BENARKAH PRABOWO TIDAK TERLIBAT PENGHILANGAN AKTIVIS?
Oleh : Irwan. S
Polemik keterlibatan Prabowo, Presiden Indonesia terpilih dalam Pemilu 2024, dalam kasus penculikan, penyiksaan dan penghilangan sejumlah aktivis, hingga saat ini masih menjadi tanda tanya.
Apalagi, dalam debat capres yang lalu, dengan terbuka Prabowo secara tidak langsung ‘mengakui’ telah menculik beberapa aktivis. Bahkan ia menyebut nama Budiman Sudjatmiko & Agus Jabo Priono, dua aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), sebagai dua dari sekian aktivis yang telah ia bebaskan.
Menjadi lebih menarik, Prabowo juga menunjuk aktivis HAM Natalius Pigai, sebagai Menteri Hak Asasi Manusia dalam Kabinet Merah Putih (KMP). Dan Mugiyanto, aktivis PRD, korban penculikan Prabowo, yang menjadi pegiat HAM juga diangkat menjadi Wakil Menteri HAM mendampingi Pigai.
Bernarkah Budiman Sudjatmiko dan Agus Jabo, dua aktivis PRD tersebut masuk kedalam sejumlah nama yang diculik Prabowo pada tahun 1997-1998? Benarkah semua aktivis yang telah diculik Prabowo sebenarnya telah dilepaskan dalam keadaan hidup tetapi lalu “menghilang”? Siapa “the invisible hand” yang mengail di air keruh dengan melenyapkan para aktivis yang tidak kembali hingga sekarang tersebut sehingga kemudian bola panasnya hinggap ke Prabowo? Apa tujuan Prabowo menjadikan korban penculikannya sebagai wakil menteri?
Untuk sampai pada jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, marilah kita runut kembali rentetan peristiwanya. Setidaknya, kita harus membagi fase penangkapan dan penculikan aktivis kedalam empat kluster besar. Pertama, penangkapan aktivis PRD oleh satgasus BAIS ABRI pada bulan Agustus-September 1996 yang merupakan rentetan dari kasus penyerbuan kantor PDI pada tanggal 27 Juli 1996 yang kemudian menempatkan aktivis-aktivis PRD sebagai dalang dari kerusuhan di sekitar jalan Salemba Raya, pembakaran bus PPD didepan RSCM dan pembakaran gedung Bank Kesawan. Budiman Sudjatmiko, Petrus Haryanto, Garda Sembiring dan beberapa aktivis PRD ditangkap didalam periode ini. Maka jelaslah, bahwa Budiman bukan korban penculikan, karena ia ditangkap untuk kemudian diadili di pengadilan, berujung masuk ke penjara Cipinang dan baru dibebaskan di era pemerintahan Habibie. Kedua, penangkapan aktivis PRD dan sejumlah aktivis pro demokrasi lainnya sebagai upaya BAIS ABRI menertibkan aktivitas politik jelang Pemilu 1997.
Ketiga, yaitu fase pasca dimana Prabowo kemudian membentuk pasukan khusus yang bertugas menculik aktivis-aktivis PRD, pasukan yang diberi nama “Pasukan Mawar” pada Juli 1997. Didalam periode inilah, setidaknya sepuluh aktivis PRD mengalami penculikan. Nama-nama seperti Faisol Reza, Nezar Patria, Mugiyanto, Rahardja Waluyo Djati, Aan Rusdiyanto, Widji Tukul, Herman Hendrawan, Bimo Petrus Anugerah, Suyat dan Sonny dicokok Pasukan Mawar sebagai rangkaian pengamanan persiapan Sidang Umum MPR 1998 yang kembali mengangkat Soeharto sebagai Presiden. Jika kita mencermati sepuluh nama diatas, maka akan ada lima nama yang bebas kembali pulang kekeluarga mereka dan ada lima nama yang hingga kini tak pernah kembali yang kemudian dinyatakan sebagai korban hilang.
Keempat, penculikan yang dilakukan saat mendekati Sidang Umum MPR 1998 yang dipicu oleh ledakan bom di daerah Tanah Tinggi Jakarta Pusat. Ada empat aktivis yang kemudian diculik oleh Pasukan Mawar yaitu Haryanto Taslam (PDI Pro Mega), Andi Arief (PRD), Pius Lustrilanang dan Desmon J Mahesa, keduanya aktivis Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera). Keempatnya konon dikembalikan ke keluarga masing-masing setelah dibebaskan, untuk memastikan mereka selamat setelah diculik.
