Tragedi Nia Kurnia Sari: Pupusnya Impian Gadis Penjaja Gorengan di Tangan Monster Biadab
Oleh: WA Wicaksono, Storyteller
Ada kalanya kisah-kisah hidup yang menyentuh bukan datang dari para bintang, pejabat, atau pengusaha kaya, melainkan dari mereka yang sederhana. Orang-orang biasa dengan cita-cita besar, yang berjalan di jalan-jalan sepi kota, jauh dari sorotan kamera, namun memiliki mimpi yang gemilang di dalam hati mereka. Seperti itulah Nia Kurnia Sari. Sebuah nama yang mungkin tak pernah kita dengar sebelumnya, namun dalam keheningan, ia menjadi cerminan dari harapan, perjuangan, dan ironi kehidupan yang tak terelakkan.
Nia, seorang gadis muda yang baru saja lulus SMA, adalah simbol anak-anak yang tumbuh dengan harapan. Di tengah kesulitan hidup, dia tak menyerah. Dia adalah anak kedua dari empat bersaudara, bukan berasal dari keluarga kaya, namun bukan berarti mereka miskin dalam semangat. Sejak SMP, Nia telah melangkah lebih jauh dari teman-teman sebayanya. Bukan dengan sepatu modis atau telepon pintar canggih, tetapi dengan langkah-langkah kecil yang penuh tanggung jawab—menjajakan gorengan keliling, demi membantu orang tuanya, demi mengumpulkan sedikit demi sedikit untuk mewujudkan impiannya: kuliah.
Ada yang bisa sangat menyakitkan dari ironi ini. Sementara banyak dari kita mungkin menjalani hidup dengan fasilitas yang berlimpah, terkadang lupa berterima kasih atas kesempatan pendidikan yang kita miliki, Nia berjuang keras untuk setiap langkah menuju masa depan yang dia dambakan. Dia adalah siswa cerdas, selalu meraih peringkat di sekolahnya. Bahkan, sebuah beasiswa menanti untuknya. Namun, beasiswa itu tak lagi bermakna ketika sosok yang akan menggapainya direnggut secara keji.
Di saat orang lain seusianya menikmati masa-masa selepas SMA dengan tawa, pertemuan teman-teman, atau merencanakan perjalanan panjang menuju perkuliahan, Nia tak pernah berhenti bekerja keras. Sejak pagi hingga petang, dia menjajakan gorengan—bukan buatan sendiri, tetapi dari orang lain. Itu menunjukkan betapa rendah hatinya ia, bekerja dengan penuh tekad tanpa pernah merasa gengsi. Pekerjaannya adalah pengorbanan kecil demi mimpi besar.
Namun, mimpi besar itu harus dihancurkan oleh tangan-tangan jahat yang tak berperikemanusiaan. Betapa kelamnya, dunia ini terkadang menawarkan kegelapan yang tak terduga. Nia ditemukan tewas di Padang Pariaman, diduga diperkosa sebelum dibunuh. Tubuhnya yang sempat penuh kehidupan, penuh cita-cita, kini tak lagi ada.
Apakah ada yang lebih jahat dari seseorang yang merenggut masa depan cerah seorang gadis muda yang penuh harapan? Di mana letak hati nurani mereka yang tega melakukan ini? Kita bisa menyalahkan pelaku, sistem, atau bahkan dunia yang tak adil, namun yang tersisa dari kisah ini adalah rasa sakit yang mendalam.
Ini bukan sekadar tentang Nia. Ini adalah cerminan dari banyak anak-anak muda di negeri ini, yang hidupnya dihiasi oleh perjuangan dan cita-cita, tetapi sering kali dihadapkan pada kekerasan dan ketidakadilan yang membungkam mereka. Setiap langkah Nia, setiap langkah anak-anak seperti dia yang bekerja keras untuk masa depan mereka, adalah tamparan bagi kita yang sering kali tenggelam dalam kenyamanan hidup.
Kita berbicara tentang pendidikan sebagai kunci masa depan, tentang kerja keras sebagai jalan menuju sukses, tetapi adakah jaminan bagi mereka yang telah berjuang mati-matian untuk mendapatkan masa depan itu? Nia tak pernah mengeluh. Dia tak meminta simpati. Yang ia inginkan hanyalah kesempatan untuk belajar, untuk menjadi lebih baik, untuk melangkah lebih jauh. Dan kesempatan itu telah direnggut darinya dengan cara yang sangat keji dan tak berperasaan.
Kisah Nia bukan hanya renungan bagi mereka yang dekat dengannya, tetapi juga sebuah pengingat bagi kita semua. Tentang betapa rapuhnya mimpi dalam dunia yang terkadang begitu kejam. Tentang betapa pentingnya perlindungan bagi mereka yang paling rentan. Tentang bagaimana kita, sebagai masyarakat, perlu lebih peduli, lebih melindungi, lebih menghargai mereka yang sedang berjuang keras di pinggiran kehidupan.
Nia mungkin telah pergi, namun mimpi-mimpinya tak boleh ikut hilang. Mereka yang sepertinya, yang masih bertahan dalam perjuangan yang sama, layak mendapatkan masa depan yang lebih baik. Dan kita, yang masih memiliki kesempatan, punya tanggung jawab untuk menjadikan dunia ini tempat yang lebih aman dan adil bagi mereka.
Di balik tragedi ini, tersisa tanya: Seberapa jauh kita telah membiarkan ketidakadilan merajalela? Alfatihah untuk Nia Kurnia Sari binti Asril.
10 Oktober Dibacakan Hasil Putusan PTUN Soal Gugatan PDIP, Gibran Batal atau Lolos Disahkan Jadi Wapres?
JAKARTASATU.COM-- Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri...
Rakyat Gugat PIK 2 Sebagai PSNTony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati BangsaTok ! PIK 2 diputuskan sebagai PSN (Proyek Strategis Nasional). Mulyanto, Wakil Ketua Fraksi...
Habib Rizieq Shibab Dkk Gelar Sidang Perdana 8 Oktober Tuntutan ke Jokowi Melawan Hukum
JAKARTASATU.COM-- Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengagendakan sidang perdana gugatan perbuatan melawan...
Kepolisian Ri, Belum Dewasa & Belum Mampu Menempatkan Diri, Perlu Reposisi Dan Reformasi
(Suatu Analisis)
Oleh Memet Hakim
(Pengamat Sosial Dewan Penasihat Aliansi Profesional Bangkit & Aliansi...