Ternyata Agama Majusi Persia Kuno Masih Hidup, dan Ada Pemeluknya
Oleh : Buni Yani
Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba muncul video di akun Youtube saya yang menampilkan ibadah penganut agama Majusi di Singapura. Kelihatannya algoritma Youtube menghubungkan saya dengan video terakhir ini setelah membaca histori video-video yang saya tonton sebelumnya. Melihat video ini melintas, saya langsung menontonnya karena penasaran.
Saya memang berlangganan sejumlah kanal berita dan dokumenter yang sangat bermanfaat untuk kepentingan studi sejarah, politik, ekonomi, dan banyak bidang lainnya. Kemunculan video ini membuat saya sangat terkejut karena melawan pemahaman saya dan banyak orang selama ini mengenai agama Majusi kuno.
Kini agama Majusi dipercayai memiliki sekitar 100 ribu hingga 200 ribu pengikut di seluruh dunia. Konsentrasi terbesar ada di India, Iran, dan Amerika.
Agama Majusi bagi umat Islam bukanlah agama yang asing karena disebutkan baik dalam al-Qur’an maupun Hadits Nabi. Pada Surah al-Hajj (22) ayat 17 Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabi`in, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi, dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menjadi saksi atas segala sesuatu.”
Sedangkan dalam Hadits, Nabi Besar Muhammad SAW bersabda: “Tidaklah setiap anak kecuali dia dilahirkan di atas fitrah, maka bapak ibunyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana halnya hewan ternak yang dilahirkan, ia dilahirkan dalam keadaan sehat. Apakah engkau lihat hewan itu terputus telinganya?” (HR Bukhari dan Muslim).
Waktu saya kecil di Lombok, bapak saya yang orang awam sering menyinggung soal kaum Majusi ini dalam obrolan keluarga. Saya yakin almarhum bapak mendapatkan informasi dari guru mengajinya, dan saya yakin pula guru mengajinya mendapatkan informasi yang sama dari gurunya atau langsung membaca dari al-Qur’an atau Hadits.
Orang Islam pada umumnya melihat pemeluk agama Majusi – yang di Barat dikenal sebagai Zoroastrianisme – adalah penyembah api. Tetapi penganut Majusi di Singapura yang saya tonton di video itu membantah pendapat ini. Kata dia, orang Majusi menyembah Tuhan yang esa bernama Ahura Mazda.
Saya mencoba mencari tahu mengenai klaim penganut Majusi di Singapura itu. Ternyata memang betul. Dari berbagai sumber di internet disebutkan bahwa agama Majusi atau Zoroastrianisme mengaku sebagai agama monoteistik (tauhid) pertama di dunia, mendahului monotesime Yahudi dan Islam. Agama Majusi memang sudah berumur 3500 tahun, yang lahir sekitar tahun 1500 sebelum Masehi, bertepatan dengan kekuasaan Korus (Cyrus) yang Agung di zaman Persia kuno.
Berbeda dengan pemahaman orang kebanyakan bahwa agama Majusi adalah penyembah api, penganut agama Majusi modern mengatakan bahwa yang mereka sembah adalah Ahura Mazda yang disimbolkan dengan api. Api, atau “atar” di dalam bahasa agama Majusi, adalah simbol kemurnian, cahaya dan kehadiran Tuhan.
Kuil Zoroaster di Yazd, Iran yang dikenal sebagai kuil api mempunyai bejana api yang terus menyala selama 24 jam sehari dan tujuh hari selama sepekan. Dikenal dalam Bahasa Parsi sebagai Ātaškade-ye Yazd yang berarti Kuil Api Yazd, tempat ibadah ini dipercayai telah menyimpan api di dalam bejana pemujaan itu sejak tahun 470 Masehi, atau sudah lebih 1550 tahun tanpa mati sedetik pun. Karena suci dan istimewanya api simbol Ahura Mazda ini, maka kuil ini juga dikenal sebagai Ātaš-e Bahrām-e Yazd atau Api Kemenangan Yazd.
