Langkah yang Tepat atau Elok Kah? “Tunda Ekspor Pasir Laut” dari Partai Gerindra

(Setya Dharma Pelawi. Senator Jaringan Aktifis ProDem)

“Tak ada lawan atau kawan yang abadi dalam dinamika politik” pepatah ini terdengar klise namun masih dapat menggambarkan kondisi politik saat ini. Demikian juga hubungan politik antara Jokowi sebagai Presiden yang akan segera lengser dengan Prabowo sebagai presiden terpilih periode 2024-2029. Meskipun Prabowo berulangkali menyatakan akan melanjutkan seluruh kebijakan politik yang telah ditetapkan Jokowi namun tak ada jaminan hal tersebut dilaksanakan sepenuhnya.

Seperti Kita ketahui bersama bahwa Jokowi dan Prabowo telah menjadi lawan politik pada pemilihan Presiden 2014 dan 2019, dimana Jokowi dinyatakan sebagai pemenang. Mungkin belajar dari dua kekalahan tersebut, setelah Pilpres 2019 Prabowo memutuskan untuk beralih dari lawan politik menjadi kawan. Dengan alasan menjaga persatuan nasional, Ketua Umum Partai Gerindra tersebut bersedia menjadi bagian dari kabinet yang dibentuk Jokowi.

Perubahan dari lawan menjadi kawan tersebut bisa dipahami. Pilihan pragmatis dan sulit dari pihak Prabowo ini patut diduga, karena Prabowo ingin memanfaatkan kekuatan politik Jokowi dalam Pilpres 2024. Aturan perundang undangan tidak memungkinkan Jokowi kembali maju. Strategi Prabowo terbukti tepat. Kompromi dengan Jokowi membuatnya menjadi pemenang dalam Pilpres 2024.

Apakah perkawanan politik mereka akan langgeng? Jawabannya tentu tidak. Seperti halnya perubahan dari lawan menjadi kawan, maka pergeseran dari kawan menjadi lawanpun akan segera mereka hadapi. Banyak hal yang menjadi indikasi akan berakhirnya bulan madu Jokowi dan Prabowo tersebut. Mulai dari melemahnya komitmen untuk mendanai pembangunan Ibu Kota Nusantara secara besar besaran, komunikasi politik yang nampak mesra dengan Megawati serta yang terakhir pernyataan Partai Gerindra yang meminta agar ekspor pasir laut ditunda pelaksanaannya.

Perbedaan kepentingan diantara Jokowi dan Prabowo mulai terlihat. Perbedaan yang tentu tidak bisa dihindari. Jokowi berkepentingan untuk menyelamatkan warisan kebijakan serta warisan kekuasaan untuk keluarganya, sementara Prabowo berkepentingan untuk melaksanakan banyak obsesi yang telah dia pendam sejak pertama mengikuti konstestasi Pilpres tahun 2009. Prabowo pastilah memiliki gagasan yang berbeda dengan Jokowi. Gagasan gagasan yang telah dipikirkan dan dikampanyekan sejak Pilpres 2014 dan 2019, disimpan rapat saat menjadi menteri pada kabinet Jokowi.

Meksipun indikasi bahwa perbedaan kepentingan itu semakin nyata namun baik Jokowi maupun Prabowo tentu masih menutup nutupi. Mereka kerap mencari kambing hitam yang bisa dituduh sebagai pengadu domba. Padahal sebagai dua insan “domba politik” yang memiliki latar belakang, kapasitas dan idealisme yang jauh berbeda, keduanya sudah pasti akan beradu dengan sendiri. Tak perlu ada kalangan dan panitia agar mereka saling beradu. Jokowi dan Prabowo akan segera beradu sendiri. Salah satu bukti yang aktual adalah pernyataan resmi dari Partai Gerindra yang meminta agar ekspor pasir laut ditunda. Dua domba sedang beradu atas inisiatif sendiri, tanpa ada pihak lain yang memanas manasi.
Achir dari tulisan ini penulis ingin mengutip dari seorang aktifis Lingkungan: -Langkah yang tepat atau elok kah “tunda ekspor pasir laut” dari Partai Gerindra? Obyektif tidak ada alasan apapun untuk membenarkan ekspor pasir laut. Paham kah pemerintah Jokowi dampak perusakan lingkungan akibat pengerukan pasir laut tersebut? Dan pernyataan Dus Dur: Prabowo Subianto adalah sosok paling Ikhlas pada Rakyat Indonesia.

(Setya Dharma Pelawi. Senator Jaringan Aktifis ProDem)