IST
IST
JAKARTASATU.COM – Pada 24 September 1960, 64 tahun lalu, para Pendiri Bangsa bersepakat mengesahkan UU Pokok Agraria (UUPA) sebagai terjemahan langsung Pasal 33 UUD 1945 dan menjadi landasan pembaruan politik dan hukum agraria nasional untuk membebaskan diri dari sisa-sisa feodalisme, kolonialisme dan kapitalisme agraria dalam rangka menjadikan agraria untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui pelaksanaan Reforma Agraria.

Bulan September selalu dinanti para petani, sebagai tanda berakhirnya musim kemarau. Perpaduan karunia alam dan lahirnya UUPA 1960 ini diabadikan Presiden Soekarno dalam konsiderans Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 169 Tahun 1963 Tentang Hari Tani. Bahwa setiap akhir bulan September, matahari melintasi garis khatulistiwa ke arah selatan. Musim labuh (turun ke sawah) hampir tiba. Rakyat tani perlu bergembira dan bersyukur kepada Tuhan karena akan menerima rahmat-Nya yang berupa hujan. Perlu pula digerakkan agar daya kerja dan daya cipta mereka berkembang untuk mencapai produksi yang berlimpah-limpah, sebagai syarat mutlak mencapai masyarakat adil dan makmur.

Sayangnya, menurut Gerakan Rakyat Lawan Perampasan Tanah (GERAM TANAH), agenda konstitusi yang bertujuan untuk menciptakan tatanan agraria yang adil dan mensejahterakan petani melalui reforma agraria tidak dijalankan. Bahkan penghisapan dan penindasan kepada mereka oleh pemodal, termasuk pemerintah sendiri terus dilestarikan. Akhirnya mayoritas petani tidak memiliki tanah, pengetahuan, sarana produksi, teknologi, infrastruktur yang memadai dan pasar yang melindungi mereka. Inilah sumber utama masalah yang menyebabkan Indonesia sulit terbebas dari kemiskinan dan krisis sistemik lainnya.
Selain tidak menjalankan konstitusi agraria, Gerakan Rakyat Lawan Perampasan Tanah (GERAM TANAH) juga menilai pemerintahan Joko Widodo juga telah menghancurkan sendi-sendi demokrasi dan reformasi seperti ancaman terhadap kebebasan petani berserikat, kriminalisasi terhadap rakyat, membangun politik dinasti, dan menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan belaka. Pemerintahan ini telah mengkhianati reformasi yang susah payah dibangun oleh darah dan keringat rakyat pada tahun 1998.
Agenda pelemahan demokrasi yang dijalankan pemerintahan ini sejatinya bertujuan untuk mempermudah kroni kekuasaan yang berkolaborasi dengan pengusaha untuk terus menerus merampas tanah-tanah petani di berbagai tempat. Mereka berkolaborasi untuk terus menerus merampas kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang mengancam hak hidup nelayan; berkolaborasi untuk merampas hutan dan wilayah masyarakat adat; berkolaborasi untuk menjalankan sistem patriarki yang menindas kaum Perempuan; dan berkolaborasi untuk terus menerus menjalankan upah murah bagi kaum buruh.
Dus, pada Hari Tani Nasional 2024 ini, kaum Petani, Nelayan, Buruh, Masyarakat Adat, Perempuan, Mahasiswa dan Kaum Miskin Perkotaan menuntut agar Reforma Agraria Sejati sesegera mungkin dijalankan sebagaimana diamanatkan Konstitusi dan UUPA 1960. Kami juga hendak menyampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa sepanjang satu dekade ini telah terjadi kejahatan sistematis terhadap Konstitusi Agraria. Kejahatan ini telah membuat bangsa kita semakin tenggelam dalam darurat agraria dan darurat demokrasi.
