Menengok Angsa-angsa Yang Bertelur Emas di USA

Oleh: Bacho HR
Pembina KNPI-USA/Mantan Aktivis 98

Tidak seperti hari akhir pekan lainnya, Sabtu ini macam Hari H yang di nanti-nanti, bagi komunitas Indonesia di Philadelphia.

Setelah selama sebulan penuh berbagai acara-acara mengisi perayaan Kemerdekaan Indonesia, mulai dari lomba anak-anak, pertandingan olahraga, pengibaran bendera, karnaval baju adat, sepeda Hias, dan peragaan busana tradisi budaya Indonesia, pagi ini semacam perayaan puncak yg di isi dengan berbagai panggung seni dan bazaar makanan tradisional Indonesia, acara yang padat dengan atraksi budaya Indonesia ini melukiskan betapa kayanya Indonesia akan keragaman budaya, alat-musik, tari-menari, busana adat yang penuh dengan pernak-pernik indah yang di pesan dan di datangkan langsung dari tanah air, topeng reog, ondel-ondel, bahkan baju dari bulu-bulu burung merak yang indah juga me-mamerkan keindahan marga satwa Indonesia.

Dengan gerbang yang di hias macam gapura candi-candi peninggalan kerajaan hindu-budha, masyarakat Philadelphia baik yang keturunan Indonesia maupun masyarakat setempat yang tahun ke tahun mulai berasimilasi dengan budaya Indonesia memasuki pintu gerbang acara Indonesian festival, mereka menyerbu semua tenda-tenda makanan yang menyajikan beragam makanan-makanan khas tradisional Indonesia, macam tenda “pecel ndeso” yang menyajikan makanan Jawa-timur dan Es-tebu yang di serut di depan pengunjung warga setempat yang berdecak terkagum-kagum dengan tradisi Indonesia dalam upaya membuat segelas minuman yang manis namun organic dan sehat.

Berbagai tarian adat yang di pentaskan tidak sekedar goyang badan megikuti irama macam American disco, tetapi benar tarian-tarian adat yang melalui proses rehearsal berulang-ulang kali hingga anak-anak keturunan Indonesia tidak hanya mampu mengikuti gerak tari, namun makna dari tiap gerakan, dan kearifan tradisi lokal yang terkandung di balik tiap gerak tari yang kadang harus di lakukan selaras dengan arah mata-angin, ketelatenan creographer tari-tari tradisional dalam mewarisi tradisi leluhur ke generasi berikutnya meskipun mereka terlahir di negri asing merupakan salah satu perjuangan yang se-tinggi-tingginya, dalam memastikan semua nilai tradisi, budaya, dan kearifan lokal nusantara akan tetap terjaga.

Keramaian pengunjung mendadak sunyi, terbalak dan terkagum ketika atraksi REOG di mulai, seakan-akan mereka tidak tau harus kagum, bingung, takut, atau merasa asing dalam karya seni tradisional Indonesia yang diadakan di tengah pusat kota Philadelphia namun dengan seni topeng dan gerakan yang mistis dan penuh arti, hal-hal menggali jauh ke akar budaya Indonesia oleh teman-teman organisasi masyarakat indonesia yang di namai “Gapura” inilah, yang membuat para seniman-seniman Philadelphia, dan para board member salah satu sekolah seni tertua di Philadelphia Fleischer art, mempercayai coordinator seni Gapura untuk melakukan banyak pentas seni budaya di lokasi mereka tahun ke tahun, mendatangkan seni traditional Negara kepulauan Indonesia dan memberikan perspektif baru tentang arti Indonesia negri yang kadang hanya di kenal dengan satu-dua keunggulan seperti  tempat wisata, negara rempah-rempah negara mayoritas muslim, atau kadang tendensi negatif macam negara penuh polusi, korupsi, atau 32 tahun pemerintahan  di bawah tirani.

Warga Indonesia selalu di kenal sebagai warga yang “bergotong-royong” bahkan pola bergotong-royong inilah yang menyelamatkan banyak warga Indonesia ketika tertimpa musibah pandemi covid di awal tahun 2020, kali ini warga indonesia dengan puluhan relawan acaranya kembali menunjukan semangat persatuan dan gotong royong.

