CATATAN AENDRA MEDITA, Analis & Strategi, Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI)
POLITIK dinasti di Provinsi Banten rontok. Awalnya Politik dinasti telah menjadi isu yang cukup lama mendominasi narasi politik di wilayah tersebut. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, dinasti politik yang kuat di Banten mulai menghadapi tantangan serius, apalagi saat Pilkada kini sudah –bahkan cenderung– melemah.
Fenomena ini terjadi akibat kombinasi beberapa faktor, Kesadaran Publik yang Meningkat. Masyarakat semakin kritis terhadap praktik politik dinasti, yang dianggap menghambat meritokrasi dan mengekalkan kekuasaan pada segelintir keluarga. Media dan organisasi masyarakat sipil memainkan peran penting dalam membongkar praktik yang merugikan ini.
Adanya Kasus Hukum yang Menjerat Keluarga Dinasti. Sejumlah tokoh dalam dinasti politik Banten tersandung kasus korupsi besar, seperti yang menimpa Ratu Atut Chosiyah dan beberapa anggota keluarganya. Hal ini meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap keberlanjutan dinasti tersebut.
Munculnya Figur Alternatif. Figur-figur baru dari luar lingkaran dinasti mulai mendapatkan tempat dalam politik Banten. Mereka membawa narasi perubahan, anti-korupsi, dan tata kelola yang lebih baik. Dukungan Kebijakan Anti-Dinasti. Pemerintah pusat, melalui regulasi dan pengawasan KPK, ikut mendorong pemberantasan politik dinasti. Upaya ini menciptakan tantangan bagi keluarga dinasti untuk melanjutkan kekuasaan.
Partisipasi Generasi Muda
Generasi muda di Banten semakin aktif dalam politik dan memiliki pandangan yang lebih progresif. Mereka cenderung mendukung calon dengan rekam jejak dan program yang jelas daripada sekadar nama besar.
Keruntuhan politik dinasti di Banten menjadi contoh penting tentang bagaimana perubahan sosial dan politik dapat mengubah struktur kekuasaan lokal. Meski begitu, proses ini masih membutuhkan konsistensi dan komitmen dari berbagai pihak untuk memastikan demokrasi yang sehat di Banten.
Gagalnya Airin Rachmi Diany, mantan Wali Kota Tangerang Selatan dan bagian dari dinasti politik Ratu Atut Chosiyah, di beberapa kompetisi politik tingkat nasional dan provinsi dapat dilihat sebagai tanda melemahnya politik dinasti di Banten.
Kekalahan Airin mencerminkan meningkatnya kesadaran masyarakat akan dampak negatif politik dinasti, seperti nepotisme dan korupsi. Uten Sutendy Budayawan dan pengamat sosial pencinta Banten menyebut bahwa faktor lain yang membuat Airin kalah ialah strategi komunikasi. “Airin kurang didukung oleh tim komunikasi yang mumpuni. Isu-isu yang dimainkan cenderung mengambang, melebar, dan bias. Gak jelas apa yang mau diperjuangkan setelah terpilih. Gak ada fokus. Terkesan hanya mengandalkan jualan figur Airin sebagai perempuan cantik yang berprestasi,”jelas Uten.
Berbeda dengan Andrasoni pesaignya di Banten, memiliki strategi komunikasi yang jitu, fokus dan tepat sasaran. Minimal ada dua fokus isu yang terus menerus digelindingkan ke ruang publik: isu “Sekolah Gratis” dan isu “Tidak Korupsi”. Dua isu ini pas, langsung menohok ke inti masalah yang sedang dihadapi oleh sebagian besar warga Banten.
Mayoritas warga Banten hidup terlilit kemiskinan karena kualitas sumber daya manusia lemah akibat pendidikan rendah. Banyak anak-anak muda putus sekolah atau tidak bisa sekolah sama sekali. Mereka tak mempunyai biaya untuk sekolah. Maka pilihan isu “Sekolah Gratis” itu tepat sekali.
Anti Korupsi. Iniah juga tagline yang tepat dan laku sekali dijual. Isu “Tidak Korupsi” berkaitan dan berkorelasi dengan semangat dan agenda program Presiden Prabowo yang menghendaki tindakan korupsi di tanah air bisa diberantas sampai ke akar-akarnya.
