JAKARTASATU.COM– Poros Jakarta hari ini, Rabu (18/9/2024), mengadakan agenda diskusi bedah tuntas dengan tema “Fenomena Gerakan Coblos Semua (Gercos) pada Pilkada DKI Jakarta 2024”, di Benz Zone, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Bedah tuntas dengan tema itu menghadirkan tiga narasumber: Ichsanuddin Noorsy, Prof Siti Zuhro, dan Refly Harun. Hadir juga Biem T Benyamin (Ketua Poros Jakarta) dan Eka Jaya (Sekjen Poros Jakarta)—selaku penyelenggara acara diskusi.
Sebelum diskusi dimulai, Poros Jakarta memberikan sambutannya, yang diwakilkan oleh Sekjen Poros Jakarta, Eka Jaya.
Eka mengatakan, diskusi ini terlaksana karena melihat fenomena Gercos yang belakangan tengah ramai, sembari menyebut Refly yang pernah menyinggungnya.
“Selain itu, ini juga sebagai bentuk perlawanan kita kepada partai politik. Ada jegal menjegal bagi pihak yang layak memimpin Jakarta,” ujarnya.
Sambutan dilanjutkan dengan penyampaian pandangan dari tiga narasumber. Pakar hukum tata negara, Refly menjadi orang pertama yang menyampaikan pandangannya.
Dalam pandangannya itu, Refly mengatakan bahwa Gercos adalah gerakan politik warga yang rasanya resah dengan keangkuhan penguasa kepada demokrasi. Menurut dia, Gercos itu adalah hak politik setiap warga negara.
“Kampanye dengan kesadaran adalah hak politik warga negara. Apalagi jika Gercos dianggap ekspresi sebagai perlawanan kepada kartel politik, sah-sah saja. Itu hak kita. Terpenting kita tidak menjanjikan atau iming-iming, dan lainnya,” Refly menyampaikan.
Menurut peneliti BRIN, Prof Siti Zuhro, fenomena Gercos ini adalah bentuk ketidakpercayaan warga kepada para pengelola pemilu. Dimana mestinya pemilu itu duduk atau berdiri berkedudukan sama.
Namun demikian, ia menyebut bahwa Gercos ini seperti swing voters. Masih dalam mengamati. Wait and see.
Siti mengimbau jika demikian adanya tidak seperti itu, maka warga mesti menjadi pemilih yang cerdas. Bukan pemilih karena dimobilisasi receh. “Jangan kita hilangkan harkat dan martabat,” imbaunya.
“Daripada golput, lebih baik saya coblos semua, itu tidak menjadikan kita happy,” imbuhnya.
Sementara itu, ekonom Ichsanuddin Noorsy menyoal Gercos ini mengatakan, bahwa gerakan itu lahir karena adanya sistem yang salah.
Tidak hanya sistem yang salah kata dia, melainkan juga karena adanya tokoh-tokoh yang buruk.
Noorsy mengungkap, Gercos juga pernah “terjadi” di masa lampau. Persisnya tahun 1977.
Ketika itu kata dia, digagas oleh para aktivis UI di Salemba (belum pindah ke Depok, red.) Gagasan muncul karena pengaruh rektor ketika itu.
Kini Gercos berulang. Dalam konteks kekinian, menyinggung hakikat, Gercos muncul karena pengaruh digitalisasi.
Diskusi diikuti oleh ratusan orang. Mereka datang dari berbagai tempat dan juga organisasi. (RIS)