Koalisi

Oleh: Taufan S. Chandranegara, praktisi seni, penulis

Nah ini dia, konotasi, koalisi, istilah umum sebagaimana adanya di ranah unsur seni politik sedang akan berpolitik, konon begitu. Koalisi enggak selalu sih. Berpolitik sendirian juga boleh; menulis politik atau berpikir berpolitik kan sendirian, misalnya.

Apaan sih koalisi, baragkali kesepakatan membangun kebaikan bersama seluas langit. Nah, itu. Mungkin juga begini deh, meminjam kalimat umum kadangkadang mencuat di gugusan kaum pintar, semisal “Kan negara demokrasi berembuk untuk berpendapat kan baik, dilindungi undangundang.” Nah, lagi. Ya, itu saja. Sampai di situ ajeh.

Lah iyalah hai. Kalau publik berpendapat baik, dalam lingkup wilayah sebuah negara dilarang undangundang, misalnya loh. Wah repot deh. Bisabisa tak ada lagi sebutan, negara dilahirkan dari rahim publik. Hmm. Boleh dong dehemdehem, kan tak melanggar undangundang atau peraturan. Salam damai.

Terkadang pula kalau hamba sedang ngelamun di kamar mandi duduk laiknya karya sculpture Auguste Rodin, The Thinker (1904). Adegan dari patung itu di adaptasi bebas oleh N. Riantiarno,  untuk karakter peranan tokoh Warda, duduknya senantiasa seperti patung Rodin, dalam naskah drama panggung, Opera Sembelit (1998), tersirat trans-informasi filosofis, “Apa, ‘kan dilakukan manusia, kemudian, setelah berpikir kritis.” Selalu sebuah pertanyaan, sederhana, di balik tokoh dalam kisahkisah naskah drama, N. Riantiarno, setelah para murid all out research, endingnya, Guru Nano, selalu memberi jawaban, sesederhana dalam tanda petik di atas itu.

Lagi, dalam satu proses kreatif, Opera Kecoa (1985), Jungkir balik di banyak hari para murid adaptif dalam sunyi, di Taman Lawang (1985) di era Orde Baru. Lantas keluar masuk, maaf, perkampungan kumuh sekitar Jakarta, di era itu. Endingnya, lagi-lagi jawaban sederhana dari, N. Riantiarno “Meskipun, cuma kecoakecoa, tak boleh menyerah untuk menyatakan hakikat kebenaran.” Kalimat itu,  bagai layar terkembang, di antara pelarangan pementasan Teater Koma, dalam bentuk apapun, lantas menuai badai, syarat, ‘ijin khusus’ untuk setiap pentas-pentas, Teater Koma, hinggga pelarangan pentas drama, Suksesi, di Taman Ismail Marzuki (1990). Kalau era sekarang udah enggak deh ya kele, semoga. Terima kasih.

Ada, WS. Rendra, pada eranya, dengan antologi, Potret Pembangunan Dalam Puisi (1993). Ada Putu Wijaya, terus menerus, mengaum, dengan naskah drama AUM (1993) estetika pikiranpikiran filosofis Putu Wijaya, cinta negeri membumi universal.

Kesenian, oasis hati nurani dari banyak kreator seni seluas Indonesia Raya. Terus menerus estafet di kemodernan, adaptif, di berbagai sektor estetis, film, musik, seni rupa, seni patung, digital sistem alternatif, hingga luasnya keindahan tradisitradisi, negeri tercinta ini.

Hakikat kreator seni; pernyataan cinta kebenaran tulus untuk negerinya; dalam bentuk kemasan seni; tentu ‘kan mencapai ekonomi perdaganagan, pengembangan wilayah, pemekaran usahausaha kecil hingga menengah, mencapai kesetaraan pendapatan daerah hingga keperbatasan sebuah negeri terjauh. Semoga, salam baik saudaraku.

***

Jakartasatu, September 17, 2024.

Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.