Nebeng Jet Pribadi | Ilustrasi AI - WAW
Nebeng Jet Pribadi | Ilustrasi AI - WAW

Nebeng: Upeti Untuk Pejabat atau Keluarganya yang Mupeng?

Oleh: WA Wicaksono, Storyteller, Analis Iklan dan Pencitraan
Di jalan-jalan kota, dari gang sempit hingga boulevard mewah, budaya “nebeng” sebenarnya sudah jadi bagian dari rutinitas harian masyarakat zaman dulu. Mulai dari si karyawan yang telat sampai mahasiswa akhir bulan, budaya nebeng —-berbagi tumpangan tanpa pamrih, seolah menjadi benang penghubung antara mereka yang punya lebih dengan mereka yang membutuhkan. Tentu saja sebagai budaya tolong menolong, budaya memberikan tebengan tersebut terlihat begitu mulia. Sebuah solusi dan media alternatif untuk saling membantu di tengah tantangan kemacetan, polusi, dan harga BBM yang semakin meroket.
Tapi, tunggu dulu! Apakah budaya memberikan tebengan dan nebeng itu selalu murni dan tulus, atau ada selipan agenda tersembunyi yang membuat aktivitas ini punya wajah ganda?
Antara Solidaritas dan Simbiosis
Budaya Nebeng dan memberikan tebengan, jika diurai dari sudut pandang budaya, sesungguhnya merupakan sebuah refleksi dari nilai solidaritas yang kuat. Siapa pun yang memiliki kendaraan lebih, baik motor atau mobil, bahkan mungkin pesawat jet pribadi, mau berbagi tumpangan dengan mereka yang membutuhkan.
“Nebeng yuk!” bukan cuma sekadar tawaran untuk memberikan tumpangan, melainkan cermin dari keinginan bersama untuk memudahkan hidup orang lain. Orang yang memberi tumpangan atau tebengan semestinya akan dilihat sebagai sosok dermawan dengan hati yang lapang, yang menebar kebaikan tanpa berharap imbalan. Bahkan mereka ini layak disebut pahlawan di tengah hiruk-pikuk kehidupan urban yang semakin memekakkan telinga.
Namun, seiring waktu, nebeng mulai dipertanyakan keaslian niatnya. Apakah mereka yang menawarkan tumpangan benar-benar tulus, atau hanya berusaha menebar jaring kepentingan yang penuh tendensi di belakangnya?
Dari Kebaikan Hati hingga Nepotisme di Jalanan
Fenomena nebeng mulai berubah wajah saat sosok yang ditumpangkan bukanlah sembarang orang. Ketika yang diberikan tumpangan adalah “orang penting”, keluarga pejabat, atau bos di kantor. Dus, tiba-tiba tumpangan tersebut terasa berlebihan. Mulai dari membuka pintu dengan hormat, memasang AC lebih dingin, hingga menawarkan cemilan yang lezat. Dalam sekejap, nebeng yang awalnya kegiatan berbagi, berubah menjadi ajang pamer fasilitas untuk tujuan tersembunyi.
Seakan tidak cukup dengan niat baik, tiba-tiba ada pamrih tersembunyi di balik kemudi. Tebengan jadi sarana untuk menjilat, memperhalus lobi, atau lebih tepatnya, sebuah gratifikasi jalanan yang dibalut senyum dan kehangatan palsu. Mereka yang menumpang bukan lagi teman biasa, melainkan tiket menuju kesempatan spesial. Yang diberi tumpangan bisa saja keluarga pejabat yang nantinya akan membantu “melancarkan” izin proyek, atau anak dari bos besar yang akan mempercepat promosi. Tiba-tiba, nebeng ini beralih fungsi dari sekadar tumpangan gratis menjadi investasi jangka pendek.
Tebengan, Gratifikasi atau Suap?
Inilah dilema paling krusial dari budaya nebeng. Ketika kegiatan ini berubah menjadi ajang transaksi tak kasat mata, esensinya runtuh. Apakah ini masih bisa disebut kebajikan? Ataukah telah berubah jadi semacam sogokan yang ditoleransi?
Secara hukum, tentu saja, suap atau gratifikasi adalah tindak kriminal. Tapi bagaimana dengan nebeng? Tidak ada uang tunai yang berpindah tangan, hanya bensin yang sedikit lebih boros, tapi si pemberi tumpangan mendapat balasan dalam bentuk perhatian, kesempatan, atau bahkan keputusan atau kebijakan yang sangat menguntungkan. Jadi, saat fasilitas nebeng diberikan untuk orang-orang dengan kekuasaan, maka jelasjelas nebeng ini mendadak tak lagi terasa murni.
Nebeng yang Sehat: Kembali ke Akar
Untuk menjaga budaya nebeng agar tetap murni, ada baiknya kita kembali ke akarnya. Nebeng seharusnya tetap menjadi sarana berbagi. Tidak perlu dilengkapi dengan fasilitas ekstra yang berlebihan atau harapan balasan tersembunyi. Bayangkan jika setiap orang memberikan tumpangan tanpa peduli status sosial atau jabatan, betapa harmonisnya jalanan kita. Alih-alih menjadi sarana mencari keuntungan, nebeng akan kembali menjadi wujud nyata dari kemanusiaan kita.
Jadi, sebelum kita memberikan tumpangan, mari kita tanya pada diri sendiri: Apakah ini murni kebaikan, atau ada sesuatu yang kita harapkan di baliknya? Jika jawabannya adalah pamrih, mungkin lebih baik kita biarkan mereka menunggu bus saja atau naik pesawat komersil seperti orang pada umumnya.Tabik.