Nasi Tumpeng Peta Kawarang | IST
Nasi Tumpeng Peta Kawarang | IST

Ukir Rekor, Panen Tekor: Ironi Rekor MURI Tumpeng HUT ke-39 Karawang

Oleh: WA Wicaksono, Storyteller, Analis Pencitraan dan Iklan
Wow… kita sejenak terpukau, Pemkab Karawang baru saja ciptakan gebrakan monumental. Ribuan nasi tumpeng dibikin, dibentuk jadi peta Karawang raksasa, dan berhasil mencetak rekor MURI! Yess.. sebuah prestasi yang gak main-main, bukan? Pemda Karawang dengan bangga memamerkan rekor ini, bak superhero yang menyelamatkan dunia. Mereka merasa menyala.
Ups, tapi tunggu dulu. Ternyata ada cerita lain di balik layar—yang membuat banyak orang malah meerasa bahwa hal ini bukanlah kemenangan, melainkan… tekor. Ada yang bilang, “The road to hell is paved with good intentions,” dan mungkin itu yang terjadi di sini. Niatnya bikin prestasi, tapi hasilnya malah bikin kerusakan citra.
Entah bocor atau teledor, tiba-tiba saja setelah pemecahan rekor yang gegap gempita tersebut, beredar video yang bikin heboh dunia maya. Ribuan nasi tumpeng yang dibikin dengan penuh cinta untuk memecahkan rekor itu, malah dibuang begitu saja. Serius, dibuang begitu saja! Sontak, netizen pun ngamuk. “Ini mah buang-buang makanan! Mubazir!” kata mereka. Bagaimana banyak orang tidak sewot, di tengah-tengah masih banyaknya masyarakat yang kelaparan, tentu saja aksi buang tumpeng ini terasa seperti garam yang ditabur di luka terbuka. Uuuhhh… ngilu.
Melihat tsunami kritik pedas yang membadai, tentu saja Pemda Karawang tak tinggal diam. Mereka langsung pasang kuda-kuda, dan memberikan jawaban klarifikasi.
“Nasi tumpengnya sudah tak layak makan,” begitu jelas mereka. Tindakan itu disebut terpaksa dilakukan sebagai tindakan “preventif” untuk menghindari terjadinya hal-hal akibat dikonsumsinya makanan yang sudah tak layak makan. Agar tak ada kejadian buruk yang membahayakan Kesehatan masyarakat.
Hmm, sebuah alasan yang masuk akal sih. Tapi tetap saja bagi masyarakat, hal itu dirasa sebagai sekadar alasan penyelamatan diri semata. Mencari pembenaran agar bisa diterima dan dimaafkan. “Kenapa bisa sampai tidak layak makan? Kenapa kecepatan distribusinya tak direncanakan secara baik dari awal?” teriak banyak orang.
Tindakan preventif yang bener itu semestinya dimulai dari perencanaan matang! Kalau memang berniat membuat atau menerima sumbangan ribuan tumpeng, harus dipastikan ada strategi buat mendistribusikannya kepada orang-orang yang lebih membutuhkan. Bukannya dibiarkan menjadi dekorasi sampai akhirnya basi dan tak bisa lagi dimakan.
Logika inilah yang membuat kita berpikir. Bukannya lebih baik jika sejak awal pembuatan rekor nasi tumpeng itu direncanakan secara matang? Walaupun benar tujuan utamanya adalah rekor, namun tentunya harus dipikirin juga bagaimana cara cepat untuk mendistribusika nasi tumpeng tersebut kepada kalangan yang lebih membutuhkan, sebelum basi. Jika semua sudah disiapin dengan baik, tentunya tak bakal ada cerita tumpeng-tumpeng cantik yang terpaksa dibuang laiknya barang yang tak berharga.
Sebuah citra positif memang sangatlah berharga. Tentunya pemerintah Kabupaten Karawang ingin terlihat gemilang dengan rekor MURI tersebut. Tentu saja berharap bisa membuat headline moncer, naik panggung sebagai pembawa kejayaan daerah. Sayangnya, yang mereka dapatkan bukanlah pujian, melainkan tamparan publik yang membuat panik. Niat hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Meski Rekor MURI brhasil di tangan, tapi di mata rakyat? Zonk!.
Sepertinya khalayak bakal mengingat kejadian ini bukan sebagai momen kejayaan, melainkan justru momen di mana nasi tumpeng yang seharusnya jadi simbol kemakmuran dan kebersamaan malah jadi simbol pemborosan dan kemubaziran. Ya bisa dibilang, cetak rekor tapi hasilnya justru panen tekor di hati rakyat.
Apalagi jika dikaitkan dengan masalah prioritas. Boleh jadi rekor MURI dan rekor dunia memamng keren. Tapi di tengah krisis ekonomi dan kelaparan, masyarakat jelas lebih membutuhkan nasi di piring ketimbang nasi tumpeng yang jadi hiasan peta. Pemecahan rekor ini mungkin bisa membuat orang-orang terkesima selama lima menit, namun setelah itu, mereka bakal bertanya, “Mana dampaknya buat kami?”
Seperti kata Albert Einstein, “Tidak semua yang bisa dihitung, itu penting.” Memang, rekor MURI mungkin bisa dihitung dan dipajang di dinding, tapi kalau tak ada manfaat nyata buat rakyat, apa gunanya?
Jadi, buat seluru pemerintahan daerah, kota maupun kabupaten di seluruh Indonesia, jika ingin mengejar prestasi, jangan lupa selalu melihat dahulu kondisi di bawah. Publik sudah cerdas, dan mereka bisa membedakan mana yang show off dan mana yang genuinely helpful. Rekor tentu saja boleh, bahkan harus dicetak, tapi jangan sampai terperosok, berniat membuat sejarah malah membuat tekor citra sendiri. Tabik.