Curhatan Gubes UI Sulistyowati Irianto Soal Doktor Kilat
Dalam dua hari ini civitas UI memang sangat bersedih, peristiwa ujian Bahlil itu benar-benar meluluh lantakkan reputasi UI. Kami semua marah dan kecewa. Karena jadinya spt rusak susu sebelanga akibat tindakan yang terjadi di suatu sekolah. Saya berada di dalam kemurungan ini juga, sebagai orang UI.
Namun marilah kita lihat peraturannya dalam perspektif yang sederhana penyelenggaraan S3 di UI. Barangkali di situ dapat kita temukan permasalahannya. Studi S3 diselenggarakan minimal 6 semester dan maksimal 10 semester. Bahkan mereka yang bisa menyelesaikan S3 dalam 6 semester mendapat predikat cum laude. Sungguhpun saya sudah protes sejak 2011-2012 ketika menjadi ketua program pascasarjana antropologi di FISIP UI, bahwa hal itu tidak mungkin dalam ilmu sosial.
Jadinya lulusan S3 antropologi UI hampir gak ada yang lulus cum laude sungguhpun secara IPK memenuhi, tetapi tidak memenuhi secara waktu.
Sungguhpun begitu selalu saja ada mahasiswa S3 yang lulus dalam waktu 6 semester di berbagai fakultas ilmu sosial.
Lalu, saya tidak tahu kapan mulainya ada program jalur khusus untuk S3, yaitu jalur riset, diberlakukan, dan termasuk juga berlaku di SKSG. Nah nampaknya ini yang menjadi celah. Bahkan saya dengar ditawarkan kemana-mana agar orang-orang berbondong-bondong ambil S3 dengan tawaran cuma dua tahun lulus Doktor di SKSG. Sebagai ilmuwan sosial, saya protes sebenarnya, mana mungkin ilmu sosial lulus Doktor dalam waktu cuma 4 semester. Ini ajaib sekali.
Saya pernah menyampaikan hal ini kepada kawan-kawan dosen di SKSG… tetapi kan apalah suara saya ini… angin lalu, prett !
Mungkin sudah banyak juga yang sudah lulus melalui jalur ini…. Kita tidak pernah tahu, sampai… ada kasus yang sangat mencolok yaitu kasus bapak pejabat tinggi ini. Karena bapak ini juga sudah kontroversial.
Pertanyaan berikutnya, apakah alasan universitas membuka jalur-jalur semacam ini? Juga membuka jalur S1 yang banyak cabangnya spt regular, parallel, ekstensi, internasional dan entah apalagi. Sepertinya pemerintah memberi tafsir bahwa universitas otonomi adalah universitas yang harus cari uang sendiri, dengan subsidi semakin dikurangi utk PTN. Jadi sudah berbeda tujuan filosofis keberadaan universitas utk memproduksi ilmu pengetahuan dan budaya akademik bagi tujuan perubahan masyarakat, spt dalam Magna Charta Universitatum.
Juga sudah jadi rahasia umum banyak PTN buka cabang ke kota-kota lain kan? Terutama pendidikan pascasarjana? Dalam rangka apa? Apakah utk dapat memampukan diri menyelenggarakan pendidikan? Karena pendidikan bagus memang biayanya tidak murah.
Dan terjadinya kasus-kasus pelanggaran etika akademik berat spt kasus You Know Who itu, termasuk membuat jurnal abal-abal bersama tiga Dekan !! Dan katanya bisa tetap ujian karena sudah diganti dengan jurnal lain yang valid…
Tetapi buat saya itu tidak bisa diterima. Damage was done… dan pelanggaran etika tidak bisa dipulihkan dengan: “sudah ada jurnal lain kok”… harus ada sanksi ! Tetapi ini malah dibiarkan tetap ujian.
Kasus ini memang cukup menghancurkan reputasi universitas. Dan apakah akar masalahnya ? Regulasinya yang memang membuka celah ? Ditambah dengan tentu saja pengelola program, sekolah, fakultas, dosen plus juga mahasiswa yang semuanya mestinya punya kepentingan transaksional saling memberi tawaran-tawaran yang menggiurkan?
Soal kedua, yang menjadikan banyak kawan-kawan bertanya karena ada nama saya dalam flyer ujian Pak Hasto. Begini, dari sisi prosedur Pak Hasto kuliahnya 3 tahun 2 bulan. Dari sisi subtansi: Disertasinya adalah tentang bagaimana ketahanan suatu partai politik dipengaruhi oleh variabel pola kepemimpinan, basis ideologi partai, dan pelembagaan partai. Dan studi kasusnya adalah PDIP.
Pak Hasto sejak muda sudah mengunyah buku2 ajaran Soekarno dan dia sendiri adalah orang PDIP dalam waktu yang panjang. Jadi tema penelitian yang dia tulis, adalah apa yang dia hidupi setiap hari. Bahan2 dokumenter, bahan sejarah, wawancara dengan banyak orang partai, dia bisa dapatkan. Dan dapat dinarasikan secara detail, logis dalam setiap babnya. Ditambah lagi metode kualitatif itu diperkuat dengan metode kuantitatif melalui survei dengan 300 responden.
Kajian literaturnya juga cukup memadai, ada banyak artikel jurnal baru. Saya sendiri terutama sejak peristiwa putusan MK 30 sebagai awal dari backsliding democracy di Indonesia, sangat tertarik dengan isu-isue politik dan hukum. Dan ketika diminta ikut menguji disertasi ini, saya mau, karena tertarik, ingin tahu spt apa parpol itu.
Saya memberi masukan yang sangat kritikal terutama terkait metodologi pada waktu ujian seminar hasil penelitian. Dan Pak Hasto menjawab pertanyaan-pertanyaan saya sebanyak 16 halaman, dan memperbaikinya !! Cuma celakanya ujian disertasi ini terjadi setelah adanya kasus You Know Who tersebut.. jadinya imbas persepsi buruk bahwa semua politisi tidak pintar, bikin disertasi ngasal, dll, itu tidak bisa dihindari. Persepsi yg one sided sebenarnya. Krn para pendiri bangsa kita adalah politisi. Demikian ya penjelasan saya terhadap pertanyaan kawan-kawan Terimakasih.