Oratoria

Oleh: Taufan S. Chandranegara, praktisi seni, penulis

Ketika alam berseri ramailah suara selamat pagi. Semua gembira cerah ceria. Namun nasib di balik kata itu, meski sesungguhnya telah terjadi pergeseran perbedaan pilihan hidup, sebaiknya memang tetap gembira. Agar tak cepat tua berkerut kening lantas mati sebelum waktunya, atau mati sebelum berkembang dalam kurun waktu kisah generasi segala hal kalau tak bisa di sebut revolusi generasi kebaikan di ranah kebijaksanaan hati nurani. Suatu perubahan kesadaran memahami tanah lahir dengan saksama dalam banyak hal dari etos hidup sehari-hari hingga menempatkan kesadaran profesi di tempat sebenarnya dengan bijak menolak intervensi suara abu-abu untuk berlabuh di dunia hitam di balik seakan putih meski sesungguhnya hitam pekat.

Ogah banget mengutip hal ihwal tentang hidup berjalan ataupun berlari, sebab ketika sebuah peristiwa terjadi tentu ada pemantik perencanaan, baik tersembunyi maupun terbuka sebagaimana sebuah rencana, aturan, target berjalan sebagaimana budaya hidup berkembang patah tumbuh hilang musim berganti cuaca berubah kearah sebaliknya atau kearah tujuan baru sebaiknya di pahami secara terbuka rasional, otentik, berani melangkah berbeda tak sekadar demi asal oratoris revolusi bla bla lantas dalam diam menjadi abu-abu seiring waktu menjadi hitam diam-diam tanpa mampu mencegah watak koruptif lantas perilaku korupsi dalam huruf kapital mengibarkan kemenangan di antara legal hukum semarak aturan antikorupsi.

Ada banyak kisah di luar diri personal, negara bangsa. Sebuah benua nun jauh di sana di goyang gempa, ada kebakaran hutan dahsyat di negeri lain, ada negara tanpa perilaku koruptif, ada banyak hal tanpa di ketahui lantas datang lewat kabar berita; oh di sana masih ada perang di antara sesama, oh di sana baru saja perdamaian terjadi, oh itu ya si bernama cinta, oh di benua sana terjadi pandemi, semoga segara baik-baik saja; sepotong doa disampaikan dari sebuah nurani tak bernama, dari seseorang mungkin bukan siapa-siapa di masyarakatnya semoga, mungkin pemberi doa itu suatu masa kelak ‘kan sampai di surga; suara kebaikan itu juga doa tersampaikan kepada kehidupan selanjutnya.

Pernahkah bertanya pada diri sendiri. Siapa, aku. Terlahir untuk dunia di antara berjuta persoalan hidup menuju mati. Melankoli terkadang diperlukan sensibilitas kemanusiaan.; Apakah sang koruptor kakap memiliki perasaan itu ketika triliun masuk kedalam koceknya, ehem deh. Lantas hadir saksi-saksi dipersidangan, formal hukum berjalam sebagaimana mestinya, setelah putusan tersampaikan.; Apakah memuaskan semua pihak pelaku kehidupan. Entahlah.; Barangkali itu jawaban sempurna untuk sementara waktu, entah di kelak waktu kemudian. Ketika mendadak alam natural kembali memberi guncangan dahsyat meledaklah tsunami; mungkin memorabilia kembali berjalan mundur, mengingat hal ihwal, kebaikan atau keburukan telah dilakukan atau katakanlah akhirnya kesadaran diri baru saja tersampaikan.

Seseorang misalnya, lebih kecil dari sebutir debu, tak terlihat di mikroskop kebudayaan tekno tercanggih sekalipun, apa lagi di rentang kebudayaan zamannya atau negaranya; namun sebaiknya tetap sehat pikiran menggeliat setelah bangun tidur lantas segara meraih kesadaran; hidup tidak sendirian. Ada Sang Maha Pencipta, melihat langkah-langkahmu sebagai seorang pemimpin gugus pendakian gunung tertinggi di Bumi.

Apakah kamu sebagai pemimpin berani terbuka sesungguh-sungguhnya sebening nurani sebagaimana awal mula penciptaan, tanpa menyembunyikan senoktahpun titik hitam di hatimu; kalau kelak kau memimpin satu peleton pasukan pendakian ke gunung tertinggi di muka bumi ini. Semoga.

***

Jakartasatu Indonesia, September 15, 2024.

Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.