Berikut ini adalah 18 bentuk-bentuk kejahatan terhadap Konstitusi Agraria di Indonesia yang telah didata Gerakan Rakyat Lawan Perampasan Tanah (GERAM TANAH):

Pertama, Pemerintah telah menyesatkan dan membohongi publik bahwa pemerintahannya telah menjalankan Reforma Agraria seluas 9 juta hektar. Padahal pemerintahan ini hanya menjalankan sertifikasi tanah tanpa menjalankan redistribusi tanah kepada rakyat dan menuntaskan konflik-konflik agraria. Sekedar pensertifikatan tanah bukanlah reforma agraria. Sertifikasi hanyalah layanan kepada orang yang sudah bertanah, bukan layanan kepada rakyat yang tidak bertanah, bukan layanan kepada rakyat yang tanahnya terancam perampasan tanah, bukan layanan kepada rakyat yang mengalami konflik agraria dan perampasan tanah, bukan pula melakukan koreksi terhadap ketimpangan penguasaan tanah. Bahkan sertifikasi adalah liberalisasi pasar tanah di Indonesia, sebagai upaya menjebak rakyat ke dalam pasar tanah bebas yang memudahkan tanah-tanah masyarakat dijual dengan murah atas nama kepentingan investasi dan proyek strategis nasional (PSN).

Kedua, Presiden Joko Widodo telah melanggar UUPA dan melawan Putusan MK No. 21-22/PUU-V/2007 yang melarang pemberian HGU selama 90 tahun dan HGB selama 80 tahun. Bukannya menjalankan mandat UUPA dan Putusan MK tersebut, pemerintah justru melipatgandakan pemberian hak atas tanah kepada pengusaha menjadi 190 tahun untuk HGU dan 160 tahun untuk HGB di Ibu Kota Nusantara (IKN). Artinya para pemodal dan konglomerat telah difasilitasi oleh Presiden untuk menguasai dan mengontrol wajah Ibu Kota Republik Indonesia selama dua abad lamanya. Dua abad obral hak atas tanah ini penting untuk dilawan tidak hanya di IKN, tapi agar tidak dilaksanakan secara nasional. Inilah kejahatan pemerintah yang menjadikan IKN tidak hanya berbau kolonial tapi menjadi ibu kota dengan aturan lebih kejam dari kolonial. Sebab pada masa kolonial, hak erfpacht (sewa tanah perkebunan) kepada pengusaha diberikan selama 75 tahun oleh Hindia Belanda, artinya UU IKN justru lebih parah dari UU Agraria Kolonial.
Ketiga, Pemerintahan Joko Widodo menjadikan proyek pembangunan yang kental dengan kepentingan bisnis swasta termasuk swasta asing sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), seperti proyek energi, infrastruktur, pangan (proyek food estate), pabrik, kawasan niaga dan real estate milik korporasi. Dengan memberi label PSN, Presiden melahirkan keputusan yang mengakibatkan terjadinya perampasan tanah, penggusuran dan kriminalisasi rakyat. Akibatnya, per Juli 2024, perampasan tanah rakyat demi PSN di 134 lokasi telah mencapai 571 ribu hektar, dan 1,86 juta hektar di 11 provinsi demi proyek food estate (KPA, 2024).
Keempat, Pemerintahan Joko Widodo membiarkan kejahatan penelantaran tanah yang dilakukan oleh perusahaan meskipun hal tersebut jelas-jelas melanggar UUPA. Berdasarkan Catatan KPA selama 2015-2023, Presiden Joko Widodo melalui Menteri ATR/BPN RI hanya mampu menertibkan tanah terlantar dari bekas HGU dan HGB seluas 77 ribu hektar dari 7,24 juta hektar tanah yang terindikasi terlantar (ATR/BPN, 2023).
Kelima, Pemerintahan Joko Widodo tidak melakukan upaya untuk mengoreksi monopoli tanah oleh swasta sesuai amanat UUD dan UUPA. Sehingga saat ini lebih dari 25 juta hektar tanah dikuasai oleh pengusaha sawit, 10 juta hektar pengusaha tambang dan 11,3 juta hektar tanah dikuasai oleh pengusaha kayu, di dalamnya praktik mafia sawit, mafia tambang dan mafia kayu semakin subur (Sawit Watch, ESDM dan LHK, 2024). Bahkan dengan dalih mempermudah investasi, pemerintahan Jokowi memberi pemutihan atas kejahatan lingkungan dan kehutanan, pengampunan kejahatan pajak, yang semakin merugikan rakyat. Berbanding terbalik dengan jumlah penguasaan tanah oleh pengusaha yang semakin luas, petani Indonesia semakin gurem dengan penguasaan tanah rata-rata 0,1 – 0,3 hektar. Tercatat dalam 10 tahun terakhir, jumlah petani gurem ini bertambah 2,62 juta (BPS, 2023).