Api suci ini dijaga oleh seorang pendeta yang disebut Hirbod secara bergantian. Untuk mempertahankan api di dalam bejana terus menyala, sang pendeta memasukkan kayu kering beberapa kali dalam sehari yang kebanyakan diambil dari pohon aprikot dan almond. Pendeta yang bertugas wajib mengenakan penutup muka agar tidak mengotori api suci yang dijaganya. Tidak cuma itu, sambil menjaga api, si pendeta juga melakukan ritual keagamaan Majusi. Ini tak lain untuk memuliakan dan mensakralkan api di dalam bejana yang merupakan wujud dari Ahura Mazda.
Harus diingat bahwa tidak semua orang bisa menjaga api dan memasukkan kayu ke dalam bejana yang terbuat dari perunggu itu kalau bukan seorang Hirbod!
Pengunjung kuil tidak diperbolehkan mendekat ke bejana api. Bejana api dipagari menggunakan kaca yang membuat pengunjung hanya bisa melihat api dari balik kaca. Aturan ini tidaklah mengherankan karena kuil api Yazd adalah kuil api satu-satunya yang ada di Iran dan apinya dipercayai sebagai api suci dengan kualitas terbaik. Bejana api diletakkan di tengah ruangan, tidak kena sinar matahari, dan letaknya ditinggikan dari permukaan lantai.
Yang menarik, kuil api Yazd baru dibangun pada tahun 1934 tetapi api di dalam bejana dipercayai sudah berumur lebih dari 1550 tahun. Bagaimana penjelasannya?
Dipercayai oleh penganut agama Majusi bahwa api berasal dari kuil api Pars Karyan pada zaman Syah Sassania Iran yang kemudian dibawa ke Aqda, dan bermukim di sana selama 700 tahun. Dari Aqda api dipindahkan pada tahun 1173 ke kuil Nahid-e Pars di sekitar daerah Ardakan, dan berada di sana selama 300 tahun. Api dari Ardakan dipindah kembali ke rumah seorang pendeta Majusi di Yazd sebelum akhirnya menempati tempat sekarang ini di kuil api Yazd.
Patung seukuran dada Maneckji Limji Hataria, orang yang sangat berjasa mengumpulkan dana untuk pembangunan kuil ini pada tahun 1934 diletakkan di sekitar kuil. Pada patung ditemukan simbol ilahiah agama Majusi berupa matahari dan bulan. Kuil api Yazd dibuka untuk turis dan pemeluk bukan Majusi pada tahun 1960-an.
Kuil api Yazd di Iran adalah salah satu dari sembilan kuil api agama Majusi yang disucikan, sedangkan delapan sisa lainnya berada di India. Fakta terakhir ini sangat menarik, mengapa kuil api kebanyakan ada di India dan bukan di Iran modern? Menurut catatan sejarah, setelah Islam masuk Iran pada abad ke-7, para pemeluk Majusi yang tidak mau pindah agama menyingkir ke pedalaman dan terpencil Iran atau bermigrasi ke India.
Ada yang berpendapat bahwa pemujaan terhadap api ini bermula dari kebiasaan primitif di padang rumput Asia Tengah untuk mempertahankan api tetap menyala di waktu musim dingin atau musim salju. Tujuannya tidak lain yaitu untuk menghangatkan tubuh. Karena bila tidak ada api, maka sudah pasti mereka tidak akan bisa bertahan melawan suhu dingin yang mematikan. Biasanya pendapat seperti ini dikeluarkan oleh sarjana modern yang hanya percaya pada ilmu yang punya basis data dan fakta.
Seiring berjalannya waktu, kebiasaan primitif ini dilanjutkan oleh bangsa Persia kuno dan menganggap api mempunyai zat ketuhanan yang suci dan mempunyai kekuatan. Mereka mulai menyebut api sebagai Atas Yazata (Tuhan Api). Mereka memberikan sesajian kepada api dengan harapan timbal balik api memberikan pertolongan yang terus-menerus kepada mereka.
