Kabinet Zaken Gemuk, Bisa Ngegas atau Cepat Kehabisan Napas?
Oleh: WA Wicaksono, Storyteller, Analis Iklan dan Pencitraan
Jelang pelantikan pemerintahan baru, kabar bahwa cabinet zaken mendatang akan “gemuk” terus bergulir dan menggelitik banyak pihak. Kabinet yang dikabarkan akan diisi dengan tambahan menteri baru dan kementerian baru ini diklaim untuk mempercepat gerak pembangunan. Dengan alasan siap “ngegas” sejak hari pertama bekerja, kabinet ini siap menghadirkan wajah-wajah baru yang gemoy dalam tubuh pemerintahan. Tapi, benarkah dengan semakin gemuknya kabinet, pemerintahan akan mampu melaju kencang bak mobil balap? Atau justru malah cepat kehabisan napas karena terjebak dalam macet birokrasi, lamban bergerak seperti siput yang kebanyakan beban?
Dalam logika sederhana, apa yang gemuk cenderung bergerak lebih lambat. Sebut saja orang yang kelebihan berat badan, mereka butuh usaha lebih untuk bergerak lincah. Apakah kabinet gemuk juga demikian? Bukannya mempercepat, bisa jadi penambahan kementerian justru memperpanjang rantai birokrasi dan menambah beban operasional. Memang, pemerintah kerap kali mengumbar narasi bahwa semakin banyak tangan yang bekerja, semakin cepat pula pembangunan tercapai. Tapi, jangan lupa, lebih banyak tangan juga berarti lebih banyak yang harus diatur, lebih banyak kepentingan yang diselaraskan, dan lebih besar potensi terjadi gesekan. Alih-alih ngegas, kabinet gemuk ini mungkin akan lebih sering terjebak dalam dinamika internal, menghambat gerak cepat yang diharapkan.
Tak bisa dipungkiri, di balik semua wacana idealisme percepatan pembangunan, ada aroma politis yang tak bisa ditutupi. Penambahan kursi di kabinet disinyalir lebih untuk mengakomodir kepentingan koalisi pendukung. Lihat saja, partai-partai yang sebelumnya keras bersuara di barisan oposisi, kini dengan manisnya berubah haluan, merapat ke barisan pemerintahan. Perbedaan ideologi dan prinsip yang sebelumnya dielu-elukan, tiba-tiba lenyap begitu saja. Tak lagi penting visi misi yang bertolak belakang. Demi “persatuan”, “kebersamaan”, dan sederet jargon nasionalisme lainnya, partai-partai ini rela meninggalkan semua yang pernah mereka perjuangkan. Seolah-olah prinsip hanyalah aksesoris politik yang bisa dicopot dan dipasang sesuai kebutuhan.
Bagi rakyat yang masih memiliki ingatan segar tentang janji-janji kampanye, perubahan haluan ini pastinya menimbulkan kebingungan. Oposisi yang diharapkan bisa menjadi kontrol kekuasaan kini mendadak lenyap. Sebagian besar partai politik bersatu dalam pemerintahan, menjadikan demokrasi kita terasa lebih sunyi. Siapa yang akan mewakili suara mereka yang berbeda? Siapa yang akan menyuarakan kritik ketika hampir semua politisi telah merapat di kapal yang sama?
Di tengah situasi ini, muncul sebuah nasehat satir yang bisa jadi sangat mengena: “Untuk para politisi, meludahlah di tempat yang bersih, agar kau tak terlalu jijik jika nanti terpaksa harus menjilatnya kembali.” Sebuah kalimat yang dengan getir mengingatkan kita pada liku-liku dunia politik. Yang benar hari ini belum tentu benar besok. Yang salah hari ini bisa saja dianggap wajar lusa. Prinsip fleksibel, yang penting dapat kursi!
Gemuknya kabinet ini memang menarik perhatian. Apakah benar bisa ngegas pembangunan atau justru jadi beban tambahan? Yang pasti, para politisi tampaknya sedang sibuk mencari posisi nyaman di dalam pemerintahan. Sementara itu, rakyat yang berharap ada perubahan nyata, lagi-lagi harus puas hanya menjadi penonton di pinggir lapangan, menyaksikan para aktor politik bermain-main dengan narasi yang semakin hari semakin sulit dipercaya.
Kabinet zaken si gemoy ini mungkin akan berjalan gemulai. Tapi apakah langkah gemulainya akan membawa bangsa ini lebih maju? Kita tunggu saja. Yang jelas, dalam politik, kenyataan kadang lebih lucu dari komedi, lebih tajam dari kritik, dan lebih pahit dari satir itu sendiri. Tabik.