Saat Gladiator Cinta Lebih Dipercaya Daripada Gladiator Politik Sejati
Oleh: WA Wicaksono, Storyteller, Analis Pencitraan dan Iklan
Kalau dahulu yang kita idam-idamkan jadi pemimpin adalah sosok cerdas nan berintegritas, sekarang kita seperti sedang menikmati era “klik dan senyum” di mana, alih-alih CV dan prestasi, yang dilihat justru konten dan gimmick. Masuklah kita pada era yang lebih “FYP” (For You Page) daripada FYI (For Your Information). Dan siapa lagi yang jadi episentrum dari tren ini kalau bukan Vicky Prasetyo? Seorang mantan “gladiator cinta,” kini mengincar kursi bupati Pemalang, seolah jadi ikon zaman di mana pengaruh selebriti memupuskan apa yang disebut “kapabilitas politik.”
Namun, apakah kita di sini hendak menertawakan? Oh, tidak perlu. Mungkin ini saatnya kita bercermin, menyadari bahwa fenomena semacam ini bukan sekadar kecelakaan sejarah, melainkan refleksi tren sosial kita: makin banyak masyarakat meragukan akademisi tapi berbondong-bondong menaruh kepercayaan pada ucapan selebriti. Seperti ironi yang sempurna, pendidikan formal seakan terdegradasi, tenggelam oleh algoritma dan endorse. Kenapa harus memeras otak di bangku sekolah jika yang penting adalah viral?
Tak bisa dipungkiri, kemenangan sosok seperti Komeng dalam Pemilu 2024 lalu membuka jalan bagi gagasan bahwa menjadi “populer” cukup untuk bertahan di panggung politik. Selebriti tiba-tiba mendapat pembenaran, seakan kesederhanaan ala “komedi politik” jauh lebih merakyat ketimbang orasi berapi-api yang kerap kehilangan pijakan pada realita. Bayangkan, rakyat yang dulunya mencari calon yang visioner, sekarang cukup puas dengan konten calon yang sekadar “relatable.”
Apakah ini artinya, pada titik tertentu, masyarakat kita mulai “membosankan” soal seriusnya politik? Mungkin iya. Vicky Prasetyo adalah prototipe dari generasi bupati masa kini yang datang dengan kontroversi, latar belakang “eksperimen cinta,” dan narasi pribadi yang kadang lebih mirip sinetron daripada kebijakan. Namun justru di situlah daya tariknya. Ia mewakili kontradiksi masyarakat: kecewa pada korupsi pejabat, namun enggan peduli pada track record calon baru asalkan viral dan menghibur.
Lalu, apakah rakyat Pemalang siap untuk pemimpin dengan “segudang beban”? Apakah mereka menganggap drama masa lalu Vicky sebagai bagian dari intrik politik yang menarik? Ataukah ini hanya hiburan sementara sampai datangnya periode berikut, di mana pemimpin baru tampil layaknya program reality show lain, hanya beda musim?
Fenomena ini adalah paradoks demokrasi kita sendiri. Di satu sisi, ada harapan perubahan. Di sisi lain, ada penolakan pada upaya serius untuk memilih pemimpin yang kompeten. Bukankah semua ini seperti menertawakan harapan kita sendiri? Inilah era politik “selebgram,” di mana siapa yang lebih banyak disukai atau dishare justru lebih cepat dapat panggung, tak peduli apakah mereka tahu atau tidak cara membangun sebuah kabupaten.
Pada akhirnya, kita bisa bersandar pada satu pertanyaan sederhana: Apakah politik kita butuh lebih banyak “gladiator cinta” atau lebih banyak gladiator sejati yang benar-benar paham caranya memimpin?