Gde Siriana: Kotak Kosong Dalam Kertas Suara Bagus Untuk Evaluasi Rekrutmen Kandidat Oleh Partai Politik
JAKARTASATU.COM– Pada pokoknya, para Pemohon menginginkan ada fasilitasi terhadap keberadaan suara kosong atau blank vote dengan mengakui keberadaan kotak kosong di dalam surat suara bagi daerah yang memiliki dua atau lebih pasangan calon dan menyatakan suara kosong sebagai suara sah dan mempengaruhi keterpilihan dari hasil pilkada.
“Untuk gugatan JR ke MK terkait kotak kosong disediakan dalam kertas suara, tidak saja pada Pilkada Calon Tunggal, tetapi semua Pilkada,” kata Direktur Eksekutif INFUS Gde Siriana.
“Filosofi ‘kotak kosong’ dalam suatu pemilihan adalah bahwa kandidat yang diusung partai politik beluk tentu mewakili aspirasi pemilih, sedangkan kandidat yang diinginkan pemilih sangat mungkin mendapatkan kendala sistemik untuk mengikuti pemilihan,” tambahnya.
Lanjut dia, karena itu selama ini pemilih memutuskan untuk menggunakan hak pilihnya dengan tidak memilih, yaitu dengan tidak berpartisipasi pada pemilihan atau merusak kertas suara.
“Secara konstitusi, hak pilih yang tidak digunakan atau dengan cara merusak keabsahan surat suara dengan mencoblos lebih dari satu calon dijamin konstitusi, ”
Menurutnya demi kepentingan evaluasi penyelenggaraan pemilihan secara akurat, kedua bentuk cara memilih tersebut tidak mencerminkan fakta sebenarnya, misalnya terkait partisipasi pemilih. Pemilih yang tidak datang saat pemilihan belum tentu karena tidak partisipatif atau apatis, tetapi karena tidak ada pilihan terbaiknya dalam surat suara. Pemilih yang mencoblos lebih dari satu calon pun, belum tentu karena menyukai kedua calon tersebut tetapi dapat karena sebaliknya.
“Bentuk menggunakan hak pilih dengan cara tersebut tidak akan terjadi bilamana pada kotak suara disediakan pilihan ‘kotak kosong’ karena pemilih meyakini bahwa negara telah menjamin hak politik pemilih, apapun bentuk pilihannya,” terang kandidat doktor ini.
Selain itu lanjut Gde Siriana, ini menjadi kontrol demokrasi, seberapa kuat partai politik ingin mengakomodasi aspirasi konstituennya dalam pemilihan. Misalnya ketika calon yang diusung partai politik kalah oleh kotak kosong dapat diartikan bahwa partai politik tidak mampu menyerap aspirasi pemilih.
“Ini juga akan meningkatkan partisipasi pemilih untuk datang pada hari pemilihan untuk mengekspresikan pilihannya karena tidak memilih satupun calon yang tersedia sudah difasilitasi oleh negara dalam surat suara,” ungkap Gde Siriana.
“Dan yang lebih penting, pilihan kotak kosong dalam kertas suara mencegah penggunaan kertas suara yang tidak terpakai oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab karena banyak pemilih tidak datang,” tandasnya.
Diketahui, dilansir Hukum Online, “UU Pilkada Diuji Materi ke MK, Pemohon Minta Ada Kotak Kosong di Pilkada 2024”, 25/9/2024.
Dua warga Banten dan satu warga Jakarta mengajukan permohonan pengujian sejumlah pasal dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pemilihan Kepala Daerah/Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal-pasal yang diuji antara lain Pasal 79 ayat (1) UU 1/2015, Pasal 94 UU 8/2015, serta Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU 10/2016.
Heriyanto (Pemohon I), Ramdansyah (Pemohon II), dan Raziv Barokah (Pemohon III) menguji konstitusionalitas pasal UU Pilkada tersebut dengan batu uji sejumlah pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Menurut para Pemohon, pemilihan kandidat pasangan calon kepala daerah yang diusung saat ini tidak memperhatikan kehendak rakyat, melainkan mengutamakan pilihan elite partai politik.
“Kami melihat justru pasangan yang ada itu lebih banyak dihasilkan dari yang namanya kandidasi buying atau pork barrel politic juga di dalamnya Yang Mulia,” ujar Heriyanto selaku Pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 125/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta pada Rabu (25/9), dilansir dari laman resmi MK.
Para Pemohon menguraikan, hampir semua ketua umum atau sekretaris jenderal partai politik memiliki kartu as yang dipegang oleh penguasa. Sebagian besar elite partai politik bersama penguasa pemerintahan justru berkoalisi untuk memonopoli peta pemilihan kepala daerah di berbagai daerah di Tanah Air.
Menurut para Pemohon, bakal pasangan calon kepala daerah di sejumlah wilayah tidak diusung untuk kepentingan rakyat, melainkan hanya kepentingan penguasa. Bahkan, karena koalisi gemuk tersebut dibentuk mengakibatkan hanya ada satu pasangan calon kepala daerah, sehingga akan ada pertarungan melawan kotak kosong.
Namun, para Pemohon menginginkan konsep kotak kosong berlaku juga atas daerah yang memiliki dua atau lebih pasangan calon kepala daerah. Hal ini sebagai bentuk penolakan pemilih untuk memilih pasangan calon kepala daerah yang ada. (Yoss)