Keenam, Pemerintahan Joko Widodo bersama parpol di DPR telah mengesahkan UU Cipta Kerja yang anti petani. Akibatnya, investasi yang melakukan perampasan tanah pertanian, penggusuran kampung dan wilayah adat semakin merajalela. Selama 10 tahun terakhir telah terjadi 2.939 konflik agraria seluas 6,30 juta hektar, dimana 1,7 juta keluarga menjadi korban konflik agraria. Fakta ini menunjukkan terjadi kenaikan lebih 100 % dibandingkan jumlah dan dampak konflik agraria selama 10 tahun Pemerintahan SBY (KPA, 2023). Di sisi lain, solusi lapangan kerja yang dijanjikan ala UUCK bagi petani dan perempuan desa tidak terjadi. Oleh karena itu 1,40 juta orang perempuan dipaksa bermigrasi bahkan ke luar negeri untuk menjadi buruh, tanpa perlindungan yang memadai (BP2MI, 2023).
Ketujuh, Pemerintahan Jokowi justru memangkas berbagai subsidi yang menjadi hak bagi petani dan nelayan. Pemerintah justru mempersulit produksi petani dan nelayan melalui kebijakan Kartu Tani, Kartu Nelayan, Zonasi Distribusi Pupuk, Zona Tangkap, larangan dan pembatasan benih swadaya dan naiknya beban pajak, akibatnya hasil produksi rakyat tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Ironisnya, meski telah lahir UU Perlindungan dan Petani, kebebasan petani untuk berserikat tanpa diseragamkan dalam poktan/gapoktan masih dilanggar, disertai diskriminasi akses atas program-program pemerintah bagi kelompok-kelompok petani dan nelayan yang bersikap kritis.
Kedelapan, Pemerintahan Jokowi membiarkan praktik korupsi agraria-SDA dan mafia tanah. Padahal, dalam struktur ekonomi nasional yang bersandarkan pada pengerukan kekayaan sumber-sumber agraria, episentrum utama korupsi ada dalam tubuh pemerintah yang memberi izin, hak dan mengelola langsung sumber-sumber agraria kita. Misalnya, melalui kebijakan UUCK terkait Bank Tanah, Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) dan Pengampunan Keterlanjuran Bisnis Ilegal Kehutanan, Tambang dan Sawit. Dari ketiga kanal kebijakan ini, legalisasi korupsi agraria-SDA mencapai 8,84 juta hektar (KPA, 2023).
Kesembilan, Pemerintahan Jokowi berbuat jahat dengan melakukan cara-cara represif dan intimidatif di wilayah konflik agraria, melalui pengerahan aparat keamanan dan memecah belah rakyat. Sistem hukum, birokrat dan aparat sudah menjadi bagian dari bisnis pengusaha, bahkan dalam kendalinya para taipan. Penggunaan aturan oleh polisi untuk melindungi bisnis pengusaha dan merepresi rakyat sudah menjadi tontonan sehari-hari. Alhasil 2.442 petani, masyarakat adat, perempuan dan aktivis telah dikriminalisasi. Dari korban konflik agraria tersebut 181 orang diantaranya merupakan perempuan. Akibat perlakuan Rezim Joko Widodo kepada perempuan seperti ini tidak mengherankan jika 1,40 juta orang perempuan dipaksa bermigrasi bahkan ke luar negeri untuk menjadi buruh, tanpa perlindungan yang memadai (BP2MI, 2023). Selanjutnya, 1.062 orang harus mengalami penganiayaan dan penangkapan karena mempertahankan hak konstitusionalnya atas tanah dan sumber kehidupan (KPA, 2023).
Kesepuluh, Presiden Joko Widodo anti petani kecil sehingga gagal menyejahterakan petani dan gagal mewujudkan kedaulatan pangan. Pemerintah secara sistematis mendorong pembangunan pertanian pangan yang lebih bertumpu pada korporasi pangan sebagai penyedia pangan melalui food estate. Petani semakin gurem dan miskin, posisi mereka yakni petani dan nelayan sebagai produsen pangan terus dilemahkan. Kebijakan Pangan pemerintahan jokowi juga telah menghilangkan kedaulatan perempuan terhadap sistem produksi lokal. Triliunan uang rakyat dan investasi dalam program-program ketahanan pangan dan pembangunan kawasan pangan, bukan digunakan untuk melindungi dan memperbaiki sistem produksi pertanian dan sektor perikanan rakyat, bukan untuk memperkuat agenda Reforma Agraria demi perwujudan kedaulatan pangan. Justru program-program itu digelontorkan untuk perusahaan pangan raksasa.
