Jauhi Militeristik Dekati TNI

Oleh Damai Hari Lubis
Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212

Cenderung para politisi tanah air melupakan eksistensi tentang teori eksepsionalisme. Teori eksepsionalisme inilah yang digunakan oleh Jokowi, selama dirinya berkuasa, selain ditunjang oleh “sistim konsitusi flu UUD 2002 “.

Lalu apa hubungannya dengan judul artikel, agar mengetahui kejelasannya silahkan baca sampai dengan selesai

Teori eksepsional adalah penerapan sistim kebijakan politik dengan pola “berani beda” diantara sistim politik yang ada, seolah teori kebijakan eksepsionalisme yang mereka pilih dan gunakan menjadikan mereka yang paling unggul atau paling hebat diantara kelompok organisasi apapun yang ada.

Penerapan teori beda dan paling hebat menurut persepsi Jokowi adalah penerapan metode koordinasi antara seluruh kekuatan eksekutif, legislatif dan yudikatif yang akhirnya meng- kristalisasi namun sebuah nice point dan progresif terhadap hubungan dirinya kearah domain penguasa tunggal mirip monarki (sistim absolutisme), hal konsep penerapan atas teori ini, sebenarnya tidak plagiat atau Jokowi tidak mencuri konsep teori yang sudah ada sebelumnya, Jokowi yang tidak inovatif awalnya jelas tanpa sengaja, hanya oleh sebab kelicikannya demi mengamankan kursi kekuasaannya atau upaya politik mencegah impeachment. Oleh sebab dirinya memahami demi egonya, banyak melahirkan kekeliruan atau kontra dengan TAP. MRP. RI Nomor 6 Tahun 2001 dalam memimpin negara ini, selebihnya Jokowi protektif terhadap puluhan janji palsu atau melanggar janji politik terhadap bangsa ini. Karena menurut ahli filosofis JJ. Rousseau, “hal janji pemimpin merupakan kontrak politik, sehingga merupakan beban (hutang) moralitas untuk mewujudkannya”.

Realitas memang Jokowi, mengedepankan penggunaan teori eksepsionalisme, namun serius kontradiktif dari makna eksepsionalsme sebenarnya, yakni Jokowi dengan pola koalisi, untuk mempersatukan kekuatan internal eksekutif, merusak (merangkul) jalur behavior of law enforcement (KPK, KEJAKSAAN DAN POLRI TERMASUK LEMBAGA-LEMBAGA INTELIJEN) juga para akademisi, dengan pola merangkul rektor menjadi menteri serta membagi-bagikan jatah komisaris kepada petinggi kampus yang sebenarnya kampus juga bagian dari faktor penyeimbang para penyelenggara negara dalam berkarya dan akademiku selaku koreksi sistim  kekuasaan dan penyelenggaraan negara.

Jokowi juga memeluk erat para anggota legislatif dan juga intevensi kekuatan “monopoli partai-partai” kepada para anggotanya, bahkan termasuk obrak-abrik ranah yudikatif, artinya Jokowi dengan sengaja merusak tatanan sistim politik dan batasan kekuasaan di NRI yang menganut atau tepatnya hasil adopsi teori bernegara ala Montesque walau sistem ini tidak ideal, namun lumayan dibanding sistim otoritarian ala militeristik, lalu lengkaplah Jokowi menerapkan koalisi berupa implementasikan diskresi politik dengan metode machiavellis, sehingga Jokowi berbeda konsep penyelenggara sesuai sistim konstitusi dasar Pancasila yang penjabarannya hirakrkis menurun melalui UUD 1945 kemudian oleh Jokowi menjadi sebuah sistim baru dalam satu kesatuan kekuatan ditangan eksekutif tertinggi yang berada pada genggamannya.

Maklum Jokowi karena praktik tipu-tipu kelicikannya yang disaksikan sendiri oleh setiap anak bangsa sesuai pola praktik penyelenggaraan negara yang lakoni.

Mungkin, ide penerapan teori eksepsional oleh Jokowi gegara faktor kausalitas dinamika politik, dimana sejak dirinya memimpin sudah datang gelombang serangan besar politik bahkan diawali saat dirinya menjadi Gubernur DKI. Jakarta, perihal tuduhan  terkait garis keturunannya yang dianggap simpang siur termasuk pengguna ijasah palsu dari universitas UGM dimana Pratikno Mensesneg RI pernah menjadi rektor.

Memang Jokowi aneh, bayangkan program Presiden Soeharto tentang ejaan yang disempurnakan/ EYD pun kalah cepat, terbukti identitas Jokowi sejak sekolah dasar/ SD tahun 1960-an sudah sebagai Joko, saat semua teman-temannya masih bernama Djoko. Sehingga Jokowi sejak SD memang sudah beda (eksepsional) dia menentang ketentuan ejaan lama yang baru menjadi EYD pada tahun 1970 an.

Namun kenyatannya Jokowi hari ini sejak Ahad, 20 Oktober 2024 pada siang atau petang adalah pemimpin masa lalu, namun bangsa ini mesti waspada kepada bayangan Jokowi, atau Jokowi jilid 2 yang lebih awal sudah ditakuti bahkan lebih emosional dari Djokowi jilld pertama. Jangankan musuh politiknya atau sekedar oposan, ada info A1,  mertuanya pun dia libas dengan pola menelanjangi !

Tapi kesemua ini JASMERAH, Presiden RI Prabowo Subianto pernah dengan gigih didukung dan dibela mati-matian oleh kelompok politik identitas pada 2019. Diawali Prabowo berkunjung ke Kota Mekkah meminta dukungan elektoral, dan berlanjut Prabowo mendapatkan rekomendasi para ulama melalui ijtima menuju pilpres 2019.

Maka benang merah topik judul tidak ambigu, disini nampak ada kepercayaan yang lebih pada sosok eks TNI Prabowo, dibanding warga sipil Joko Widodo pada pilpres 2019. Sebuah deskriptif asa pada sosok TNI atau sosok berpola militeris karena faktor kesadaran seorang Jendral setelah menjabat presiden tidak lagi khusus membawahi pasukan perang dengan “uniform tunggal“, presiden membawah banyak corak dan warna, multi kelompok sipil termasuk aktivis yang kritis dan multi karakter dan disiplin ilmu, sehingga Warga dan Negara membutuhkan TNI yang tidak kaku terhadap kebebasan berpendapat, tetap loyal dan mengutamakan moralitas, etika dan kedisiplinan, namun humanisme dan jauh dari otoritarian

Tetap positif thinking, dengan segala yang ada, Prabowo Presiden bakal tegas melibas anggota kabinetnya yang tidak mumpuni, anggapan publik Prabowo menggunakan para eks pejabat pemilik bayang gelap bersikap ksatria, hanya sementara sekedar hindarkan manuver dari seorang eks pemimpin terburuk sepanjang republik berdiri.

Tentunya Presiden RI yang baru saja menjabat mesti diberi apresiasi serta dukungan moral agar sukses melaksanakan amanah rakyat dengan baik dan benar.

Bravo, Congratulation Prabowo Subianto Presiden RI ke-8.