EDITORIAL JAKARTASATU.COM: “Ujug-Ujug jadi Doktor”
ADA yang “ujug-ujug jadi doktor” biasanya menggambarkan seseorang yang tiba-tiba mendapatkan gelar doktor tanpa proses yang terlihat atau jelas. Istilah ini sering dipakai dalam konteks humor atau sindiran untuk menyiratkan ketidakjelasan proses yang dilalui seseorang hingga meraih gelar akademis tertinggi tersebut.
Mungkin inilah kegelisahan politikus PKS Mulyanto di akun X (Twitter), Rabu (16/10/2024). dimana Mulyanto, sekali lagi Mulyanto ya….bukan Mul….yang lain yang bicara. Ia mengatakan bahwa “Reputasi Universitas Indonesia (UI) diduga terganggu dengan Bahlil Lahadalia yang menyelesaikan program doktor di kampus tersebut kurang dari dua tahun.
“Bahlil Selesaikan Program Doktor di UI Kurang dari 2 Tahun, Sidang Promosi Siang Ini. Saya duga Bisa terganggu reputasi UI. Setuju ngak?” kata politikus PKS Mulyanto di akun X (Twitter), Rabu (16/10/2024).
Nah lantas yang dimaksudkan dengan “ujug-ujug jadi doktor” itu apa?
Jika kita melihat saat masuk di kampus UI tanggalnya 13 Februari 2023 dan pada 16 Oktober 2024 lulus cepat adalah luar biasa. (lihat tabel.)
Kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) UI, Amelita Lusia, membenarkan Bahlil akan menjalani sidang promosi doktor. “Beliau mengambil program doktoral by research,” ujarnya saat dihubungi, Rabu, 16 Oktober 2024 dikutip dari Tempo.
Dengan program ini, Bahlil tak perlu berfokus mengikuti mata kuliah di dalam kelas. Ia bisa memperoleh gelar doktor dengan mengerjakan sebuan penelitian independen.
Bahlil akan memperoleh gelar doktornya dengan disertasi tentang tata kelola hilirisasi nikel – bidang yang selama ini digelutinya baik sebagai Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal maupun Menteri ESDM.
Disertasi itu bertajuk “Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Bekerkelanjutan di Indonesia”.
Bahlil beberapa kali menyampaikan isi disertasi yang ia kerjakan dalam berbagai kesempatan. Dalam penelitian itu, ia menemukan masyarakat lokal di sekitar tambang belum mendapatkan manfaat dari hilirisasi.
“Memang penelitian saya, hilirisasi itu yang mendapat manfaat paling besar sekarang ini adalah investor dan pemerintah pusat,” kata Bahlil saat memberi kuliah di Universitas Paramadina, Jakarta Selatan, pada Sabtu, 27 Juli 2024.
Banyak yang kisah Kasus “gelar sekejap” biasanya mengacu pada pemberian gelar akademis atau kehormatan secara cepat dan instan tanpa melalui proses yang lazim atau sesuai dengan prosedur pendidikan yang berlaku. Fenomena ini sering kali dikaitkan dengan universitas abal-abal atau lembaga pendidikan yang tidak terakreditasi. Tujuan dari praktik ini bisa beragam, seperti demi status sosial, jabatan, atau peningkatan karier tanpa harus melewati jalur akademis yang benar.
Praktik pemberian gelar sekejap sering dianggap sebagai penipuan karena merusak integritas sistem pendidikan, merugikan lulusan yang telah menempuh pendidikan dengan usaha dan waktu yang sah, serta bisa berdampak buruk pada dunia kerja ketika orang-orang yang tidak kompeten dipekerjakan berdasarkan gelar palsu. Di Indonesia, isu ini pernah menjadi sorotan, terutama ketika ada tokoh publik yang ketahuan menggunakan gelar palsu. Pemerintah dan lembaga pendidikan harusnya secara resmi berusaha mengatasi masalah ini dengan memberikan sertifikasi pada institusi pendidikan yang diakui dan meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan gelar.
Apakah untuk kasus?
Ada beberapa spekulasi atau pandangan kritis terkait dengan seseorang yang mendapatkan gelar doktor tanpa melalui proses yang dianggap “normal.”
