JAKARTASATU.COM– Sembilan kekritisan pendidikan di Indonesia dipaparkan Anggota DPR RI yang baru saja dilantik dari PKS, dr. Gamal Albinsaid. Pertama, Hasil Pisa terendah sepanjang sejarah Indonesia mengikuti Pisa.
Capaian nilai PISA kita kata dia, tertinggal jauh dari rata-rata negara OECD dan ASEAN. Skor membaca 356 jauh dibawah target RPJMN 392.
Skor matematika 366 jauh di bawah target RPJMN 392. Skor sains 383 jauh dibawah target RPJMN 402.
Tahun 2022, Indonesia peringkat 69 dari 81 negara. “Jika kita membuat proyeksi skor Indonesia dan merujuk pada rata-rata neagra OECD, maka kita bisa mencapai rata-rata skor OECD pada tahun 2089 untuk literasi dan 2063 untuk numerasi,” paparnya, lewat akun X-nya, Sabtu (5/10/2024).
Kedua, tingkat kesejahteraan guru yang sangat rendah.
Apabila merujuk pada laporan IDEAS pada Mei 2024, 42 persen guru dan 74 persen guru honorer memiliki penghasilan di bawah 2 juta rupiah, serta 13 persen guru dan 20,5 persen guru honorer memiliki penghasilan di bawah 500 ribu.
89 persen guru menurutnya merasa penghasilan mereka pas-pasan atau kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dengan itu, 55,8 persenguru memiliki pekerjaan sampingan, serta 79,8 persen guru memiliki utang.
“Kita juga dikejutkan oleh riset NoLimit yang mengatakan 42% masyarakat yang terjerat pinjol ilegal berprofesi sebagai guru,” katanya.
Jika dibandingkan dengan negara ASEAN, maka rata-rata terendah gaji guru dengan menggunakan perbandingan Purchasing Power Parity, maka dikatakannya, Indonesia 2,4 juta, Malaysia 5,54 juta, Filipina 6,97 juta, Thailand 9,52 juta, serta Singapura 11,93 juta.
Bahkan jika dibandingkan dengan gaji negara-negara OECD, guru SD di Australia kata dia memiliki penghasilan 620-883 juta per tahun, guru SMP di Belanda memiliki penghasilan 606 juta hingga 1,06 milyar per tahun, serta gaji guru SMA di Prancis memiliki penghasilan 454-550 juta per tahun.
“Yang perlu kita apresiasi bersama, 93,5% guru mengatakan akan terus mengajar hingga pensiun. Jika kesejahteraan guru masih minim, bagaimana mereka bisa mengajar dengan tenang tatkala hutang membebani dan keperluan rumah tangga belum terpenuhi,” tegasnya.
Ketiga, sebanyak 71 persen anak-anak Indonesia memiliki fixed mindset.
Dalam laporan PISA 2018, disebutkan Gamal, bahwa dinyatakan mayoritas siswa di negara OECD memiliki mindset berkembang. Hasil kuisioner dalam angket mereka tidak setuju atau sangat tidak setuju dengan pernyataan “Kecerdasan seseorang merupakan sesuatu yang tidak dapat diubah”.
Sedangkan di Indonesia hanya 29% anak-anak Indonesia yang memiliki growth mindset. Sebagian besar, 71 persen,masih menganggap bahwa kecerdasannya tak bisa diubah.
“Anggapan tersebut mempengaruhi mindset yang akan mengantarkan pada perilaku dan hasil yang berbeda dalam hal pengembangan diri secara signifikan,” kata dia.
Keempat, Akses pendidikan terbatas. Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi menunjukkantidak pernah melampaui target renstra Kemendikbudristek dan jauh dari target RPJMN.
“Capaian APK PT tahun 2023 adalah 31,45% dimana Target renstra Kemendikbud adalah 36,64%. Padahal kita memiliki target APK PT tahun 2035 adalah 45% dan 2045 dalah 60%,” terangnya.
“Jika kita bandingkan dengan negara tetangga, Malaysia memiliki APK PT 43 persen. Thailand 49,29 persen, dan Singapura 91,09 persen,” imbuhnya.
