x@bengkeldodo
x@bengkeldodo

Stop Making Stupid People Famous

Oleh: WA Wicaksono, Storyteller, Analis Periklanan dan Pencitraan
Mari kita mulai dengan sebuah kenyataan pahit yang seringkali kita abaikan: di zaman serba viral ini, ketenaran bukan lagi soal prestasi, tapi soal seberapa tebal muka seseorang ketika melakukan hal-hal konyol. “Stop making stupid people famous” adalah pesan moral yang seharusnya sudah kita hafal di luar kepala, tapi entah kenapa, kita malah asyik terjebak dalam jebakan ketololan massal yang dirancang oleh para selebriti dadakan yang putus urat malu.
Ada satu pepatah lama yang berkata, “Kalau tidak bisa pintar, minimal jangan bodoh.” Nah, publik figur yang kita bicarakan ini, sepertinya mengambil pepatah itu, memutar balikkan logikanya, dan menjadikannya moto hidup: “Kalau tidak bisa pintar, ya sudah, bodoh sekalian, yang penting viral!” Mereka seperti memiliki kemampuan super untuk memanfaatkan kebodohan mereka menjadi mata uang sosial. Ejekan? Kritik? Ah, itu hanya bensin untuk memacu mereka lebih jauh menuju puncak ketenaran!
Coba bayangkan, betapa banyak energi kita yang dihabiskan untuk membicarakan mereka yang suka melakukan hal-hal tak masuk akal. Hal-hal yang sepele, norak, receh, tetapi terus-terusan mengisi timeline kita. Dan kita? Tanpa sadar kita ikut terlibat dalam parade kebodohan ini. “Berdebat dengan orang bodoh hanya akan membuat orang bodoh itu menjadi dua,” kata Ali Bin Abi Thalib. Nah, kita sering lupa, bukannya berhenti menambah stok kebodohan, kita malah seperti menambah kuota ketololan nasional setiap kali kita klik, like, share, dan komen di konten mereka.
Masalahnya, ketenaran adalah bisnis yang tidak mengenal moralitas. Kalau tidak bisa kreatif, ya norak saja. Kalau tidak bisa jenius, ya bikin kontroversi saja. Mereka yang tidak punya prestasi pun akhirnya memilih jalan pintas menjadi pusat perhatian dengan cara paling absurd: jadi bodoh yang disengaja. Tapi, siapa yang salah di sini? Tentu saja, kita yang menjadi budak tontonan ini. Kita yang memberikan panggung kepada orang-orang yang, sejujurnya, tak pantas dapat panggung.
Ada nasihat bijak dari Mark Twain yang rasanya relevan di sini: “Lebih baik diam dan dianggap bodoh daripada berbicara dan menghilangkan semua keraguan.” Tapi, sayangnya, orang-orang yang kita bicarakan ini memilih opsi kedua: bicara terus, bahkan saat tidak ada yang ingin didengar.
Jadi, mari berhenti. Berhenti memberikan perhatian, berhenti memberikan panggung. Karena semakin kita bicara tentang mereka, semakin tenar mereka. Jika kita bisa belajar satu hal hari ini, biarlah itu menjadi pelajaran berharga: melawan kebodohan yang disengaja dengan cara paling bijak — diam dan abaikan. Lagipula, bukankah hidup terlalu singkat untuk menjadi budak ketenaran orang-orang yang tidak berprestasi?
Kita bisa memilih untuk diam. Tabik.