Foto: Chatib Basri-Faisal Basri, dok. akun X Chatib Basri

JAKARTASATU.COM– Ekonom Chatib Basri mengatakan bahwa almarhum Faisal Basri seperti sebuah lentera bagi perubahan. Di tangannya, keberpihakan pada demokrasi menemukan suaranya, dan ketidakadilan menemukan musuhnya.

“Saya ingat sosok ini: kemeja biru muda, celana warna khaki, sepatu sandal, ransel di Pundak, dengan rambut, yang sedari muda, tak lagi penuh,” kenangnya, ditulis di akun X-nya, Kamis (5/9/2024).

 

Ia bercerita, pada akhir 1980-awal, 1990- an tak banyak ekonom di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang membahas ekonomi politik. Mungkin hanya Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjahrir dan seorang ekonom muda: Faisal Basri.

“Saya belum lagi genap menyelesaikan skripsi saya saat itu. Dan saya punya minat besar pada ekonomi politik. Mungkin karena banyak terpengaruh Alm. Dr Sjahrir,” kenangnya lagi.

“Saat itu saya menjadi asisten Sjahrir untuk mata kuliah Perekonomian Indonesia. Sjahrir adalah ekonom, tokoh mahasiswa yang pernah ditahan dalam kasus Malari 1974,” lanjutnya.

Keterlibatannya pada gerakan mahasiswa—yang dilakukan dengan rasa takut—membuatnya banyak berinteraksi dengan Faisal Basri.

“Saya ingat, bersama teman-teman di FEUI, kami menyelenggarakan Seminar Nasional untuk mahasiswa. Sengaja kami mengundang ekonom seperti Sjahrir, Rizal Ramli dan Faisal Basri dsb,” ungkapnya.

Saat Faisal berbicara di depan mahasiswa, kata dia, hati mahasiswa—setidaknya dirinya—menjadi kecut. Dengan lugas ia berbicara tentang bobroknya pemerintahan Soeharto akibat tumbuh suburnya korupsi, kroniisme dan ekonomi rente.

“Di masa itu, tak banyak orang berani menunding Soeharto secara langsung dalam diskusi terbuka. Faisal adalah kekecualian. Sejak itu saya menjadi akrab dengan Bang Faisal, begitu saya memanggilnya,” kata dia.

Kepada almarhum, Chatib berutang intelektual padanya. Bagi dirinya, Faisal tak hanya seorang kawan, senior dan guru dalam ilmu ekonomi tetapi juga teladan tentang integritas, keteguhan sikap dan keberanian.

“Ia tak hanya marah dan berani, tetapi Faisal adalah ekonom yang membaca data dengan baik. Pemikirannya cemerlang. Ia memahami konsep ekonomi dengan sangat baik. Pandanganya segar,” tegasnya.

Chatib mengaku cukup dekat dengan almarhum sebagai kawan. Ia menghormatinya sebagai senior dan guru.

Namun, walau cukup dekat, bukan berarti mengurangi sikap kritisnya pada dirinya. Saat saya menjadi Menteri Keuangan atau Kepala BKPM, dengan lantang ia menyampaikan kritiknya yang pedas pada saya,” akunya.

“Kami kadang berbeda pandangan, namun saya tahu, sikap kritisnya dibutuhkan: untuk perbaikan negeri ini. Seperti Reinold Niebhur pernah menulis: “Kapasitas manusia untuk berbuat adil, membuat demokrasi menjadi mungkin. Dan kecenderungan manusia untuk berbuat sewenang-wenang membuat demokrasi menjadi perlu”, katanya.

Demokrasi memang gaduh, mungkin menyebalkan. Tapi kata Chatib, almarhum bisa menahan kecenderungan manusia untuk berbuat sewenang-wenang.

”Faisal menyuarakan pesan tua itu. Ia mengingatkan kekuasaan untuk tak sewenang-wenang. Ia seperti sebuah lentera bagi perubahan,” kata Chatib.

Di tangannya, keberpihakan pada demokrasi menemukan suaranya, dan ketidakadilan menemukan musuhnya.

“Kematian memang mengakhiri kehidupan seorang manusia, tapi tidak ide dan pemikirannya. Selamat jalan Bang Faisal,” tandasnya. (RIS)