Kesebelas, Pemerintahan Joko Widodo membiarkan praktik korupsi dan monopoli pangan oleh mafia pangan, akibat kebutuhan pangan nasional masih menggantungkan dirinya pada hasil impor. Kebijakan importasi pangan dilakukan sebagai alasan pemenuhan pangan nasional, padahal kebijakan kuota impor pangan adalah permainan bisnis tersendiri yang penuh kolusi dan korupsi di kalangan importir, pengusaha, jaringan mafia pangan dan pemerintah. Kebijakan Presiden selama ini sudah membanjiri pasar tradisional dengan produk luar negeri seperti beras sebanyak 7,26 juta ton, sayuran 5,56 juta ton, buah-buahan 4,24 juta ton, gula 35,70 juta ton bahkan garam yang mencapai 16.18 juta ton (BPN dan Kemendag, 2023). Liberalisasi impor pangan yang dikontrol mafia pangan ini telah melemahkan kedaulatan dan kemandirian pangan. Jika terjadi krisis pangan global atau gangguan rantai pasok pangan internasional maka Indonesia berada di posisi sangat rentan untuk mengalami krisis pangan.
Keduabelas, Pemerintahan Joko Widodo menghidupkan kembali aturan-aturan tanah dan praktik jahat pertanahan era kolonial yang telah dihapus oleh UUPA. Praktek kolonialisme baru juga dilakukan Joko Widodo dengan menghidupkan kembali praktik tanah partikelir melalui Hak Pengelolaan (HPL) dan cultuurstelsel (sistem tanam paksa) melalui kebijakan food estate.
Ketigabelas, Pemerintahan Joko Widodo mengingkari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Paska UU Cipta Kerja disahkan sedikitnya 109 aturan terkait agraria-SDA sudah dikeluarkan pemerintah menggenapi kejahatan terhadap konstitusi dan UUPA. Telah terbukti akibat implementasi UUCK (KPA, 2023), terjadi konflik agraria dan perampasan tanah rakyat dimana-dimana. Ratusan aturan tersebut juga semakin memperkuat sektoralisme, pro pengusaha dan tumpang tindih hukum agraria. Artinya UU Cipta Kerja terbukti gagal menyederhanakan atau memangkas regulasi, sebagaimana selama ini selalu dikampanyekan pemerintahan Joko Widodo. Pemerintahan Joko Widodo melakukan kejahatan agraria tersebut dengan menggunakan instrumen hukum dan melemahkan institusi demokrasi untuk memperkuat oligarki dan dinastinya.
Keempatbelas, Rezim Joko Widodo tidak pernah memulihkan lingkungan dari dampak buruk bisnis pemodal. Buktinya luas hutan yang dijadikan sawit dan tambang semakin luas tiap tahunnya. Kerusakan lingkungan terjadi di pusat-pusat bisnis para pengusaha terutama tambang, sawit dan kayu tanpa menuntut pertanggungjawaban para pemodal. Ditambah dengan mitigasi krisis iklim tanpa keterlibatan masyarakat. Masyarakat yang akan menjadi korban krisis iklim mencapai 104 juta penduduk yang tinggal di kawasan pesisir Indonesia (WALHI, 2024).
Kelimabelas, Pemerintahan Jokowi melanggar UUPA dengan tetap mempraktekkan asas domein verklaring sehingga seolah negara menjadi pemilik tanah yang berlaku sewenang-wenang sehingga petani dan masyarakat adat di mata pemerintah dianggap tinggal menumpang di atas tanahnya sendiri. Bahkan pemerintah memelihara konflik agraria masyarakat dengan BUMN perkebunan dan klaim kawasan hutan negara, dan selalu bertindak represif kepada masyarakat yang mempertahankan tanahnya dari klaim hutan negara dan BUMN. Padahal BUMN bobrok seperti PTPN dan Perhutani selain selalu merugi, selalu meminta penambahan modal negara. Sepanjang pemerintahannya, Presiden Joko Widodo tidak pernah meredistribusikan dan mengembalikan tanah petani dan masyarakat adat yang telah dirampas oleh PTPN dan Perhutani.