Selain itu kata dia, ada disparitas yang tinggi antara kelompok pengeluaran terendah dan tertinggi. “Masyarakat dengan ekonomi baik mampu mencapai angka 52,65 persen dan masyarakat dengan kelas ekonomi terendah hanya 17,54 persen yang berkesempatan kuliah,” tekannya.
Kelima, krisisi literasi. Gamal kutip temuan UNESCO. Dimana menilai minat baca Indonesia memprihatinkan, dari 1.000 orang Indonesia hanya 1 yang rajin membaca.
Di Penelitian World’s Most Literate Nation Ranking oleh CCSU, menyatakan Indonesia peringkat 60 dair 61 negara untuk minat baca.
Keenam, krisis numerasi. Disampaikan Gamal, bahwa berbagai asesmen menunjukkan stagnansi atau kemajuan yang lambat kemampuan numerasi. “Hasil tes IFLS menunjukkan rendahnya probabilitas siswa usia sekolah dalam penguasaan materi perhitugan dasar,” kata dia.
Kemudian kenaikan jenjang pendidikan tidak menaikkan kemampuan literasi secara signifikan. “Misalkan dalam tes IFLS anak kelas 1 mendapatkan skor 26,5% dan anak kelas 12 mendapat skor 38,7%,” terangnya.
“Jadi, walaupun siswa tersebut naik kelas, peningkatan kemampuan siswa antara jenjang satu dengan jenjang berikutnya tidak memiliki kenaikan yang signifikan,” imbuhnya.
Ketujuh, mismatch bakat, pendidikan, dan pekerjaan. Disampaikannya, berdasar penelitian Indonesia Career Center Network (ICCN), 87 persen mahasiswa di Indonesia salah jurusan dan 71,7 persen pekerja memiliki profesi yang tidak sesuai pendidikannya. “Oleh karena itu, penting design kurikulum untuk memberikan kesempatan anak mengeksplorasi minat dan bakatnya,” kata dia.
Kedelapan, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) paling banyak menganggur. Gamal menyebut bahwa lukusan SMK menjadi menjadi penyumbang terbesar pengangguran terbuka.
Padahal kata dia, kita butuh link and match antara dunia pendidikan dan kebutuhan pasar. “Kita juga harus melatih skill-skill yang dibutuhkan di dunia kerja ke depan, sesuai rekomendasi World Economic Forum misalkan, analytical thinking, creative thinking, serta resiliensi, fleksibilitas, dan agility,” ia menekankan.
Kesembilan adalah gap besar, antara rata-rata lama sekolah (RLS) dengan harapan lama sekolah (HLS). Pada laporan BPS menunjukkan HLS Indonesia adalah 13,15 tahun.
Artinya kata dia, anak-anak yang berusia 7 tahun memiliki harapan pendidikan sampai jenjang Diploma 1. “Saat ini RLS (Rata-Rata Lama Sekolah) pelajar Indonesia adalah 8,77. Artinya penduduk yang berusia 25 tahun telah menempuh pendidikan hingga SMP kelas 9,” katanya.
“Hal ini menunjukkan RLS lebih rendah 4,38 tahun dari HLS (Harapan Lama Sekolah),” imbuhnya.
Atas hal itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Yakni pertama, memprioritaskan peningkatan kemampuan literasi dan numerasi.
Kedua, memberikan dukungan kesejahteraan dan peningkatan kualitas guru. Dan ketiga, realokasi anggaran fokus pada peningkatan kualitas pendidikan berbasis indikator kinerja pendidikan.
Ia pun memiliki ide dan mimpi, bagaimana kita mampu menghadirkan program 1 desa 10 mahasiswa. “10 mahasiswa ini harus kembali untuk membangun desanya. Dengan begitu akan terjadi akselerasi peningkatan kualitas SDM yang merata yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan desa,” kata dia.
“Desa-desa yang unggul akan mewujudkan kota/kabupaten unggul. Kota/Kabupaten unggul akan mewujudkan Indonesia unggul,” imbuhnya.
Menurut Gamal, sistem pendidikan yang efektif akan membentuk SDM unggul. SDM Unggul akan mewujudkan negara maju. “SDM yang berkualitas dan produktif akan memperkuat pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya. (RIS)