Sejak dini hari warga Indonesia yang menjadi relawan panitia, telah bersiap-siap, di temani seruput kopi, kepulan asap rokok kretek, dan senda gurau yang kerap mengundang gelak tawa; mereka inilah yang menjadi tonggak berdiri nya tiang-tiang panggung satu persatu, atribut umbul-umbul, dan tenda-tenda bazaar dari 29 vendor berbagai makanan cita rasa Indonesia dan kerajinan Indonesia.

Terkadang kita hanya melihat hasil akhir kemegahan sebuah acara, seolah-olah sangkuriang membangun panggung dengan kedipan mata dan tentunya di topang dengan kucuran dana tak terhingga dari berbagai perusahaan ternama Indonesia atau group elit gerbong-gerbong nasionalis; pada kenyataannya tiap proposal sumbangan selalu di balas dengan senyuman, dan kata-kata penyemangat macam “mantap kali”, “kita bangga” atau “semoga sukses” di ikuti dengan kisah-kisah pilu dana-dana yang banyak terserap pemilu atau keadaan politik yang sedang gonjang-ganjing.

Sehingga pelajaran terpenting dari membangun sebuah acara adalah berhenti berharap pada mereka, dan mulai membangun jaringan relawan yang penuh kemandirian. Karena tingkat kepedulian berbagai departement hanya terbatas pada jabat tangan dan foto bersama, tanpa kepedulian untuk mengkaji lebih jauh bagaimana mewujudkan sebuah acara yang besar dan penuh dukungan masyarakat yang besar, di lengkapi dengan aneka ragam makanan dari berbagai penjuru nusantara dan tari-tarian adat lengkap dengan busana nya bahkan kehadiran maskot betawi Ondel-Ondel di USA.

Andai saja kesuksesan dan keberhasilan kita tidak hanya di ukur dari seberapa banyak piala, medali, pundi-pundi , berbagai lembar ijazah dan surat=surat berharga, mungkin mereka-mereka yang melewati sepanjang hidupnya dengan segala daya upaya untuk menjadi yang terbaik dan berbakti bagi bangsa-nya akhirnya juga bisa berada di lahan yang sejajar dan menapak tingkat pijakan yang sepadan dengan mereka yang dianggap juara.

Kita kerap mengajari putra-putri kecil kita berbagai perlombaan untuk merayakan kemerdekaan sebagai cara menunjukan bahwa tiap putra-putri bangsa memiliki ragam bakat-bakat berbeda yang bisa di suguhkan kepada bangsanya; baik kecerdasan, ketangkasan, keberanian, atau sekedar kejujuran yang kian hari kian langka ditengah kancah lomba perebutan posisi di arena kekuasaan.

Menghitung tingkat keberhasilan kita dalam berbangsa dan bernegara selalu dibuat rancu tahun ke tahun oleh tolak ukur juru kampanye partai-partai yang tak henti-henti bicara angka pertumbuhan ekonomi, dan mereka-mereka yang lambat laun belajar menjadi piawai dalam menambal sulam hutang luar negri, menjadi tenaga ahli dalam menjinakan lonjakan US Dollar, dan mengimbangi pemasukan US Dollar entah dari beragam kreatifitas model investasi asing, dari kegiatan ekspor non-migas, atau sekedar dari upah para pekerja-dan warga diaspora Indonesia yang mau-tidak mau nyangkut di berbagai wilayah manca-negara, bekerja keras, membanting tulang, dengan gigih mengais US Dollar dan mendulang impian hidup yang mungkin bisa sedikit lebih baik.

Tanpa di-ikuti penjelasan rinci dari para juru podcast politik, yang kepakaran-nya di hitung dari berapa jumlah viewers di Youtube; kita sebagai rakyat Indonesia paham betul bahwa negri ini kian hari kian bobrok, dan semua pakar memainkan silat jurus tebang pilih antar kelompok lawan politik masing-masing, sehingga tidak ada hak dari kita semua untuk sok mengambil posisi netral, dan mempertanyakan kembali; apakah benar, gerakan demonstrasi mahasiswa kali ini adalah gerakan murni hati nurani atau sekedar terinspirasi oleh gejolak konflik elit politik partai.