Tidak ada satu pun Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang berkonflik dengan PTPN dan Perhutani berhasil diselesaikan dan diredistibusikan kepada rakyat oleh Menteri ATR/BPN, Menteri Kehutanan dan Menteri BUMN. Padahal Presiden mengetahui hambatan yang dihadapi rakyat terkait konflik agraria PTPN-Perhutani. Tidak ada koreksi dan penegakkan hukum terhadap praktik domeinverklaring kehutanan, manipulasi expired HGU dan tanah terlantar BUMN. Parahnya, Skema Perhutanan Sosial, Perkebunan Sosial/Distribusi Manfaat dan/atau Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan PTPN merupakan regulasi kontra-RA karena melanggengkan klaim sepihak negara atas tanah dan atas nama kawasan hutan.
Keenambelas, Pemerintah telah menjauhkan Nelayan dari cita-cita keadilan bahari. Layaknya tanah dan kekayaan alam di darat, laut, pesisir dan pulau kecil pun semakin diprivatisasi oleh pengusaha dan pemerintah. Akibatnya para nelayan tradisional kerap menjadi korban perampasan tanah demi bisnis tambang, hutan, sawit dan energi. Pembiaran lainnya oleh Presiden Joko Widodo lainnya adalah ketimpangan ekonomi antara Nelayan dan buruh kapal dengan pemodal dibiarkan tanpa ada intervensi pemerintah. Mereka selalu menerima sebagian kecil hasil perikanan ketimbang para pengusaha/pemilik kapal. Di waktu bersamaan 2,4 juta nelayan tradisional dipaksa berebut kuota penangkapan ikan dengan kapal-kapal besar dalam kebijakan perikanan terukur (BPS, 2024).
Ketujuhbelas, Pemerintahan Joko Widodo telah mengabaikan hak perempuan atas tanah dan kesehatan mereka dengan tidak memasukkan keadilan gender dalam kebijakan Reforma Agraria sebagaimana mandat UUPA. Banyak perempuan yang bertani dan bekerja di sektor pertanian, namun banyak yang tidak memiliki akses terhadap kepemilikan tanah. Ketidakadilan ini melanggengkan kemiskinan perempuan di pedesaan dan memperburuk ketimpangan ekonomi. Selain itu, penggunaan pestisida berbahaya yang banyak diterapkan di sektor pertanian telah menyebabkan berbagai masalah kesehatan, khususnya bagi perempuan. Dampaknya mencakup gangguan reproduksi seperti infertilitas, kelahiran prematur, dan keguguran, yang membahayakan keberlangsungan hidup perempuan dan generasi mendatang.
Pemerintah tidak memiliki kebijakan yang tegas untuk melarang penggunaan pestisida berbahaya atau memberikan akses perlindungan yang memadai bagi perempuan petani. Kebijakan agraria yang tidak memperhatikan keadilan gender ini merupakan bentuk diskriminasi sistematis yang harus dihentikan, dan Reforma Agraria Sejati harus mengutamakan pemberian hak atas tanah bagi perempuan serta perlindungan kesehatan mereka.
Kedelapanbelas, Rezim ini telah melanggar konstitusi tentang penghidupan yang layak dan pekerjaan yang layak. Hal ini dibuktikan dari serangkaian pelanggarannya melalui restrukturisasi kebijakan hukum ketenagakerjaan yang dibungkus dalam UU Cipta Kerja. Pokok-pokok isu dari undang-undang sapu jagad tersebut telah melemahkan kesejahteraan kaum buruh yaitu; upah murah, ketidakpastian bekerja (labor market flexibility), kemudahan PHK dan lainnya. Disamping hal tersebut kondisi kaum buruh di tengah momentum Hari Tani Nasional 2024 ini beririsan terhadap hak atas tanah tentang rumah yang layak bagi kaum buruh itu sendiri. Namun bukannya menyediakan dan menjamin hak atas tanah untuk rumah buruh justru negara memberikan program TAPERA bagi kaum buruh yang berseberangan terhadap keinginan kaum buruh indonesia. Artinya dapat dikatakan bahwa Negara di bawah rezim Presiden Joko Widodo sudah gagal menjamin hak-hak dasar bagi kaum buruh dan juga kaum tani. |WAW-JAKSAT