Realitas Baru Timur Tengah

Smith Alhadar
Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)

PADA 27 November, sehari setelah tercapai gencatan senjata Israel-Hizbullah, kelompok-kelompok pemberontak Suriah pimpinan Hay’at Tahrir al-Syam (HTS), organisasi yang dulu berafiliasi dengan Al-Qaeda, melancarkan serangan kilat ke kota-kota penting Suriah.

Setelah menduduki Aleppo, Hama, dan Homs, pada 8 Desember dini hari, mereka menguasai ibu kota Damaskus. Presiden Bashar al-Assad telah meninggalkan ibu kota sebelum para pemberontak itu tiba. Pemberontak memanfaatkan melemahnya rezim Suriah setelah Rusia, Iran, dan Hizbullah, pendukung utama rezim, menarik sebagian besar kekuatan militer mereka dari negara tersebut untuk menghadapi perang Ukraina, perang Israel-Hizbullah, dan persiapan Iran menghadapi Israel.

Kendati pemberontak dan rakyat Suriah merayakan kemenangan, sangat mungkin peristiwa itu akan menimbulkan perang saudara baru di Suriah–karena faksi-faksi pemberontak memiliki ideologi dan agenda sendiri-sendiri–memperumit krisis Timur Tengah, dan karena Suriah, yang belum berdamai dengan Israel, tak bisa dipisahkan dari krisis Timteng saat ini, yang melibatkan banyak negara dengan kepentingan berbeda-beda.

Diduga ada tangan AS, Ukraina, Israel dan Turki dalam serangan hebat kubu pemberontak. Turbulensi di Suriah akan memunculkan kekerasan baru. Para petinggi militer rezim, komunitas Alawiyah yang mendukung rezim, personel Hizbullah, dan pasukan Iran yang tersisa di sana bisa jadi sasaran pembunuhan.

Bagi Ukraina dan AS, pengaktifan kembali militer Rusia di Suriah akan menyedot kekuatannya di palagan Ukraina. Saat ini AS punya 900 personel militer di Suriah Timur. Ketika para pemberontak mulai menyerbu Aleppo, AS menyerang militer rezim di Deir As-Zour di timur Suriah dengan dalih ada ancaman dari pemerintah.

Militer AS itu merupakan sisa pasukan yang masuk ke Suriah pada 2014 guna memerangi Islamic State (IS) melalui Pasukan Demokratik Suriah (SDF)–didominasi warga Kurdi yang kini menguasai wilayah utara dan timur laut Suriah–yang dibentuk, dilatih, dan dipersenjatai AS.

IS telah dikalahkan sejak 2017, tetapi AS mempertahankan pasukannya di sana meskipun harus bertikai dengan Turki yang memandang SDF ialah cabang Partai Pekerja Kurdistan (PKK) Turki yang sejak 1984 mengangkat senjata melawan Ankara.

Kehadiran militer AS di Suriah ditengarai sebagai instrumen dalam memengaruhi proses penyelesaian perang saudara di sana yang mana warga Kurdi diharapkan mendapatkan otonomi di Suriah, sebagaimana AS melahirkan pemerintahan otonomi Kurdi di Irak. Dengan begitu, AS dan Israel punya pijakan (proksi) di Suriah, sebagaimana mereka juga punya proksi di Irak.

Itu terlihat dari pernyataan pemberontak Suriah bahwa mereka ingin membangun tetangga yang baik dengan Israel. Israel melihat eskalasi Suriah akan menggeser fokus Hizbullah dari Libanon ke Suriah sehingga ia lebih leluasa mengendalikan Libanon. Memang gencatan senjata Hizbullah-Israel berbasis Resolusi DK PBB 1701 telah dicapai yang mana Israel harus menarik tentaranya dari Libanon Selatan dan Hizbullah melucuti aset militer dan menarik anggota mereka hingga ke Sungai Litani di utara.

Kekosongan yang ditinggalkan pasukan Israel dan Hizbullah di Libanon Selatan akan diisi pasukan perdamaian PBB (UNIFIL) dan militer Libanon. Namun, Israel masih melancarkan serangan ke wilayah itu dengan dalih yang dicari-cari, bahwa Hizbollah masih melanggar perjanjian gencatan senjata.