Nah, dinasti Banten yang berada di belakang Airin tak bisa dipungkiri banyak disebut menjadi akar tindakan perbuatan korupsi di Banten sebagaimana tercatat dalam sejarah politik nasional mutakhir. Ratu Atut dan TB Chairi Wardhana (suami Airin), dan beberapa anggota keluarga pernah masuk jeruji karena kasus korupsi. Jejak digital tentang kasus korupsi dinasti tersebar di media sosial. Maka, tagline “Tidak Korupsi” menemukan korelasi yang begitu kuat untuk Banten. Belakangan, catatan korupsi dinasti menjadi isu paling hot di media sosial dan inilah yang kemudian dijadikan peluru tajam dan panas yang ditembakan tepat ke jantung pertahanan Airin.
“Publik kini lebih memilih pemimpin yang dianggap mampu berdasarkan kapasitas dan rekam jejak, bukan sekadar nama besar keluarga,”lanjut Uten.
Keluarga Ratu Atut Chosiyah, termasuk anak-anak dan kerabatnya, tersandung berbagai kasus korupsi. Hal ini menciptakan stigma negatif terhadap dinasti tersebut, yang pada akhirnya melemahkan dukungan politik untuk figur-figur seperti Airin.
Faktor politik lain yang membuat Airin kalah ialah salah membaca situasi dan masuk perangkap jebakan hasil survei di angka 77 persen yang terus menerus dirilis oleh tim Airin sendiri alih-alih untuk meyakinkan publik. Padahal itu hasil survei bulan Juli. Pihak KIM membiarkan semua itu berlangsung tanpa memberi respon bantahan atau sanggahan dengan survei tandingan. Berdasarkan info dari orang dalam Gerindra, sebetulnya sudah ada update hasil survey terbaru tapi sengaja tidak dipublis oleh tim Andrasoni.
Tujuannya, agar tim Airin terus ber-eforia seolah-olah Airin sudah pasti menang. Secara psikologi hal tersebut berefek kepada melemahnya kerja dan kinerja mesin politik Airin bahkan di detik detik akhir.
Sebuah pertanyaan yang disampaikan oleh banyak sekali warga Banten maupun orang luar, termasuk disampaikan oleh para pengamat, analis, tokoh masyarakat dan elite politik. Deny JA, seorang pengamat politik dan owner Lembaga Survey Indonesia (LSI) saat merilis hasil quik count Pilgub Banten terkaget kaget. Berdasarkan hasil quick count LSI Deny JA (27 November 2024), Airin ternyata hanya memperoleh 44,18 persen, kalah oleh Andrasoni yang memperoleh 55,82 persen. Kekalahan tersebut menurut Deny sebagai tsunami politik paling mengejutkan di Pilkada 2024 yang dilaksanakan serentak di tanah air.
Menurut Uten lagi bahwa bagaimana tidak mengagetkan. Sebelumnya, pada bulan Juli 2024, LSI merilis hasil surveinya, elektabilitas pasangan Airin-Ade Sumardi jauh melambung menembus angka 77 persen. Sementara pasangan Andrasoni-Dimyati hanya memperoleh 12 persen saja.
Nah, nampaknya kemunculan pemimpin baru dari Banten dengan narasi perubahan yang lebih segar dan program kerja konkret memberikan pilihan bagi masyarakat. Figur seperti Andrasoni menunjukkan bahwa politik Banten tidak lagi didominasi oleh satu keluarga dinasti itu. Maka keberhasilan reformasi tata kelola pemerintahan daerah di beberapa wilayah Banten turut menginspirasi masyarakat untuk memilih pemimpin yang lebih independen dari dinasti yang sudah ada
Lukungan partai politik terhadap Airin juga tidak sekuat sebelumnya, karena partai kini lebih berhati-hati dalam mendukung figur yang memiliki keterkaitan dengan dinasti politik kontroversial.
Simbol Kerontokan Dinasti
Gagalnya Airin menunjukkan bahwa masyarakat Banten mulai meninggalkan pola politik lama yang dikuasai keluarga tertentu. Meski dinasti politik belum sepenuhnya hilang, tren ini menandakan bahwa Banten sedang bergerak menuju demokrasi yang lebih sehat, dengan penekanan pada kompetensi dan akuntabilitas pemimpin.
Namun, penting untuk diingat bahwa politik dinasti tidak hanya runtuh karena satu kegagalan, tetapi membutuhkan perubahan sistemik dan komitmen jangka panjang dari berbagai pihak. Maka jika ada yang akan membuat dinasti baru harusnya berpikir dua kali malah nanti terjerambab, atau berdepak dengan makin tersingkirkan dan makin bikin kacau bangsa ini yang masuk dalam tatanan demokrasi yang baik. Dinasti itu selesai sudah, jangan main-mainah. Tabik…!!!