Retrospeksi
Oleh Taufan S Chandranegara, praktisi seni, penulis.
Politisasi kehidupan kebudayaan di ranah keilmuan beragam rupa; sains, agama serentak tampil beragam budaya di Bumi. Entah di planet lain. Mungkin juga tak serupa, berbeda-beda gaya hidup perilaku budaya serentak politik berkesinambungan ragam pesona keilmuan manusia, lampau hingga terbarukan. Lantas muncul beragam istilah politik di ranah kebudayaan atau sebaliknya.
Berpolitik atau mengasuh politik tak sekadar memainkan siasat dalam arti sekadar manfaat pula bagi sementara golongannya; tidak seperti itu. Sangat diperlukan kecerdasan berbudi. Tak mudah, sekadar menipis si jelak diganti dengan si bagus, pada fase ini ente yakin bahwa kasat mata bagus itu sungguh esensial bagus multimanfaat bagi sesama. Barangkali pada ranah ini perlu lahir tingkat bertingkat studi, pelajaran keilmuan tatanan paripurna bermanfaat bagi sesama makhluk hidup di planet ini.
Dia sewarna, saya tidak, atau mereka sewarna kami tidak; perbedaan macam itu dilarang menjadi olokolok serius bersifat merugikan kehidupan bersama seluasnya alam raya. Berbaik-baikanlah, bertemulah pilihanpilihan individual, kelompok menuju citacita sebagaimana mestinya rancangan tujuan baik-niat ingsun, untuk senantiasa menjadi benar, lebih baik bertingkat-tingkat sepanjang usia sang waktu.
Melaksanakan komitmen keyakinan kekuasaannya sebagai manusia individu terpilih untuk publik bersama saling berkomunikasi merawat tujuantujuan telah terencana, disepakati secara benar untuk disampaikan ke ranah masyarakat seluasluasnya citacita dari tujuan. Apakah hal itu tujuan kelompok, individu, saling memberi kritik asupan manfaat bergizi bagi kesehatan rohani-jasmani.
Lantas berkembang wacana sosial politik, sosial ekonomi, hukum-filsafat, perilaku manfaat alam serentak lingkungan, seterusnya beragam keilmuan seabrek-abrek di Bumi ini. Sila memilih, membagikan manfaat baik. Membuang kemufakatan jahat-dalam paham apapun pilihan keyakinan kelompok untuk kepentingan terminal tujuantujuan absurd negatif, tamak, egois destruktif; setelah mencapai kesepakatan kekuasaan. Enggak boleh begitu ya, kualat loh.
Lantas berkhianat pada kemufakatan, mengubahnya menjadi beragam tujuan seolaholah demi publik; padahal sebaliknya, mengkhianati kebaikan di ranah keyakinan telah menjadi tolok ukur dari rencana kejahatannya, misalnya: Korupsi.
Politik kebijakan atau kebijakan berpolitik tentu wajib memahami, mematuhi undang-undang dasar negara bersangkutan dimanapun untuk mencapai pedoman telah ditentukan negara bersangkutan. Kagak bisa seenaknya cuy. Sebab negara tak serupa gerobak dorong bisa kapan saja di dorong kesana kemari atas kehendak capaian citacita pemikiran budaya kelompok, individu internal egois, tak peduli kemaslahatan publik. Oh no lah hai.
Ada tatakrama bernegara; apakah benarbenar telah dipahami guna pencapaian lompatan lebih tinggi lagi, berikutanya terbang sekilat cepat. Namun lagilagi capaian citacita negara sebaiknya sungguhsungguh mengayomi kepentingan warga negaranya. Membuka telinga, meresap kehati menuju penalaran rencana bertingkat-tingkat senantiasa lebih baik.; Pada ranah ini, diuji, teruji, menguji, melihat mengamati keikhlasan individu seorang pemimpin; valid mengabdi untuk rakyatnya. Terbuka, berani, berakhlak-berakhidah baik di dalam hakikat kebenaran keimannya.
Tugas negara paling dicermati publik sesungguhnya sangat sederhana sepanjang abad sejarah manusia,; Mampukah seorang pemimpin menjadi orang baik, benar, beriman pada Tuhannya.
Seorang pemimpin, tentu tak boleh arogan, ngomong asal jeplak-ngablak tak peduli suarasuara rakyatnya; mentangmentang jadi pemimpin negara seolaholah mendapatkan kursi kepemimpin itu dari hasil kerjanya sendirian. Oh! No lah hai. Hasil Pemilu guys; Ente di pilih oleh rakyat. Mengabdilah untuk rakyat. Sempurna ikhlas.
***
Jakartasatu Indonesia, September 28, 2024.
Salam NKRI Pancasila Banyak Kebaikan Setiap hari.