Presiden “Partai” dan Mantan Panglima Gagal Jadi Gubernur

CATATAN AENDRA MEDITAAnalis & Strategi, Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI)

DALAM Pemilihan kepala daerah (PILKADA) di Indonesia total daerah yang melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak 2024 ada sebanyak 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.

Yang menarik ada satu yang kami lihat  “Presiden Partai” dan manta Panglima TNI, dan ini jika lihat data informasi saat ini keduanya Gagal Jadi Gubernur. Sebenarnya ini menunjukkan ironi dan masuk kritik terhadap dinamika politik di Indonesia.

Kami PKKPI menilai inilah lemahnya Komunikasi Politik di saat ini.  Kami  menggarisbawahi bagaimana figur dengan posisi tinggi, seperti pemimpin partai besar atau mantan panglima militer, tidak lolos dan menang atau berhasil dalam mencapai jabatan politik lainnya, sekelas  gubernur.

Ada fenomena ini terjadi  nyata karena berbagai faktor, misalnya karena Popularitas tidak cukup secara komunikasi politik lemah. Posisi tinggi ternya tidak menjamin kedekatan dengan rakyat. Karena dalam Pemilu kepala daerah nampaknya membutuhkan koneksi langsung dengan masyarakat dan dikenal tentunya. Atau kurangnya tampil, atawa narsis dan juga ada yang endorse berlebih. Terutama yang masih ingin cawe-cawe.

Lemahnya kampanye dan strategi politik.  Hal ini karena tidak semua tokoh memiliki strategi atau tim yang tepat untuk memenangkan pemilihan itu. dan  yang intinya kepercayaan publik itu awalnya jabatan tinggi tidak selalu mencerminkan kompetensi untuk memimpin daerah. Sementara persaingan lokal jadi kandidat sering menghadapi lawan yang lebih dikenal dan diterima oleh masyarakat sekitarnya.

Ada faktor politik lain dan koalisi juga berpengaruh. Karena tidak semua partai atau elemen politik mendukung tokoh tertentu, bahkan jika ia memiliki nama besar cenderung belum mau menyelami ke bawah secara total.

Dari sebuah data ini analisa yang terjadi memang ironi seperti ini mencerminkan kompleksitas demokrasi di Indonesia, di mana jabatan tidak otomatis berujung pada dominasi politik di semua level.

TURUN GUNUNG

Ungkapan “harusnya jangan turun gunung” sering digunakan untuk menyarankan bahwa figur-figur besar atau berpengaruh, seperti pemimpin partai atau mantan panglima, sebaiknya tidak ikut dalam kontestasi politik yang dianggap “di bawah level” mereka. Ada beberapa alasan mengapa pandangan ini muncul kepermukaan. Satu: Menjaga Wibawa: Tokoh besar yang kalah dalam kontestasi lokal bisa bahkan “dapat” kehilangan reputasi dan wibawa mereka di mata publik.

Dua: Harusnya mereka sudah punya jabatan level tinggi fokus pada peran strategis: Figur seperti presiden partai atau mantan panglima dianggap lebih cocok mengawal agenda besar atau nasional daripada terlibat dalam urusan daerah. Bangun kekuatan yang lebih kuat.

Tiga: Risiko Politisasi saat figur besar ikut kontestasi lokal, sering kali muncul persepsi bahwa langkah tersebut lebih berorientasi pada kepentingan politik pribadi atau kelompok daripada kepentingan rakyat.

Jadi baiknya mereka yang ingin tampil harusnya memberi ruang kepada generasi baru,  Posisi daerah seharusnya menjadi peluang bagi pemimpin muda untuk muncul, bukan diambil alih oleh tokoh senior yang sudah punya nama besar. Apalagi sudah pucuk pimpinan.

Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa “turun gunung” bisa menjadi bukti bahwa tokoh besar ingin dekat dengan rakyat dan memahami dinamika di akar rumput. Tapi jelas, langkah ini berisiko tinggi, terutama jika tidak dibarengi dengan strategi yang matang dan dukungan lokal yang kuat.