Pelanggaran Israel bersumber dari gencatan senjata yang tidak berimbang, yang mana Israel diberikan ruang lebih besar untuk menyerang musuhnya berdasarkan interpretasinya sendiri, bahwa Hizbullah tak menaati gencatan senjata. Keleluasaan Israel makin luas karena AS memberi jaminan bahwa Israel berhak ikut menegakkan gencatan senjata. Kendati gencatan senjata mengindikasikan Israel tidak mencapai tujuan perangnya, yaitu menghancurkan Hizbullah, eskalasi di Suriah yang menguras kekuatan Hizbullah kian membebaskan Israel melakukan apa yang mereka kehendaki.

Bagi Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, keberadaan sekitar 3,5 juta pengungsi Suriah di negaranya kian menggerogoti legitimasinya karena publik Turki resah dengan pengungsi yang mengambil lapangan pekerjaan mereka. Erdogan juga ingin SDF dilenyapkan untuk mengamankan teritori Turki dari PKK.

Karena itu, Turki mensponsori kelahiran Tentara Nasional Suriah (SNA) yang, bersama HTS, ikut menyerang kota-kota Suriah. SNA ialah bagian dari oposisi yang terlibat perundingan dengan rezim Al-Assad di Astana, Kazakhstan, yang dimediasi Turki, Iran, dan Rusia.

Perundingan Format Astana
Perundingan Format Astana terhenti sejak 2020 seiring dengan gencatan senjata antara rezim Al-Assad dan kubu pemberontak. Sulitnya mencapai perdamaian lantaran Turki, AS, Eropa, dan Arab ingin adanya perubahan konstitusi Suriah yang mengakomodasi aspirasi oposisi berdasarkan Resolusi PBB 2254 guna melemahkan rezim otokrasi berideologi sosialis sekuler Arab di bawah Partai Ba’ats.

Serangan para pemberontak harus dilihat sebagai upaya Erdogan memaksa Al-Assad menghidupkan lagi Format Astana untuk memulai kembali perundingan saat posisi Turki menguat. Bila penyelesaian politik itu tercapai, pengungsi Suriah bisa segera dipulangkan.

Kini para pemberontak telah menaklukkan rezim Al-Assad. Apakah dengan demikian tujuan Turki akan tercapai? Belum tentu. Pasalnya, HTS, SNA, SDF, dan banyak faksi lainnya akan bertengkar sendiri soal pembagian kekuasaan dan bentuk negara pascarezim. HTS jelas ingin mendirikan negara Islam, SNA (proksi Turki) ingin negara sekuler, dan SDF hendak mendirikan negara Kurdi, paling tidak mendapatkan otonomi luas di sepertiga wilayah Suriah. Jelas tidak mudah mendamaikan mereka.

Harapan Erdogan, AS, dan Israel juga sulit diwujudkan karena Timteng sudah berubah. Sejak 2023, Liga Arab telah memulihkan keanggotaan Suriah dan berbalik mendukung rezim. Bangsa Arab juga telah berdamai dengan Iran menyusul normalisasi hubungan Arab Saudi dan Iran pada Februari 2023. Uni Eropa juga mempertimbangkan rekonsiliasi dengan Damaskus guna mendeportasi jutaan pengungsi Suriah dari kawasan mereka.

Hamas, yang pada 2012 memutuskan hubungan dengan rezim Al-Assad sebagai protes terhadap brutalitas rezim terhadap pemberontak, kini telah memulihkan hubungan dengannya. Di Libanon, yang sejak 2022 tidak memiliki presiden definitif, sedang bersiap memilih presiden. Calon terkuat ialah Sleman Frangieh, Ketua Partai Marada. Ia sahabat dekat Al-Assad.

Dus, semua itu menggambarkan posisi krusial Suriah dalam perpolitikan kawasan, termasuk isu Palestina. Tidak mungkin perdamaian Timteng bisa terwujud tanpa keikutsertaan Suriah di dalamnya. Memang sejak pecahperang Hamas-Israel pada 7 Oktober 2023, rezim Al-Assad terlihat pasif.

