Ilustrasi AI Lame Duck | WAW
Ilustrasi AI Lame Duck | WAW

Bebek Lumpuh

Oleh: WA Wicaksono, Storyteller, Analis Pencitraan dan Iklan
Siapa yang tak kenal dengan sang Raja Kodok? Di masa jayanya, ia dielu-elukan sebagai pahlawan, sang penyelamat yang sederhana dan polos, yang turun dari rawa-rawa untuk mengembalikan kejayaan bangsa. Dengan kumis tipis yang entah mengapa terlihat begitu lugu namun berwibawa, ia memimpin negeri dengan kharisma luar biasa. Para pejabat dan politisi lain melihatnya sebagai lambang keberanian, kecerdasan, dan harapan. Tapi, seperti terkena kutukan pepatah lama yang mengatakan, “Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut korup dengan absolut,” sayangnya, nasib kutukan itu juga menimpa Raja Kodok kita.
Di balik tawanya yang lugas dan senyumnya yang ramah, ternyata ada ambisi besar yang terus berkobar. Ia tidak ingin kekuasaannya terhenti oleh masa jabatan resmi yang terbatas. Dus, cara termudah untuk mewujudkan itu adalah dengan menyiapkan “dinasti kodok.” Anak-anaknya yang bahkan belum pernah melewati ujian tadpole (anak kodok) di kolam renang politik tiba-tiba dikarbit agar bisa mendapatkan jabatan strategis. Ipar dan menantunya yang dulu hanya bisa melompat-lompat di pinggir kolam, mendadak didukung untuk mendapatkan peluang di kursi-kursi kekuasaan. Siapa yang tak curiga?
Namun dari sinilah kisah tersebut berubah drastis. Terlalu percaya diri, aksi Raja Kodok menjadi terlalu vulgar. Konstitusi disiasati, suara rakyat dimanipulasi. Publik yang tadinya terpesona oleh gaya ndeso namun kharismatiknya mulai meragukan itikad baiknya. Rakyat merasa dibohongi, dibodohi, dijebak, dan akhirnya, seperti yang selalu terjadi dalam sejarah, mereka mulai marah. Persis seperti yang pernah dikatakan oleh Niccolò Machiavelli, “Orang yang ingin selalu baik akan segera hancur di antara begitu banyak orang yang tidak baik.” Sang Raja Kodok, yang tadinya dianggap baik, kini mulai dihakimi sebagai tidak baik oleh rakyat yang mulai sadar.
Segala janji manis yang pernah dilontarkan kini terasa hambar. Publik mulai melirik alternatif lain, meninggalkan Raja Kodok sendirian di istana yang megah namun dingin. “From hero to zero” tak pernah terasa begitu menyakitkan.
Apa yang terjadi selanjutnya? Seiring waktu, jabatan sang Raja Kodok mendekati akhir. Alih-alih mengukir warisan yang abadi, ia kini menjadi bahan olok-olok. Kehadirannya yang dulu disambut dengan puja-puji, kini justru dihujani dengan gegap gempita ejekan yang melecehkan.
Seperti kata George Orwell, “Semua hewan sama, tapi beberapa hewan lebih sama daripada yang lain.” Dinasti kodoknya tidak begitu “sama” di mata rakyat. Dan yang lebih menyakitkan, Raja Kodok kita sekarang berstatus “lame duck”— bebek lumpuh, atau dalam kasus ini, kodok yang tak lagi bisa melompat.
Kini, sang Raja Kodok hanya duduk di kursinya, mendengarkan cercaan dari segala penjuru. “A leader without followers is just a man taking a walk,” begitu kata Napoleon Bonaparte. Dan benar, sang Raja Kodok kini hanya sendirian, terisolasi, tanpa dukungan yang tersisa.
Jelang akhir cerita, rakyat tersadar bahwa mereka telah memberi terlalu banyak kekuasaan pada satu kodok yang tidak bisa memegang amanah. Sang Raja Kodok kini menjadi simbol lame duck—pemimpin yang kehilangan semua kharisma dan kekuatannya, ditinggalkan oleh rakyat yang dulu mengelu-elukannya. Akankah ini akan menjadi kenyataan? Entahlah. Tabik.