Interlud Esai Pelangi
Oleh: Taufan S. Chandranegara, praktisi seni, penulis.
Pencuri nasib, menjadi pasir dapat dihempas, oleh, sekadar angin sepoi-sepoi. Tak perlu badai. Sebab badai kadangkala berpura-pura untuk suatu kepentingan tersirat sekalipun tersurat, wacana lagu bersyair sendu alih-alih sedih amat.
Mendayu makin ragu kata syair. Ketika mencurigai cinta. Takut jatuh tersia-sia. Tersirat sekali lagi, sekalipun alih-alih tersurat. Apakah itu merupakan, sekadar kisah kata syair dari pola musik berlabel anonim, berdendang suara sumbang di balik batu.
Kebenaran kukuh di kebaikan. Relativitas, menimbang pikiran terjaga. Mengawasi, mewaspadai aklamasi pertimbangan penasihat bayang-bayang.
Perlu kehati-hatian. Meningkatkan kewaspadaan senantiasa. Memantau darat, laut, udara, memastikan tanda-tanda semafor, cermat, teliti. Mungkin saja, hipokrisi tengah membidik kesempatan, berakrobat di batas horizon.
Mewaspadai krisis mata air di musim kemarau. Keping nurani tak jadi cahaya pelangi kemaslahatan. Akibat pola makan senantiasa terlalu kenyang. Akhirnya memelihara kecurigaan di perut sendiri. Sembelit, ‘ego’ di dalam peradaban tubuh.
Keinginan tak sesuai harapan, kalau mau menyadari. Salah satu ujian kelulusan alami. Tak serupa anomali perumpamaan ketakutan, terhadap perubahan cuaca hingga fobia bencana, kehancuran kehidupan. Tersadar maupun tidak, akibat nuklir.isme di tangan sendiri.
Meski berganti tangan berkali-kali, bukan salah satu jalan keluar. Langkah salah acuan, gelombang ditulis frekuensi, muncul berabad kemudian di catatan historis bias fatamorgana. Jika cita-cita tak mufakat, makrifat iman Ilahiah.
Tak perlu takut terhadap pikiran cemerlang terang benderang. Terbuka tanpa pretensi, di antara misteri ketakutan hantu, menghantui. Jangan jadi hantu siang bolong atau hantu gulita malam.
Jadi sari bunga terindah juga boleh, memberi manfaat pada kupu-kupu, sebab realitas pilihan menunjukan kualitas dayajuang keadaban. Kuantitas tak serupa benda-benda angkasa beterbangan simpangsiur.
Biarkan, benih tumbuh sebagaimana natural setara usia tetumbuhan. Pelahan, membentuk dahan kukuh. Berserentak ranting dedaunan. Bertahapan, teguh beriman berakar kuat. Menghadapi sikap cuaca alami. Memberi hakikat kehidupan kebudayaan. Patah tumbuh hilang berganti. Kepastian moral semesta.
Tak ada satupun abadi, sekalipun ruh di badan. Jika tubuh tak menghendaki luka, ‘kan terasa perih. Jika kehendak natural telah menyatakan. Tubuh tak ‘kan mampu menolak.
Cuaca, universal, menguji ketahanan tetumbuhan, lewat gempa, gelombang tsunami, gunung meletus, badai taifun, berbagai bentuk tatacara acuan tak terhingga. Setelahnya alam, kembali menata kejujuran ekosistem di frekuensi bersama gravitasi.
Mungkin saja masih ada pertanyaan. Lahir dari kebimbangan, klise.isme. Keraguan perubahan cuaca silih berganti. Benarkah tanpa pretensi. Perlukah pretensi dihadirkan. Laiknya persidangan aturan hukum, menghadirkan saksi, diawasi sangsi-sangsi.
Seiring berjalannya waktu akumulatif ‘kan lahir pertanyaan alam raya. Telah pudarkah ketulusan.
Perubahan, barangkali, melahirkan banyak hal. Dalam laku teks atau wicara lisan. Jika lahir dari buah pikiran sebening embun pagi. Nalar mampu menerima kritik kebaikan, stimulus kesepadanan, kebersamaan, kesetaraan kemanusiaan. Menuju peradaban baru.
Pada pola istilah kini. Kritik, kalau ikhlas, ya, bisa juga disebut diskursus demokratisasi komunikasi. Bentuk pustaka acuan edukatif kesinambungan pikiran. Meskipun, ada juga, netra memandang hati tertutup mendung. Cuek aje deh bye bye my love. Bak film lama diputar ulang berulang kali. Pandangan mampu menjadi keseimbangan absolut bisa juga tidak. Sesuka kebijaksanaan komunikasi gugusan mega dengan angin.
Langit ‘kan meredam badai. Memberi pencerahan. Kalau berani melihat langit pemikiran ‘akalbudi’ menuju suatu perubahan cuaca. Menyongsong pagi nan indah. Sore nan adem. Menggelar tikar kebahagiaan melihat perubahan. Pencerahan, harmoni antar waktu. Menuju publik negeri pesona harmonisasi cinta teramat tulus.
Semoga tak langka di zaman kontemporer kini. Maka malam memberi peraduan mesra kasih sayang. Interlud, menjadi aksara panjang ketika keinginan telah dinyatakan. Konsonan tak tepat akan masuk tong sampah akibat takut pada kritik. Tidak. Tidak boleh takut pada kritik bijaksana-kemaslahatan bersama.
Sebab kritik, tentu positif. Kalau negatif, abaikan saja. Tak guna bagi dunia. Menyongsong perubahan, keseimbangan kemufakatan nurani makrifat. Telaah ditetapkan oleh pilihan publik, dilindungi moral hukum positif. Cuaca senantiasa cerah.
Bangun pagi bugar bercahaya. Sang Dwiwarna, berkibar gagah menggapai cuaca, awan berarakan. Mimpi begitu indah, pesawat R-80 (Regio Prop 80) rancangan Presiden Ke-3, RI, B.J. Habibie, melintas di angkasa biru cepat berlalu. Bangga menjadi Indonesia, keren. Banyak pencapaian dari lampau hingga kini. Semoga senantiasa. Kini, tiba waktunya, berkelanjutan pencapaian impian ‘Indonesia Keren’ di rentang waktu pendidikan modern, sains, supertekno, hasil produksi dari keahlian ‘Anak Negeri Pancasila’ selanjutnya, sebagaimana kini. Menuju akan datang. Ingin, angan terwujud.
Memiliki selusin kapal induk hipertekno, helikopter tempur supercanggih, jet tempur buru sergap mandiri-buatan sendiri. Menjaga stabilitas keamanan negara kepulauan, di teluk-teluk ‘Indonesia Indah’ menyergap si teror, mafia perompak, penyelundup, koruptor, mafia narkoba, illegal fishing, illegal logging, deforestasi, invasi militer, sipil bersenjata-separatis pengacau keamanan negeri tercinta ini.
Negeri ini gudangnya ilmuwan, cendikiawan, budayawan, sains. Ikhlas, sumbangsih ideal, desain optimis Kebangsaan. Peran orang tua di rumah kita sendiri, para guru hingga tapal batas negeri ini, di sekolah tingkat pelajar-universitas.
Dari yakinku teguh. Menjadi realitas berbudi. Mumpuni. Iman persatuan, persaudaraan, keberagaman, keyakinan. Mengajarkan kedisiplinan, kepatuhan moral keteladanan. Salam Indonesia Keren. Anti Korupsi. Negeri para sahabat. *
Jakartasatu Indonesia, September 01, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.