JAKARTASATU.COM– Ada pengendali kekuasaan NKRI menurut pengamatan Muhammad Said Didu. Pengendali kekuasaan NKRI itu kata dia dari kawasan elit di pinggir laut Jakarta.
“Menurut saya, pengendali kekuasaan NKRI saat ini BUKAN di Senayan, Istana, Cilangkap, Trunojoyo, dan Gedung Bundar, tepi semua dikendalikan dari
kawasan elit di pinggir laut Jakarta,” kata Said Didu, di akun X-nya, Jumat (6/9/2024).
Bicara tentang Said Didu, belakangan, dia sedang menghadapi apa yang disebut kuasa hukumnya, Gugroni, upaya kriminalisasi dari pihak tertentu. Upaya kriminalisasi itu karena Didu belakangan mengkritik keras pembebasan lahan dalam pengembangan kawasan mega Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk (PIK 2).
“Said Didu terancam dikriminalisasi melalui laporan Pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ke Polres Kota Tangerang. Kami melihat tindakan ini sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat,” ujar Gufroni, dikutip Tempo.
Ketua Badan Riset dan Advokasi Publik Lembaga Bantuan Hukum Advokasi Publik (LBHAP) PP Muhammadiyah ini mengatakan, saat itu laporan sudah masuk ke tahap penyidikan.
Said dilaporkan melanggar Pasal 28 Ayat 2 atau Pasal 28 Ayat 3 UU ITE dan atau Pasal 310, Pasal 311 KUHP.
Gufroni menjelaskan melalui sosial media, Said Didu kerap melakukan kritik terhadap ketidakadilan terhadap rakyat pada implementasi kebijakan PSN PIK-2 di 9 Kecamatan di Kabupaten Tangerang dan Serang. Dimana pada luasan area tersebut berdampak pada penggusuran ratusan ribu warga.
Dalam surat panggilan kepolisian yang ditujukan kepada Said Didu, tercatat nama pelapor adalah Maskota, yang menurut Gufroni merupakan Kepala Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia (APDESI) Kabupaten Tangerang.
“Kami dengan tegas mengecam upaya kriminalisasi yang dialami oleh Bapak Said Didu, seorang tokoh publik dan mantan pejabat negara yang selama ini secara konsisten menyuarakan ketidakadilan di berbagai daerah, termasuk di PSN PIK-2,” ujar dia.
Menurutnya, laporan tersebut merupakan bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh konstitusi. Ia menyebut hal ini sebagai sinyal yang menakutkan lantaran menyuarakan kebenaran dan keadilan dapat berujung pada proses hukum yang menekan.
Gufroni menegaskan laporan itu tidak proporsional dan tidak berdasar. Kritik yang disampaikan oleh kliennya, menurutnya, bagian dari hak konstitusional untuk menyampaikan pendapat dan memperjuangkan keadilan.
Penggunaan UU ITE untuk membungkam suara kritis dinilai hanya akan memperburuk citra demokrasi Indonesia dan menurunkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum. (RIS)