Menurut keterangan Prabowo dalam sidang Dewan Kehormatan Perwira (DKP) tahun 1998, ia mengakui telah menginisiasi terbentuknya Pasukan Mawar sebagai eksekutor penculikan aktivis yang didasarkan kepada adanya informasi intelijen tentang beberapa nama yang dianggap ‘berbahaya bagi keamanan negara” pasca Pemilu 1997. Dia juga mengakui bahwa telah melakukan kelalaian dengan tidak melaporkan tindakan pembentukan pasukan tersebut kepada atasannya saat itu, yaitu KASAD & Panglima ABRI. Prabowo juga mengakui bahwa ia telah memerintahkan penculikan tersebut, walaupun ia tidak pernah memerintahkan praktik penyiksaan terhadap para korban penculikan. Tetapi ia secara tegas menyatakan kekeliruan yang berupa penyiksaan terhadap korban penculikan tersebut tetap menjadi tanggungjawabnya sebagai pimpinan. Yang menarik adalah ketika Prabowo membantah telah memerintahkan untuk menghilangkan sejumlah nama aktivis karena menurutnya semua yang diculik telah dilepaskan. Sidang DKP sendiri tidak pernah menyimpulkan secara eksplisit berkaitan dengan korban penculikan yang hilang.
Seperti kita ketahui bersama, pada akhirnya Prabowo menerima sanksi administratif berupa pemberhentian dengan hormat dirinya dari kedinasan tentara. Pasukan Mawar kemudian disidangkan dalam Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) 1999 yang berujung kepada sanksi pemberhentian hingga sanksi administratif.
Dari rangkaian tulisan diatas, maka secara umum Prabowo telah menerima sanksi atas kelalaian dan tindakan insubordinasi, terutama yang berkaitan dengan pembentukan pasukan penculik & aktivitas penculikan tersebut. Ia telah diberhentikan dari dinas ketentaraan dan yang paling berat adalah kemudian menerima sanksi sosial dalam kehidupan politik di Indonesia terhadap tindakan yang telah ia pertanggungjawabkan secara hukum.
Pertanyaan akhir adalah, jika Prabowo menyangkal telah melakukan tindak penghilangan aktivis (yang diakuinya telah ia culik), lalu siapa sebenarnya pelaku penghilangan tersebut?
Untuk mengklarifikasinya, perlu kita baca kembali kluster ketiga dan keempat tulisan diatas. Dimana pada kluster ketiga disebutkan bahwa Prabowo telah menculik setidaknya sepuluh aktivis PRD tetapi kemudian yang kembali kerumah hanya lima orang saja, sedangkan lima yang lain raib hingga sekarang. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah jika benar Prabowo terlibat dalam penghilangan aktivis PRD tersebut, mengapa ia tidak sekalian saja nenghilangkan mereka seluruhnya? Kenapa hanya separuh dari mereka yang hilang?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut sesungguhnya dapat sekaligus dilakukan Prabowo dengan cara menggelar pengadilan HAM, menggunakan otoritas dirinya sebagai presiden. Pengadilan HAM bukan saja dapat dijadikan Prabowo untuk “membersihkan” namanya secara utuh dari sangkaan keterlibatan dirinya dalam penghilangan aktivis, tetapi juga dapat menjadi langkah progresif menuntaskan pelanggaran-pelanggaran HAM lain seperti kasus penembakan Trisakti, Kerusuhan Mei 98, Peristiwa Semanggi I-II, Talangsari dan lain-lain.
Prabowo telah menerima hukuman atas tindak penculikan aktivis, Pasukan Mawar juga telah diadili dalam Mahmilub 1999. Saatnya Prabowo menggelar pengadilan ham untuk membuka tabir penghilangan aktivis. Dan penunjukan Pigai-Mugiyanto seharusnya dapat menjadi pintu masuk dibukanya tabir gelap penghilangan aktivis. Sekalipun, pada akhirnya akan muncul nama-nama yang mengejutkan jika pengadilan jadi dilaksanakan. Tabik.
Penulis adalah aktivis, tinggal di Jakarta