Yang perlu di-garis bawahi disini, selama 25 tahun terakhir; pada kenyataannya konflik elit tidak akan pernah berhenti, dan konflik elit tidak akan pernah bisa menghentikan ketulusan gerakan hati nurani, mahasiswa dan masyarakat yang kian hari kian muak dengan mereka yang mengaku abdi Negara, tapi hanya mengabdi untuk kepentingan pribadi mereka masing-masing.

Andaikan tiap dari kita bisa memahami kata “Merdeka” dari relung hati para leluhur kita yang terjajah, mungkin kita tak akan henti meneteskan air mata tiap kali mendengar kata MERDEKA..!!, karena kata merdeka adalah batas antara manusia yang tertekan, tertindas, merana yang kemudian terbebaskan oleh ide-ide kemerdekaan dan menjadi manusia yang bebas untuk menentukan nasibnya, masa-depannya, dan berbagai pilihan politiknya, dan kita rakyat Indonesia sepakat dengan segala taruhan dan pengorbanan mendirikan Negara kesatuan republik Indonesia untuk melindungi kemerdakaan dan kebebasan rakyatnya dari ancaman tirani dan penjajahan bentuk baru.

Dan mereka yang saat ini menjadi penghuni sangkar emas; baik di ibu-kota maupun di-kantor perwakilan perwakilan  di manca-negara; para abdi Negara yang tidak memiliki visi dan cita-cita untuk meneruskan perjuangan leluhur untuk menjadikan rakyat Indonesia sebagai rakyat yang bebas, terlepas ada rasa sadar atau tidak sadar mereka telah menjadi jelmaan kaum penjajah yang berpura-pura buta, tuli dan bisu namun tanpa rasa malu maupun rasa bersalah, tetap terus menikmati hasil karya, jerih payah, peluh keringat, dan ratapan air mata putra-putri Indonesia.

Dengan berbagai kenyataan pahit terus tergerusnya cita-cita kemerdekaan di hati segenap abdi negara, dan korupsi yang meraja-lela di pemerintahan Indonesia. Gerakan hati nurani generasi muda; tidaklah harus terhenti di titik batas rancangan undang-undang, gerakan hati nurani juga bukanlah alat tawar menawar konflik elit politik, namun gerakan hati nurani adalah alat tawar bahwa bangsa ini bukan milik elit politik yang memperalat rakyat lewat slogan-slogan politik. dan podcaster yang antri menunggu peluang untuk memasuki kancah politik, dan para buzzer yang dengan bangga meracuni perpolitikan masyarakat dengan merusak makna kebangsaan, kenegaraan, dan kemerdekaan rakyat Indonesia demi uang se-peser.

Mereka yang menduduki posisi abdi Negara dan elit politik hari ini harus belajar takluk akan ide-ide demokrasi dan berhenti mencurangi perhatian masyarakat dengan sulapan-sulapan politik postingan sosial media. Sehingga rakyat bisa memilih abdi Negara nya sendiri, berdasarkan nurani mereka, contoh soal; mereka yang menjadi abdi Negara di luar negri, terpilih karena mereka ingin memperjuangkan bangsa nya– layaknya pejuang-pejuang diplomasi perundingan meja bundar, bukan di-pilih karena ikatan keluarga atau nilai TOEFL yang fantastis atau sekedar ijazah les ber-bahasa inggris lembaga ternama di ibu-kota.

Negara ini harus kembali pada; Gerakan kemerdekaan hati nurani, sebagai gerakan yang menyeluruh, bukan milik sekelompok elemen mahasiswa, atau seklompok demonstran politik, dan bukan hanya mereka yang terkena dampak keputusan politik yang tidak adil, tapi milik semua elemen bangsa yang memiliki visi dan misi kemerdekaan sama seperti mereka yg mencetus perjuangan kemerdekaan melawan penindasan.