguhnya merupakan garis lingkaran tak terhingga dalam jumlah sudut multi logaritma, membentuk keseimbangan akal budi semesta.

Salam Indonesia Unit, rumah perdamaian bagi semua cinta.

***

Jakartasatu Indonesia, Agustus 31, 2024.

Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.