AstabratA Institute, September 2024
AstabratA Institute, September 2024
JAKARTASATU.COM – Panel Diskusi dengan tema “Warisan Utang Pemerintahan Joko Widodo”, yang digelar AstabratA Institute di Sunbreeze Hotel Jakarta, pada 6 September 2024 lalu, menghadirkan beberapa pembicara seperti Awalil Rizky, dengan materi diskusi bertema “Total dan Jenis Utang Pemerintahan Joko Widodo”, Prof. Anthony Budiawan, yang mengetengahkan tema “Pengelolaan Keuangan Negara yang Ugal-Ugalan”,serta intelektual muda; DR. Ubedilah Badrun dengan materi diskusi bertema “Prediksi Manuver Politik Joko Widodo Sebelum Lengser”.
Diskusi yang dihadiri sekitar 75 orang terdiri dari 50 orang perwakilan BEM seJawa, aktivis senior seperti; Hatta Taliwang (eksponen‘78), DR. Herdi Sahrasad (Dosen Universitas Paramadina), Radhar Tribaskoro (ITB), Prof. Makmun Murod (Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta), Andi Sahputra (GOWA), dan Syahdhana (mahasiswa Indonesia di London).
Diskusi yang berlangsung hangat tersebut menampilkan data utang original dan faktual yang belum terekspose. Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan) selalu hanya mengakui utang Luar Negeri saja, yang pada Juli 2024 sudah mencapai Rp 9.600 triliun. Padahal masih banyak utang dan kewajiban domestik, seperti Dana Pensiun, penggunaan Dana Haji, Bapertarum, Dana Reboisasi Kelapa Sawit dan Pertambangan yang digunakan pemerintah dengan skema investasi.
Awalil Rizky memaparkan bahwa sudah mencapai Rp 22.000 triliun. Pengelolaan Keuangan Negara yang “ugal-ugalan” tercermin dari tidak taatnya Joko Widodo terhadap Undang-Undang APBN, karena sering alokasi seenaknya,dan utang serta investasi tanpa studi kelayakan,sehingga utang BUMN mencapai Rp 6.500 triliun. Khusus BUMN di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) rata-rata hampir bangkrut.
Khusus yang mengelola tol, jalan tol dijual kepada Tiongkok dengan harga murah. Padahal tujuan utama pembangunan jalan tol, adalah untuk memurahkan (efisiensi) biaya logistik. Ternyata jauh panggang dari api. Truk logistik memilih jalur non-tol, karena biaya tol yang mahal.
DR. Ubedilah Badrun mengantisipasi Manuver Politik Joko Widodo sebelum lengser, agar peralihan kekuasaan berjalan aman dan lancar. Semua kemungkinan bisa terjadi karena Joko Widodo “takut dan khawatir” tentang keselamatan diri dan keluarganya. Hubungannya dengan Prabowo Subianto pasca lengser akan menentukan nasibnya di kemudian hari. Apalagi
hubungannya dengan Megawati Soekarnoputri panas dingin; dan rakyat, khususnya mahasiswa menuntut Joko Widodo diadili sesuai kesalahannya.
Joko Widodo mulai tanggal 10 September sampai dengan H-1 (19 Oktober 2024) akan berkantor di IKN (Ibu Kota Negara), tetapi publik menganggap hal tersebut untuk menghindari demo mahasiswa pada akhir September 2024 ini. BEM se-Jawa telah bertekad tangkap dan adili Joko Widodo. Sayangnya sebagai negarawan, Joko Widodo kurang bijak, dengan merencanakan 20.000 orang pasukan berani matinya unjuk kekuatan di Jakarta pada tanggal 22 September 2024 ini. Jelas ini tidak bijak karena akan memancing konflik horizontal.
Adapun beberapa kesimpulan yang didapat dari diskusi tersebut adalah:
Pemerintahan Joko Widodo mewariskan utang jumbo sejumlah Rp 22.000 triliun. Sementara Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan) mengklaim bahwa utang pemerintah hanyalah Utang Luar Negeri (berupa Surat Utang Negara dan utang bilateral) yang mencapai Rp 9.600 triliun seperti yang dilaporkan dalam LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat) yang dirilis pada Agustus 2024. Sedangkan kewajiban domestik dari penggunaan dana publik, contigency debt, dan utang BUMN, bukan sebagai utang negara, padahal kewajiban tersebut harus dibayarkan. Begitu juga dengan Utang BUMN, jika BUMN bangkrut adalah tanggung jawab pemerintah sebagai pemilik.
Sungguh utang tersebut menjadi problem utama Pemerintahan Prabowo Subianto. Hal itu dapat diantisipasi dengan membentuk Badan Penerimaan Negara (fiskal), sehingga Kementerian Keuangan fokus mengurus pengeluaran dan pembayaran. Pengendalian utama langsung oleh Presiden, mengeliminir kekuasaan ‘Lapangan Banteng’ yang terkadang kebijakannya diintervensi oleh IMF dan World Bank.
Utang jumbo pemerintah harus ditutup oleh utang baru, dan sudah melewati ratio 100% dari PDB (Produk Domestik Bruto). Sedangkan PDB kita tahun 2023 hanya sebesar Rp 20,892 triliun.
Pengelolaan Keuangan Negara pada era Joko Widodo terkesan ugal-ugalan. Dana Taspen (dana pensiun ASN) yang dipotong dari gajinya dihabiskan oleh Joko Widodo untuk pembangunan infrastruktur. Saat ini dana pensiun ASN dibayarkan lewat APBN, sehingga mengurangi ruang fiskal yang sudah terbatas. Ambisi pembangunan infrastruktur ini menjadi biang kerok hancurnya keuangan negara. Pada 2017, Sri Mulyani Indrawati “angkat tangan” jika tambahan anggaran untuk infrastruktur diambil dari APBN.