Pertanyaan penting setelah melihat fakta-fakta ini adalah, apakah bantahan para penganut agama Majusi di zaman modern ini punya dasar historis dan teologis, atau sebetulnya tidak lebih dari usaha pemeluknya untuk melakukan revisi ajaran agama mereka agar sesuai dengan semangat zaman monoteisme kita sekarang? Pertanyaan ini kita titip ke para ahli agar mereka bisa memberikan jawaban sesuai dengan temuan ilmiah mereka.
Di Barat, nama Zoroaster dikenal di antaranya melalui karya seorang filolog ateis anti Tuhan bernama Friedrich Nietzsche. Sarjana berkebangsaan Jerman ini menulis empat volume buku selama dua tahun mulai 1883 hingga 1885 berjudul Also Sprach Zarathustra: Ein Buch für Alle und Keinen (Demikianlah Sabda Zarathustra: Buku untuk Semua dan Bukan Siapa pun). Nietzsche dikenal luas dengan ungkapan “Got is tot” (Tuhan sudah mati) yang menyebabkannya dikenal sebagai filsuf ateis anti Tuhan.
Buku filsafat ini ditulis dalam bentuk fiksi yang tokoh utamanya adalah Zarathustra atau Zoroaster. Isinya mencakup berbagai macam tema, di antaranya, hasrat akan kekuasaan (will to power), übermensch (manusia super), pengulangan abadi, kritik atas agama, kematian Tuhan, dan nihilisme. Pada tiap-tiap tema atau bagian yang dibahas, pada bagian akhirnya ditutup dengan kalimat “Demikianlah sabda Zarathustra” – yang kemudian dijadikan judul buku.
Di tanah air, sebagian kecil nukilan buku ini pernah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan dimuat di majalah sastra Horison. Seingat saya itu terjadi pada awal tahun 1990-an. Saya ingat betul waktu itu saya berulang-ulang membaca terjemahan Also Sprach Zarathustra. Bagaimana tidak, karena nama Nietzsche sangatlah populer di Indonesia setelah dibahas di banyak buku filsafat dan sastra. Namun sebelum itu, yaitu di tahun 1970-an, HB Jassin juga pernah menerjemahkan sebagian isi dari karya ini lalu dijadikan buku.
Buku Nietzsche adalah karya fiksi yang tokoh utamanya adalah Zarathustra yang berbicara mengenai berbagai macam hal, bukan buku yang berbicara secara khusus mengenai agama Majusi. Kelihatannya pengaruh ilmu filologi yang ditekuninya, yang membawanya ke naskah-naskah kuno, inilah faktor yang menginspirasi Nietzsche meminjam tokoh protagonis dari zaman Persia kuno itu.
Bagi seorang Muslim, agama Majusi jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam bila membaca dua Hadits berikut ini. Pertama, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Qadariyah adalah Majusinya umat ini. Jika mereka sakit jangan jenguk mereka. Jika mereka mati jangan hadiri pemakaman mereka” (HR Abu Dawud). Kedua, Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, “Cukur kumis, dan panjangkan jenggot, karena yang demikian merupakan sikap permusuhan terhadap penyembah api (Majusi)” (Hadits Sahih Muslim).
Berdasarkan dua Hadits ini, sangat susah bagi orang Islam untuk bisa menerima bahwa agama Majusi adalah agama monoteisme, lebih-lebih untuk mengamini pendapat bahwa Zoroaster adalah seorang nabi. Karena sumber informasi paling valid dalam agama Islam adalah al-Qur’an dan Hadits.
Jadi, usaha para pemeluk agama Majusi sekarang ini dalam membantah bahwa mereka bukan penyembah api tetapi mereka adalah penyembah Tuhan yang satu sangatlah meragukan ditinjau dari perspektif agama Islam. Bila ini benar, maka memang kelihatannya sudah terjadi perubahan besar dalam ajaran agama Majusi. Yaitu transformasi dari ajaran agama Majusi kuno yang menyembah api ke ajaran Majusi modern yang menyembah Tuhan yang esa bernama Ahura Mazda.
Fakta ini bisa menjadi data bagi para peneliti kebudayaan untuk menimbang secara cermat otentisitas pengakuan para pemeluk agama Majusi modern. Semoga topik penelitian ini menarik minat para sarjana dari berbagai macam bidang.
Buni Yani