Tanah untuk Rakyat Antara Kebijakan Dan Realita

JAKARTASATU.COM Diskusi bertajuk “Tanah untuk Rakyat Antara Kebijakan dan Realita” diselenggarakan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) yang dimpimpin Moh Jumhur Hidayat, Sabang Merauke Circle dipimpin Syahganda Nainggolan dan Perhimpunan Menemukan Kembali Indonesia pimpinannya Rocky Gerung. Diskusi ini digelar di Hotel Ambhara, Selasa 24/9/2024

Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Pembaruan Jumhur Hidayat dalam pembukaannya menyampaikan, diskusi “Tanah untuk Rakyat Antara Kebijakan Dan Realita” menjadi sorotan publik. Ini menjadi keprihatinan kami,  berkembangnya kecenderungan dugaan penyerobotan tanah rakyat secara terstruktur, sistematif, dan masif (TSM)

Ketua Umum Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Moh. Ali menduga pelakunya adalah oligarki yang bekerja sama dengan penguasa dan aparat.

Dia menilai negara juga secara semena-mena mengambil paksa tanah adat yang sudah dihuni ratusan tahun oleh warga, dengan alasan warga tidak memiliki surat legal. Masalah tersebut diminta menjadi perhatian Presiden Joko Widodo.

Tokoh Manusia Merdeka Muuhammad Said Didu. Saking merdekanya, Said menolak ganti rugi tanahnya yang tergurus di Pantai Utara Banten sebesar Rp 150 Milyar (1,5 juta per M2).  Said Didu. Saking merdekanya, Said menolak ganti rugi tanahnya yang tergurus di Pantai Utara Banten sebesar Rp 150 Milyar (1,5 juta per M2).

Said lebih ingin mati bersama rakyat Banten yang sama-sama tergusur dengan harga 30-50 ribu per meter persegi.

Ferry Juliantono Ferry Joko Juliantono. Ferry adalah ketua harian Dewan Koperasi Nasional, Sekjen Sarikat Islam dan wakil ketua umum Gerindra. Sejak mahasiswa di Bandung, Ferry mengorganisir perlawanan rakyat atas penggusuran dan pengambilan tanahnya secara paksa. Ferry adalah doktor sosiologi dari Universitas Indonesia

Prof Hafid Abbas. Prof Hafid Abbas adalah Guru Besar Universitas Negeri Jakarta. Mantan Dirjen HAM Kemenkumham dan Ketua Komnas HAM.

Maman Suparman. Maman Suparman adalah dosen Universitas Bung Karno dengan spesialisasi Hukum Agraria. Maman menguasai pikiran pikiran Bung Karno tentang keadilan kepemilikan tanah.

Dharma Setiawan alias Iwan Basri. Dharma merupakan sosok tokoh NGO atau LSM yang selalu berusaha menghadirkan konsep “Membangun Tanpa Menggusur”. Konsep ini pada masa lalu mendapatkan penghargaan Aga Khan Award dari Pakistan. Dharma juga merupakan ketua Dewan Mahasiswa ITB terkahir di era NKK BKK rezim Suharto.

Paskah Irianto. Paskah adalah juga aktifis NGO senior. Pekerjaan Paskah di era lalu adalah membangun model-model advokasi perjuangan rakyat dalam kasus tanah, ketika dia menjadi andalan Adnan Buyung Nasution di Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Spektrum diskusi ini meliputi:

Konsep negara untuk rakyat. Baik UU Pokok Agraria maupun UUD 1945 membuat konsep sakral tanah itu milik rakyat. Sebab, manusia dan tanah itu sebuah kesatuan. Negara tidak ada jika kesatuan itu dihancurkan.

Kedaulatan, Menteri AHY minggu lalu baru saja paparan dikalangan Militer tentang Pertanahan dan Pertahanan. Memang ini urusan tanah adalah urusan kedaulatan sebuah bangsa.

Sejak Raja Kertanegara memotong kuping duta Cina di abad ke 13, menolak dijajah, China berkali-kali berusaha menduduki Indonesia. Khususnya Laksamana Chengho, abad ke 14,  berhasil “menduduki” pantai Utara Jawa dengan strategi membantu perlawanan raja-raja kecil Islam mengusir  Majapahit dari pantai Utara, kepedalaman.

Ketika China lemah, bangsa-bangsa eropa berkesempatan menduduki pantai2, awalnya , dan kemudian tanah pedalaman. Belanda saja berhasil lebih dari  200 tahun memerintah Indonesia.

Dalam geopolitik terkini, Cina masih berambisi menguasai Indonesia secara total. Sedangkan barat berambisi menguasai perekonomian saja. Dendam Cina terhadap keturunan Majapahit abad ke 13, pasti tetap terus menggelora.

Dalam konteks pertanahan dan pertahanan alias kedaulatan, konsep Tanah Untuk Rakyat menjadi sakral di Indonesia. Negara harus menguasai tanah, bukan konglomerat.

Keadilan, UU Pokok Agraria sejatinya mengatur redistribusi tanah (saat itu tanah satu2nya aset penting) agar merata ditangan rakyat. Penguasaan tanah yang merata dimaksudkan sebagai instrumen keadilan sosial.

Saat ini ketimpangan kepemilikan lahan mencapai antara 0,58 (BPN) sampai 0,75 (Mahfud MD ketika Menkopolhukam). Jika kepemilikan ini berbanding lurus dengan penghasilan, maka koefisien Gini kita, sejatinya bisa mencapai 0,7. Ini bukan lagi negara yang dimiliki rakyatnya.

Janji Prabowo negara kembali menguasai  81.000 km garis pantai dan mengambil alih lahan2 non produktif dari tangan konglomerat (setidaknya disampaikan Prabowo pada pidatonya di Sabang Merauke Circle, 24/9/2010), semoga konsisten ucapannya, bisa merupakan harapan besar konsep kedaulatan dan keadilan sosial berjalan di Indonesia. Ini kita tunggu. (Yoss)