Rini Soemarno sebagai Menteri BUMN mempunyai proposal yang mengusulkan bahwa BUMN bisa sebagai solusi, dengan syarat Pasal dalam Undang-Undang BUMN direvisi. Bahwa jika BUMN berinvestasi dan berutang, harus seizin DPR. Diubah menjadi: jika anak perusahaan dan cucu perusahaan BUMN berinvestasi dan berutang, tidak memerlukan izin DPR. Maka semenjak itu, BUMN menjadi bancaan untuk membiayai infrastruktur ambisi Joko Widodo.
Mengenai manuver Joko Widodo menjelang lengser, terlihat nyata karena kekhawatiran dan ketakutannya ekses dari perseteruannya dengan Megawati Soekarnoputri. Isu kerenggangan dengan Prabowo Subianto akibat ulah Gibran Rakabuming Raka yang tidak diterima publik sebagai Wakil Presiden. Mulai dari penguasaan parpol lewat jurus Sprindik (Surat Perintah Penyidikan), Airlangga Hartarto menjadi korban diadakannya Munaslub, sehingga Bahlil Lahadalia dijadikan sebagai Ketua Umum Partai Golkar yang baru.
Berikutnya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa); Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang sempat menjadi cawapres dari Anies Baswedan dalam Pilpres 2024, dilakukan Munaslub PKB. Ternyata Cak Imin lebih dulu melakukan konsolidasi dengan Munaslub di Denpasar, dan menempatkan Wapres Ma’ruf Amin sebagai Ketua Dewan Syuro sekaligus menjadi bumper. Rencana Munaslub versi Joko Widodo yang memanfaatkan tokoh Nahdlatul Ulama (Yahya Cholil Staquf dan Saifullah Yusuf), gagal.
Kemudian Abdul Halim Iskandar (Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi) yang juga kakak Cak Imin menjadi korban, disangka terlibat dana hibah di Jawa Timur.
Ketakutan dan kepanikan Joko Widodo membuatnya menggunakan kekuasaannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Terakhir yang jadi korban, adalah Ketua Umum Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia), Arsyad Rasyid yang kita ketahui sebagai Ketua Timses Capres-Cawapres 2024 Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dikudeta oleh Anindya Bakrie.
Joko Widodo berharap mempunyai power di KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dengan cara memonitor penuh komisioner yang diseleksi. Padahal mulai 20 Oktober 2024 nyaris seluruh pejabat binaannya akan mengabaikan perintahnya. Hidupnya akan berakhir di penjara sesuai tuntutan rakyat lewat mahasiswa yang akan gencar berdemonstrasi di akhir September 2024 ini. Joko Widodo akan mengantisipasi pengunjukrasa dengan menurunkan Pasukan Berani Mati sebagai ‘gertakan’ yang tanpa disadari akan memancing konflik horizontal.
Melihat sikap dan perilaku Joko Widodo dalam menjalankan kekuasaan selama 10 tahun ini, jauh dari sikap negarawan. Terkesan Joko Widodo hanya memikirkan ambisi pribadi, dan kepentingan keluarganya, tidak ada kepentingan negara dalam setiap kebijakannya. Sebagai boneka oligarki, Joko Widodo daulat investor,sehingga mencerabut kedaulatan rakyat. Belum lagi perilaku kekuasaan yang cenderung despotik (semau gue), sangat patut diduga sering melakukan ‘fraud’, khususnya dalam pengelolaan keuangan negara.
Screenshot
Terkait dengan banyaknya tantangan seperti yang dipaparkan dalam kesimpulan diskusi di atas, diskusi ini juga memberikan beberapa saran bagi pemerintahan Prabowo sebagai berikut:
1. Prabowo Subianto harus ekstra hati-hati dalam masa transisi pemerintahan, khususnya di sektor keuangan, sebelum cut off keuangan negara.
2. Beban utang yang sangat berat harus direstrukturisasi, dan diidentifikasi penggunaan dana publik yang tidak melalui APBN (konstitusi) dan tidak dikontrol DPR. Kewajiban pembayaran utang di tahun 2025, harus dipastikan agar tidak gagal bayar. Kewajiban mencapai Rp 800 triliun. Peringkat ekuitas bursa saham dan utang (investasi) yang turun menjadi Underweight menjadi dasar untuk keseriusan dalam solusi fiskal.
3. Solusi fiskal dengan membentuk Badan Penerimaan Negara bertujuan agar kendali langsung di tangan Presiden adalah bagian dari solusi. Peningkatan rasio pajak dari 10,41% ke batas tertentu, secara gradual untuk mencapai target seperti negara-negara ASEANyang sudah di atas 15%, bahkan Vietnam sudah mencapai 23%.
4. Peningkatan rasio Bagi Hasil dengan perusahaan pertambangan yang saat ini hanya 2,5% dinilai terlalu rendah. Akan ditingkatkan lagi agar PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) meningkat. Begitu juga dengan margin BUMN dari ratusan perusahaan (anak perusahaan dan cucu perusahaan BUMN) hanya berkontribusi Rp 800 triliun pada tahun 2023, padahal korupsi BUMN Timah saja mencapai Rp 300 triliun.
5. Diharapkan pemerintahan Prabowo Subianto kembali ke ekonomi konstitusi Pasal 33 UUD 1945. Mashab Welfare State dan sistem ekonomi inklusif dibuat agar ketimpangan ekonomi antar pengusaha pribumi tidak semakin dalam. UMKM menjadi soko guru ekonomi mikro, dan didukung penuh oleh pemerintah dengan kebijakan afirmatif. |RLS-JAKSAT