Bahkan, ia tidak merespons ratusan serangan Israel ke situs-situs militer Iran dan Hizbullah di Suriah. Itu untuk menjaga kontak-kontak diplomatik di belakang layar antara Israel dan Suriah guna menyelesaikan isu Dataran Tinggi Golan milik Suriah yang dicaplok Israel pada 1967. Israel menyadari tidak mungkin keinginannya untuk terintegrasi ke dalam Dunia Arab tanpa adanya perdamaian dengan Suriah. Padahal, posisi Israel saat ini cukup rentan akibat tidak dapat mengalahkan Hamas dan Hizbullah.

Di pihak lain, sikap bangsa Arab terhadap Israel telah berbalik 180 derajat. Brutalitas Israel terhadap warga Gaza dan operasi militer Israel di Tepi Barat menyadarkan bangsa Arab bahwa musuh sesungguhnya ialah Israel, bukan Iran. Sebelum peristiwa 7 Oktober, empat negara Arab (UEA, Bahrain, Maroko, dan Sudan) telah menormalisasi hubungan dengan Israel. Sekiranya tak terjadi brutalitas Israel di Gaza, Arab Saudi juga telah memulihkan hubungan dengan Israel.

Pada 1 Desember, Dewan Kerja Sama Teluk (GCC)–terdiri atas Arab Saudi, Oman, UEA, Qatar, Bahrain, dan Kuwait–menyerukan Israel segera menghentikan penindasannya terhadap Palestina dan mengecam keras kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan genosidanya.
Bangsa Arab juga menolak skenario Israel untuk Gaza pascaperang tanpa rencana yang masuk akal bagi berdirinya negara Palestina. Pada 4 Desember, Saudi dan Prancis sepakat mengetuai penyelenggarakan konferensi internasional untuk two-state solution setelah Presiden Perancis Immanuel Macron dan penguasa de fact Saudi Pangeran Mohammad bin Salman (MBS) bertemu di Riyadh.

Pada hari yang sama Majelis Umum PBB, didukung 157 negara, mengeluarkan resolusi yang mendesak Israel mundur dari seluruh wilayah pendudukan–Tepi Barat, Jerusalem Timur, dan Gaza–dan menyerukan pembentukan negara Palestina. Sepuluh negara menentang resolusi itu, termasuk AS dan Israel.

Pada Juli silam, dalam pemungutan suara di parlemen Israel (Knesset), mayoritas Israel menolak two-state solution. Namun, keduanya berdiri di sisi sejarah yang salah. Tidak mungkin air bah dukungan bagi negara Palestina bisa dibendung. Pada 2 Desember, Presiden terpilih AS Donald Trump mengeluarkan ancaman kepada Hamas dan sekutunya bahwa Timteng akan dijadikan neraka bila sandera Yahudi di Gaza belum dibebaskan ketika ia dilantik pada 20 Januari.

Namun, ancaman itu tidak berguna dan kontraproduktif bagi penyelesaian krisis di kawasan yang merupakan harapan Trump dengan politik America First-nya. Jalan paling masuk akal dan sejalan dengan kepentingan dan ‘nilai-nilai Amerika’ ialah memaksakan rezim Zionis Israel yang rasialis mengakhiri genosida di Gaza dan memulai perundingan bagi two-state solution di bawah pengawasan internasional.

Dunia harus bersatu
Untuk menciptakan perdamaian komprehensif di kawasan, AS juga harus memadamkan api di Suriah. Untuk itu, harus ada kerja sama dengan Liga Arab dan negara-negara besar yang hari ini ketakutan disebabkan HTS ialah kekuatan dominan dalam faksi-faksi pemberontak.

AS dan Israel juga pasti tidak menginginkan Suriah diperintah Abu Mohammad al-Julani, pemimpin HTS yang pernah juga berkolaborasi dengan IS. Al-Julani mengatakan HTS tidak lagi memeluk ideologi transnasional semacam IS dan menekankan pada nasionalisme Suriah dengan menghormati semua kelompok minoritas.
Namun, itu hanya taktik agar legitimasinya didukung dunia internasional. Dus, dunia harus bersatu dalam mengantisipasi kemungkinan perang saudara baru di Suriah, yang akan mendestabilisasi lebih jauh Timteng yang volatil.