Polemik Peyoratif Diksi “Rakyat Jelata” oleh Jubir Presiden
Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, storyteller, analis iklan dan pencitraan
Usai jadi sorotan karena jor-joran melantik 50 pejabat dan tenaga profesional, 3 deputi, serta 6 tenaga ahli utama yang ditugaskan menjadi juru bicara, Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO) kembali menuai hujatan warganet.
Hujatan itu bermula dari kisruh yang mencuat atas ucapan salah seorang juru bicara Kepresidenan, Adita Irawati, terkait istilah “rakyat jelata” yang membuka babak baru dalam polemik linguistik kontemporer di Indonesia. Awalnya pernyataan itu muncul sebagai tanggapan atas kontroversi polemic Gus Miftah yang menghina penjual es teh. Alih-alih mendinginkan suasana, ucapan tersebut justru memancing gelombang kritik dari netizen yang menilai frasa tersebut merendahkan rakyat kecil. Walau Adita segera mengklarifikasi bahwa rakyat jelata bermakna netral dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), publik tampaknya tidak puas. Apakah ini salah pilih kata, atau justru salah tafsir masyarakat?
Degradasi Makna: Dari Netral ke Negatif
Sejatinya, memang diksi “rakyat jelata” dalam akar bahasanya hanya berarti “rakyat biasa.” Diksi “jelata” berasal dari bahasa Jawa yang bermakna “umum” atau “biasa,” tanpa embel-embel penghinaan. Namun seiring perkembangan zaman, makna netral ini perlahan bergeser seiring perjalanan waktu. Tak perlu debat panjang lebar, dalam penggunaannya kini, rakyat jelata sering kali dipersepsikan sebagai istilah peyoratif yang menempatkan rakyat dalam posisi hierarki sosial terendah—”orang kecil” atau “kaum rendahan.”
Fenomena ini adalah salah satu kasus degradasi makna, di mana sebuah istilah yang awalnya netral bisa berubah menjadi lebih buruk karena berbagai faktor seperti:
Pertama faktor Warisan Sosial Feodal. Dalam masyarakat feodal, penggolongan sosial kerap digunakan untuk membedakan “kaum atas” dan “kaum bawah.” Istilah jelata menjadi penanda kelompok yang dianggap subordinat.
Kedua faktor Budaya Populer. Tak bisa dipungkri, selama ini banyak narasi dalam media, film, atau cerita rakyat sering menggambarkan rakyat jelata sebagai pihak yang lemah, miskin, atau tertindas.
Terkahir karena factor Pengaruh Modern. Dalam konteks demokrasi dan kesetaraan, frasa seperti rakyat jelata terdengar tidak relevan dan berlawanan dengan semangat egalitarianisme.
Sepertinya sang jubir yang notabene salah eorang tenaga ahli Utama di PCO ini abai mengadaptasi perkembangan Bahasa dalam komunikasi yang dilakukannya. Padahal jika dicermati sebenarnya kasus peyoratif seperti “rakyat jelata” tersebut banyak kasus serupa yang perlu diperhatikan dalam bahasa Indonesia. Bahkan polemik seperti ini bukan yang pertama terjadi,yang sudah semestinya menjadi perhatian seorang jubir.
Berikut beberapa contoh kata dalam bahasa Indonesia yang mengalami degradasi makna. Misalnya diksi “kaum dhuafa”. Diksi ini memiliki makna asli orang yang lemah atau membutuhkan. Namun dalam perkembangannya memiliki makna baru
peyoratif yang identik dengan makna “orang miskin” atau mereka yang bergantung pada bantuan dan memperkuat stigma ketergantungan.
Ada juga diksi “babu” yang sebenarnya berasal dari bahasa Jawa, dengan makna “pelayan”. Namun dalam perkembangannya cenderung diartikan dalam makna baru sebagai istilah yang merendahkan atau menghina seseorang karena status pekerjaannya.
Pun dengan diksi “pribumi”. Diksi ini memiliki makna asli yaitu penduduk asli suatu wilayah. Namun kini cenderung diasosiasikan sebagai makna baru sebagai istilah dengan konotasi diskriminatif dan bahkan sering digunakan dalam wacana rasial.
Dimensi Sosial dan Bahasa dalam Polemik
Kasus diksi “rakyat jelata” yang dilontarkan jubir presiden ini mencerminkan ketegangan antara bahasa formal dan realitas sosiolinguistik yang terjadi. Sang jubir tak salah namun ceroboh. KBBI sebagai rujukan formal mungkin menyebut makna rakyat jelata sebagai netral, tetapi persepsi masyarakat notabene adalah hasil dari pengalaman kolektif yang mengakar. Dengan kata lain, sang jubir harus menyadari bahwa bahasa tidak hidup dalam kamus misalnya KBBI saja, tetapi dalam masyarakat.
Polemik ini juga menunjukkan bahwa dalam kepakarannya, pejabat publik perlu memahami bukan hanya arti leksikal semata, tetapi juga konotasi dan sejarah penggunaan istilah yang akan dilontarkan atau diucapkannya. Harus disadari bahwa dalam era digital sekarang, di mana publik begitu kritis dan responsif, maka kesalahan kecil dalam diksi dapat berkembang menjadi badai opini yang memporakporandakan citra positif yang dimiliki.
Pelajaran untuk Komunikasi Publik
Ke depan, untuk menghindari polemik serupa di masa-masa yang akan datang, Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO) yang notabene memiliki staf yang begitu gemuk semestinya memperhatikan beberapa rekomendasi berikut:
Pertama perhatikan Literasi Makna. Pejabat publik perlu memahami tidak hanya arti kata, tetapi juga nuansa sosialnya. Kedua selalu pertimbangkan Pemilihan Kata Alternatif. Misalnya daripada memilih diksi “rakyat jelata” sebaiknya gunakan istilah seperti masyarakat umum atau rakyat biasa yang lebih netral dan inklusif. Ketiga lakukan Edukasi Publik. Adalah penting bagi PCO untuk mengedukasi masyarakat tentang makna asli dan perubahan istilah tertentu agar persepsi tidak semata-mata negative, meskipun ini sepertinya agak sulit dilakukan.
Pelajaran dari mencuatnya polemic diksi “rakyat jelata” oleh jubir Presiden ini semestinya mengingatkan kita pada kekuatan bahasa sebagai alat komunikasi sekaligus sumber konflik. Degradasi makna adalah cerminan dinamika sosial yang tidak bisa diabaikan dalam komunikasi publik. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang semakin kritis dan majemuk Apalagi di era disrupsi media yang menjadikan kesalahan-kesalahan kecil cepat viral dan tersebar, maka penggunaan bahasa yang cerdas, sensitif, dan inklusif adalah sebuah keharusan. Tabik. []