Sketsa Pilkada Serentak  (13):

Pedagang Asongan”

By Imam Wahyudi

Wartawan senior 

KISAH cerita “pedagang asongan” selalu menarik. Berkejaran dengan waktu dan tempat. Kerap menjanjikan, tapi tak jarang sepi pembeli. Tak ada tempat permanen, meski saat musim panen.

Sosok pedagang asongan tak kenal lelah. Ia pejuang ekonomi di sektor informal. Bermandi keringat cuaca panas yang kadang semburat debu. Di antara bayang-bayang razia aparat pamong praja, tak ada kata gentar untuk kejaran harapan.

Secara literal adalah kegiatan menjual barang dagangannya secara langsung kepada konsumen. Lokasinya tidak tetap alias berpindah-pindah.

Lantas, apa hubungannya dengan Pilkada Serentak 2024 yang tengah berproses?

Banyak orang bersimpati. Tak kecuali merasa prihatin. Demi dagangannya yang mudah ditenteng langsung peminatnya,  harus rela membuka medan pemasaran baru. Cenderung spekulasi. Terbilang ingin memuaskan majikan, sekaligus memicu penilaian tak ajeg dalam pendirian.

Dia harus bersaing di tempat yang terbilang asing. Bersaing dengan pedagang asongan lainnya. Lantas berlaku aturan tak tertulis: “sesama pedagang asongan dilarang saling mendahului.”

“Pedagang asongan” dalam arti lain bisa diartikan rela meninggalkan kawasan elektoralnya. Bahkan terpaksa menjauh dari basis dukungan (baca: elektabilitas). Adalah tingkat keterpilihan seseorang dalam kontestasi demokrasi.

Dalam bahasa keren disebut street vendor. Pedagang asongan merupakan salah satu pekerjaan di sektor informal yang cukup populer. Bergiat di angkutan umum, bis, terminal dan lainnya. Cenderung berpindah-pindah. Menyesuaikan keriuhan khalayak.

Berbeda majikan, memungkinkan pergeseran arahan di kawasan pemasaran baru. Antara majikan bermain mata. Konon pula, serupa evaluasi — sejalan eskalasi. Bersamaan tak mungkin lagi merubah produk dagangan dan model pemasaran. Rambu petunjuk arah mendadak terasa kabur. Buram. Tersapu mendung tak terduga. Langit tampak kelabu. Boleh jadi cuma sepoi angin tak memicu hujan berkelanjutan. Begitu kisah yang kadung melangkah.

Medan pemasaran itu, sejatinya milik siapa pun. Apalagi atasnama kebajikan berdemokrasi. Tak kecuali bagi siapa pun yang siap pertaruhan. Malah menistakan pemilik sejati arena kompetisi. Juga bagi yang kadung memilih jalur “asongan”. Betapa pun pasangan produk, tak cukup dinilai kimiawi. Standar “empat sehat lima sempurna” boleh jadi butuh intensitas langkah. Toh, ujian lapangan belum sejalan harapan.

“Pedagang asongan” tak dikecualikan, tetap dianggap berpeluang “laris manis tanjung kimpul”. Sebutlah, “pedagang asongan” juara. Mengalahkan sesama lainnya. Namun tetap saja disebut, minimal stempel mantan pedagang asongan. Apa hendak dikata?!

– imamwahyudi