Sketsa Pilkada Serentak (12):

KPU pun “Gagal Ginjal”, Bulak-balik “Cuci Darah”

Oleh Imam Wahyudi (iW)

KPU terserang “gagal ginjal”. Harus bulak-balik “cuci darah” untuk menjamin lanjut bergiat dalam kondisi sehat. Boleh dibilang emergency yang butuh penanganan khusus. Serupa layanan UGD di rumah sakit.

Kedua kalinya, KPU harus “cuci darah.” Hal serupa ditempuh KPU, menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang ambang batas parlemen yang tidak lagi setara 20%.

Kali ini, gara-gara diagnosa “kotak kosong” yang menyerang organ tubuh Pilkada Serentak 2024. Diagnosa tetiba yang butuh terapi sesegera. Dalam durasi pendek. Untuk menyelamatkan nyawa demokrasi.

Langkah terapi dalam spasi darurat. Mirip pandemi (baca: wabah) yang tengah mencabik makna kontestasi. Mesti dilakukan serentak pula. Rujukan terapi ke DPR RI, yang punya fasilitas lengkap untuk itu.

Tercatat 41 kasus yang terdiagnosis yang perlu rujukan terapi. Meliputi satu pilkada provinsi (Papua Barat -pen), lima tingkat kota dan 35 kabupaten. Satu di antaranya di Jawa Barat, yakni Kabupaten Ciamis dengan paslon petahana — Herdiat Sunarya dan Yana D. Putra — yang diprediksikan unggul.

Diagnosa menunjukkan kemungkinan “kotak kosong” menang (seperti pada Pilkada Kota Makasar 2018 -pen). Diagnosa runtutan, andai paslon tunggal kalah atau perolehan suara tidak mencapai 50% plus satu ( simple mayority -pen). Padahal sudah “diatur” dalam  Undang-undang 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Tapi tidak tuntas mengatur seputar “kotak kosong”, setidaknya aspek keadilan dan kepatutan.

Dalam pasal 54D berbunyi, “jika perolehan suara paslon kurang dari 50%, boleh mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya.” Mengacu pengaturan Pilkada Serentak, frasa “pemilihan berikutnya” dapat ditafsirkan sebagai lima tahun lagi. Artinya selama itu ditunjuk Penjabat (Pj) Kepala Daerah. Dengan masa penugasan setahun, maka maksimal lima kali penetapan Pj. Pun opsi diperpanjang masa jabatan. Selain tidak punya daulat rakyat, berpotensi timbul masalah dalam sistem kelola pemerintahan.

Sementara pada ayat lain, disebutkan “pemilihan berikutnya diulang kembali pada tahun berikutnya.” Serasa ambigu. Bagaimana mungkin “tahun berikutnya” yang menabrak kesepakatan “serentak” lima tahunan? Namun opsi “tahun berikutnya” ini lebih “masuk akal”. Bahkan tak harus menunggu setahun. Lebih cepat, tentu lebih baik.

Kiranya, itu pula terapi “cuci darah” KPU ke DPR RI bersama pemerintah pada 10 September lalu. Terapi berupa Peraturan KPU (PKPU) yang diterbitkan kemudian. KPU diharapkan kembali sehat bergiat. Lolos durasi pendek “gagal ginjal”. ***

– jurnalis senior di bandung