Hal ini biasanya merujuk pada kekhawatiran akan adanya praktik akademik yang kurang transparan, seperti:
1. Plagiarisme: Penggunaan karya orang lain tanpa memberikan kredit yang seharusnya.
2. Penyalahgunaan kekuasaan: Orang yang memiliki pengaruh atau kekuasaan bisa jadi mendapat perlakuan khusus dalam proses akademis.
3. Pemberian gelar kehormatan: Beberapa universitas memberikan gelar doktor kehormatan (honoris causa) tanpa melalui proses akademis biasa. Namun, ini harus jelas dipisahkan dari gelar doktor berbasis penelitian.
4. Kualitas institusi: Beberapa institusi akademik mungkin tidak memiliki standar yang ketat dalam penilaian dan pemberian gelar. Apabila hal ini terjadi, tentu merusak kepercayaan terhadap kredibilitas institusi pendidikan dan akademisi pada umumnya. Gelar doktor seharusnya dicapai melalui proses penelitian, pengembangan ide, dan kontribusi ilmiah yang mendalam, sehingga bila ada kasus yang menyimpang, biasanya menjadi sorotan publik.
Kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) UI, Amelita Lusia, membenarkan Bahlil akan menjalani sidang promosi doktor.
“Beliau mengambil program doktoral by research,” ujarnya saat dihubungi, Rabu, 16 Oktober 2024 dikutip dari Tempo.
Dengan program ini, Bahlil tak perlu berfokus mengikuti mata kuliah di dalam kelas. Ia bisa memperoleh gelar doktor dengan mengerjakan sebuan penelitian independen.
Bahlil akan memperoleh gelar doktornya dengan disertasi tentang tata kelola hilirisasi nikel – bidang yang selama ini digelutinya baik sebagai Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal maupun Menteri ESDM.
Disertasi itu bertajuk “Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Bekerkelanjutan di Indonesia”.
Bahlil beberapa kali menyampaikan isi disertasi yang ia kerjakan dalam berbagai kesempatan. Dalam penelitian itu, ia menemukan masyarakat lokal di sekitar tambang belum mendapatkan manfaat dari hilirisasi.
“Memang penelitian saya, hilirisasi itu yang mendapat manfaat paling besar sekarang ini adalah investor dan pemerintah pusat,” kata Bahlil saat memberi kuliah di Universitas Paramadina, Jakarta Selatan, pada Sabtu, 27 Juli 2024.
Pertanyaan lanjutnya saat ini berapa idealnya, durasi program S3 (doktor)? Jawabannya bervariasi tergantung pada negara, universitas, dan bidang studi. Namun, secara umum, gelar doktor biasanya membutuhkan waktu antara 3 hingga 5 tahun, meskipun dalam beberapa kasus bisa lebih lama.
Ini adalah gambaran umumnya: 1. Durasi minimum: Program doktor biasanya membutuhkan setidaknya 3 tahun untuk menyelesaikannya, terutama jika mahasiswa doktoral dapat fokus penuh waktu pada penelitiannya dan menyelesaikan disertasi dengan cepat.
2. Durasi rata-rata: Kebanyakan program doktor berlangsung sekitar 4 hingga 5 tahun. Ini termasuk waktu untuk menyelesaikan kursus (jika ada), melakukan penelitian, dan menulis disertasi.
3. Durasi lebih lama: Dalam beberapa kasus, terutama jika mahasiswa doktoral bekerja paruh waktu, menghadapi tantangan dalam penelitian, atau terlibat dalam proyek yang memerlukan waktu panjang, durasinya bisa mencapai 6 hingga 8 tahun atau lebih. Faktor-faktor yang mempengaruhi durasi studi S3 termasuk tingkat kompleksitas penelitian, bidang studi, dan kemampuan mahasiswa untuk menyelesaikan proyeknya sesuai jadwal.
Hmmmm baiklah jika demikian ada sedikit padangan dan bukan kesimpulan
apakah ini ada beberapa spekulasi atau pandangan kritis terkait dengan seseorang yang mendapatkan gelar doktor tanpa melalui proses yang dianggap “normal.” atau malah punya kekuasaan…Ancaman… Atau tekanan?