Eddy Junaedi Pijaris yang Konsisten Hingga Akhir Hayatnya
Oleh Eko S Dananjaya
Penulis adalah anggota Pijar dan aktivis 80 an
Tadi malam 23 September 2024, saya dikejutkan atas pemberitaan meninggalnya sahabat seperjuangan. Di beberapa grup WA aktivis antar generasi, terposting berita Edi Junaedi telah menghadap sang Maha Pencipta. Innalillahi Wainnailaihi Rojiun.
Jika dihitung mundur, 37 tahun lalu saya kenal dengan Edi Jun sapaan akrab Edi Junaedi. Almarhum adalah orang yang memiliki jiwa calm and cool. Kali pertama saya dipertemukan Edi Jun di gang Siaga 1 Pejaten Pasar Minggu Jakarta Selatan.
Jalan Siaga satu pejaten Pasar Minggu, tersimpan memiliki segudang sejarah panjang dalam pergerakan Indonesia. Banyak gagasan atau ide- ide besar perubahan lahir di tempat ini.
Almarhum Amir Husein Daulay adalah salah satu pengagas Jakarta Forum dan Yayasan Pijar. Di era otoritarian dan militeristik Orde Baru, sangat sedikit orang yang berani melawan. Boleh di bilang hitungan jari di era itu yang berani dengan pemerintah. Orang berani melawan tirani Orde Baru harus memiliki nyali besar dan siap berani dipenjara. Apapun resikonya, itulah kaum muda radikal dan militan Pijaris yang telah tertanam di hati sanubarinya.
Jika kita berkunjung ke kantor Pijar, sebelum kaki melangkah masuk kantor, di depan pintu tertulis, “Ragu- ragu pulang saja”. Artinya, jika kita ragu dan tidak punya keberanian berjuang maka lebih baik jangan bermain ke kantor Pijar. Sedemikian horornya hidup di era militeristik waktu itu. Tak banyak orang yang berani bersuara untuk mengkritik pemerintahan Soeharto.
Di tempat ini, Amir dapat mengumpulkan kawan- kawan aktifis Pers Mahasiswa se Indonesia. Embrio gerakan mahasiswa 80 an tidak dapat dilepaskan oleh pergumulan pemikiran anak muda dan ide-ide yang terhimpun dalam organisasi mahasiswa dan jln Siaga satu.
Salah satu anak muda pada waktu itu adalah Edi Jun. Ia gigih memperjuangkan hak- hak rakyat yang ditindas oleh rejim Orde Baru. Beberapa lembaga ia lahirkan bersama Amir Husein Daulay. Salah satu lembaga yang ia dirikan adalah Yayasan Pijar. Selain itu ia ikut membidani lahirnya koran harian Merdeka bersama Almarhum Mulyana Wira Kesumah.
Pijar adalah sebuah lembaga kajian dan fraksis dalam gerakan. Pijar: Pusat Informasi dan Jaringan Reformasi. Adalah tempat dimana kaum pergerakan mendapat dan mencari akses informasi. Anggota Pijar sedemikian banyak sehingga mata dan telinga ada dimana-mana. Sebagai lembaga perlawanan paling terdepan, orang- orang Pijar sering membuat pening penguasa dan aparat negara Orde Baru. Sebab ada pemeo, hilang satu tumbuh seribu. Demikian kebijakan politik, ekonomi Orde Baru, sama sekali tidak dianggap ada dan benar di mata orang- orang Pijar.
Dari berbagai kebijakan pemerintah, maka anggota Pijar suka memparodikan dengan gerakan- gerakan politik dibawah tanah. Dengan membuat stiker anti rejim, mencetak setensilan selebaran gelap dll. Salah satu misal seperti SDSB: Sumbangan Dana Sosial Berhadiah. Di era menteri olah raga Akbar Tanjung, Protes keras di lakukan oleh Pijar untuk membubarkan dan mencabut ijin SDSB. Dari peristiwa ini maka satu orang anggota Pijar Nuku Soeleman (Almarhum) harus mendekam di Penjara Cipinang untuk beberapa tahun.
Demikian juga anggota Pijar yang lain, Yeni Rosa Damayanti juga sempat merasakan hal yang sama. Yeni di ganjar beberapa tahun penjara di rutan Pondok Bambu karena mendemo Soeharto di Dresden Jerman. Sepulang dari Jerman, Yeni ditangkap dan diadili.
Beathor Suryadi juga punya nasib yang serupa. Ia dijebloakan ke dalam penjara Cipinang karena memprotes kenaikan Tarif listrik. Banyak lagi anggota Pijar yang keluar masuk penjara karena memperjuangkan demokrasi dan reformasi.
Sebagai pelopor gerakan rakyat dan mahasiswa era 80 an, Pijar memiliki catatan paling atas sebagai musuh utama Soeharto. Karena hampir setiap tahun anggota Pijar harus “Sekolah” di hotel prodeo (rumah tahanan). Demikian banyak deretan dan catatan yang dramatis tentang sepak terjang perjuangan kawan- kawan Pijar.
Edi Jun, tampaknya memilih perjuangan dengan irama lain. Ia lebih banyak pada kajian riset dan mengkritisi kebijakan ekonomi pemerintah Orde Baru. Edi Jun lebih suka dibelakang layar dengan tanpa mengurangi kadar nilai perjuangan. Selain sebagai wartawan ekonomi, ia juga analis yang kritis kepada kebijakan pemerintah siapapun. Dengan data- data ekonomi yang akurat, Edi Jun sering memaparkan resiko hutang dan perubahan paradigma ekonomi Indonesia hari ini dan kedepan.
Terakhir saya bertemu Edi Jun setengah tahun lalu di kediaman Emha Ainun Najib di jln Wates Ngestiharjo Yogyakarta. Ia bilang pada saya bahwa dirinya sedang tidak sehat badan.
Setelah pilpres 2024 kemarin Edi Jun beberapa kali komunikasi dengan saya. Baik melalui washaap maupun telepon. Rencananya Edi Jun mengundang saya ikut dalam kajian ekonomi politik yang diselenggarakan oleh lembaga Kalimasada di Jakarta.
Tapi urung, acara tersebut belum terkabul ia telah meninggalkan kita.
Beberapa tahun terakhir, ia kadang mengeluhkan sakit yang dideritanya. Beberapa kali keluar masuk rumah sakit. Tapi walau kesehatannya terganggu, tetap saja ia kritis terhadap kebijakan pemerintah Jokowi soal hutang negara.
Tampaknya, jelang kepergiannya menyisakan waktu untuk tetap konsisten memikirkan bangsanya yang semakin tidak terarah kebijakan ekonomi. Hutang menunpuk, politik dinasti, dan amburadulnya praktek hukum di Indonesia. Kerisauannya adalah menyisakan pekerjaan rumah bagi kita semua. Bahwa kaum kritis dan penjaga marwah idealisme tetap harus dijaga di tengah ketidakjelasan dsn ketidakpastian masa depan negara Indonesia karena salah urus. Demikian diskusi saya dengan almarhum beberapa bulan lalu melalui telpon.
Berita ini di tulis di kediaman almarhum (rumah duka).
Selamat jalan sahabat.
Penulis adalah anggota Pijar dan aktivis 80 an.