Fenomena tokoh besar “turun gunung” dan kemudian gagal dalam kontestasi politik bisa dilihat sebagai akibat dari berbagai dinamika yang merusak demokrasi, serta menurunkan nilai-nilai luhur, seperti harga diri dan etika politik.

Majunya mereka yang masih rindu tampil dan mau jabatan ada terus sebenatnya hilangnya esensi kompetisi sehat. Ketika tokoh besar turun ke panggung politik daerah, sering kali mereka memanfaatkan kekuasaan, jaringan, atau pengaruh untuk “memaksakan” pencalonan. Hal ini  sebenarnya merusak semangat kompetisi sehat, di mana seharusnya rakyat memiliki pilihan dari kandidat yang memang memahami kebutuhan lokal.

Hal ini juga bisa jadi penurunan harga diri dan nilai moral.  Figur besar yang seharusnya dihormati pada level nasional, jika turun dan kalah di level daerah, sering dianggap menurunkan harga diri mereka sendiri. Kekalahan mereka dapat dilihat sebagai pengabaian terhadap nilai-nilai moral dan kehormatan jabatan. Sayang kan…?

Demokrasi Tidak Substantif

Ketika kekuasaan dipaksakan dari atas, proses demokrasi menjadi formalitas belaka. Pemilu hanya menjadi ajang pertarungan uang, popularitas, atau kekuatan elit, bukan sarana mencari pemimpin daerah yang terbaik untuk rakyat. Hal ini juga akan mengerus ketidakpercayaan rakyat terhadap sistem. Gagalnya tokoh besar setelah “turun gunung” sering menunjukkan adanya disconnect antara elit dan rakyat. Ini memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi, karena terlihat bahwa kekuasaan tidak lagi berpihak pada kepentingan umum.

Hendaknya Politik harus punya Kehormatan jangan digeser oleh Ambisi Pribadi, Sebelumnya jabatan yang dipegang secara karier misalnya begitu kuat marwahnya. Tapi saat politik dianggap sebagai arena kehormatan, tempat pemimpin melayani dan memberikan contoh moral. Ketika ambisi pribadi sering kali menggeser nilai luhur ini, menjadikan politik sebagai sekadar jalan untuk mempertahankan atau memperluas kekuasaan, inilah yang jadi absurd.

Kesimpulan

Jadi ini di Indonesia demokrasi yang sehat memerlukan integritas, penghormatan terhadap harga diri, dan semangat melayani, bukan sekadar kompetisi untuk jabatan. Jika nilai-nilai ini terus diabaikan, maka demokrasi yang kita miliki hanya akan menjadi ilusi, sementara kepercayaan rakyat terhadap pemimpin dan sistem terus merosot.

Jika, melihat dinamika politik yang terkesan lebih mengutamakan ambisi pribadi dan kekuasaan daripada martabat dan nilai luhur bangsa bisa sangat menyedihkan. Dalam konteks ini, nilai-nilai seperti kejujuran, pengabdian untuk rakyat, dan rasa tanggung jawab yang tinggi seolah mulai terpinggirkan.

Ketika pemimpin atau tokoh politik tidak lagi menempatkan martabat bangsa di atas segala-galanya, dan lebih fokus pada keuntungan pribadi atau kelompok, hal ini bisa menciptakan perasaan frustrasi dan kehilangan arah bagi banyak orang. Rakyat yang seharusnya menjadi pusat perhatian justru sering kali terabaikan dalam permainan politik yang tidak mengedepankan kesejahteraan bersama. Meskipun tantangan ini ada, masih banyak orang di dalam bangsa ini yang tetap memegang teguh nilai-nilai luhur dan berjuang untuk perubahan positif.

Perjuangan untuk menjaga martabat dan integritas bangsa bukanlah hal yang mudah, tetapi penting untuk diingat bahwa harapan akan masa depan yang lebih baik tetap bisa tumbuh melalui upaya kolektif yang melibatkan semua pihak. Tabik…!!!

KEBAGUSAN, JAKARTA SELATAN, 29/11/24