Ilustrasi AI | WAW
Ilustrasi AI | WAW

Berawal dari Ijazah Palsu

Cerpen
WA Wicaksono
Pada sepotong waktu yang tersampir di negeri Konoha, di mana impian-impian besar sering kali kandas di meja administrasi yang berdebu dan lembab, sebuah kisah dimulai dari selembar kertas. Ya, selembar kertas yang bagi sebagian orang bisa dianggap mampu mengubah seonggok nasib menjadi emas. Meskipun bagi Sebagian yang lain, kertas itu hanyalah sebuah simbol—-entah itu simbol kemajuan, atau mungkin, simbol penipuan. Itulah selembar kertas yang disebut dengan ijazah.
Di negeri itu, Presiden mereka, seorang yang dulu dielu-elukan sebagai pahlawan rakyat, telah lama menyimpan rahasia. Entah bagaimana, sebuah rumor beredar bahwa ijazah sarjananya adalah abal-abal alias palsu—-semacam skandal karya fiksi akademis yang tak pernah terungkap. Rakyat sempat menunggu klarifikasi, tapi sang Presiden memilih jalur sunyi.
“Ijazah itu otentik,” katanya singkat dalam satu wawancara. Sejak itu, topik ijazah menjadi tabu, tenggelam dalam lautan pidato-pidato penuh optimisme kosong dan janji-janji tanpa akhir. Lho, bagaimana dengan rasa penasaran publik? Mereka lelah, dan juga tak punya pilihan, selain pasrah.
Namun ternyata, kisah itu tidak lalu berhenti dan terkubur di sana. Persis seperti pepatah lama yang diplesetkan, “Presiden kencing berdiri, pejabatnya kencing berlari,” kasus ijazah palsu ini menjelma sebagai wabah yang menyebar ke seluruh lapisan birokrasi. Menteri Pendidikan, yang dulunya pengusaha sukses ojek online (ojol), tiba-tiba didaulat menjadi pakar pendidikan. Katanya, keahliannya dalam mengelola usaha ojol tak ada bedanya dengan mengurus sistem pendidikan. Toh, pendidikan hanyalah bisnis, bukan? Anak-anak belajar, orang tua bayar, guru mengajar, pemerintah cuan. Begitu persamaan sederhana dalam logika dagangnya yang absurd.
Hancur tak hancur, semuanya sudah terlanjur. Meski terasa mengganjal dan banyak kasus kualitas pendidikan yang semakin mengecewakan, kehadiran menteri pendidikan baru dan gebrakan-gebrakannya yang absurd akhirnya diterima masyarakat dengan pasrah. Menyerahkan begitu saja gelindingan nasib bangsa pada roda takdir yang berjalan.
Namun tak lama kemudian, dunia pendidikan Konoha pun kembali geger oleh pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada seorang selebriti yang lebih terkenal karena mengkonglomerasi usaha-usaha hiburan yang menjerumuskan, ketimbang kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan. Alasannya? Ia “menginspirasi kaum muda untuk bermimpi lebih tinggi”. Tentu saja, alasan itu terdengar seperti satir yang ditulis buruk, tapi universitas pemberi gelar itu tidak peduli. Mereka butuh publicity, dan selebriti itu adalah tiket emas menuju perhatian public, karena universitas itu sendiri tidaklah nyata kecuali sekedar nama yang kualitasnya entah kayak apa.
Sampai akhirnya, puncak dari semua kekacauan itu kembali terjadi ketika seorang pejabat tinggi negara memperoleh gelar doktor dalam waktu kurang dari dua tahun saja. Universitas papan atas Konoha yang memberinya gelar memuji kecepatan dan kecemerlangannya. “Beliau benar-benar jenius,” kata salah satu rektornya, dengan mata berbinar-binar, seakan tak sadar bahwa seluruh dunia akademis sedang menertawakan mereka di balik punggung. Publik Konoha mulai berspekulasi, mungkinkah mereka memberikan gelar doktor ini lewat drive-thru? Seperti memesan burger cepat saji—tiga menit menunggu, gelar pun datang dalam kotak kertas mewah.
Dunia pendidikan di Konoha kini seperti lelucon yang menyedihkan. Di dalam sekolah-sekolah, guru-guru tak lagi mengajarkan matematika atau bahasa, melainkan kursus “Cara Mendapatkan Gelar Tanpa Perlu Belajar.” Siswa-siswa belajar dari contoh yang diberikan para pejabat. “Kenapa harus bekerja keras?” pikir mereka. “Ijazah palsu saja bisa mengantarmu jadi presiden.”
Dan di tengah semua kekacauan ini, ada satu tokoh yang mungkin paling terlupakan: Pak Gunawan, seorang guru tua yang pernah bermimpi untuk memperbaiki sistem pendidikan di Konoha. Pak Gunawan kini duduk di kantornya yang penuh dengan sertifikat penghargaan yang tidak pernah membawa perubahan. Ia tahu, ia sudah kalah. Pendidikan di Konoha tidak lagi soal pengetahuan, melainkan permainan kekuasaan.
Suatu hari, saat duduk termenung di depan secangkir teh yang mulai dingin, Pak Gunawan tersenyum getir. “Mungkin,” katanya pada dirinya sendiri, “Aku juga butuh ijazah palsu untuk dianggap serius di negeri ini.” Dan dengan itu, ia memutuskan untuk pensiun.
Konoha pun terus melangkah maju. Maju ke arah yang entah kemana. Ijazah palsu, gelar kehormatan yang absurd, dan promosi doktoral yang tak masuk akal menjadi cerita sehari-hari. Sementara itu, rakyat Konoha, seperti boneka yang terlupakan, tetap hidup di dalam sandiwara besar ini, tertawa, menangis, dan akhirnya menerima bahwa pendidikan mereka bukan lagi tentang masa depan, tapi tentang siapa yang bisa menipu paling baik.
————-
Konoha—negeri di mana realita adalah lelucon, dan pendidikan hanyalah panggung teater yang penuh aktor, masing-masing memegang ijazah palsu yang bersinar terang di bawah lampu sorot sistem yang korup.