PENDAPAT AHLI EKONOMI TERHADAP
UU TABUNGAN PERUMAHAN RAKYAT
Memaksa Seseorang Melakukan Hal yang Tidak Diinginkan Merupakan Pelanggaran HAM Berat
Kewajiban Menabung Melanggar Konstitusi dan HAM serta Prinsip Dasar Ekonomi
Anthony Budiawan
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Manusia Diciptakan Setara, Bebas dan Independen
Setiap manusia mempunyai hak alamiah (natural rights), hak kodrati, hak yang diberikan Tuhan, yang tidak dapat dicabut oleh siapapun. Hak kodrati yang melekat pada manusia menjadi dasar rujukan bagi perlindungan hak-hak asasi manusia di dunia.
“All men are created equal, free and independent, and had equal natural rights”
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didirikan pada Oktober 1945 setelah usai perang dunia kedua secara eksplisit mengakui hak asasi manusia, dan menyerukan semua negara anggota PPB wajib menghargai dan memberi perlindungan terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia yang dituangkan di dalam Universal Declaration Human Rights (UDHR) pada Desember 1948. Hanya tiga tahun berselang setelah pendiriannya. UDHR terdiri dari 30 pasal yang memuat hak-hak asasi manusia (human rights) secara terinci.
Hak kodrati manusia juga menjadi inspirasi dalam ilmu ekonomi dan ilmu ekonomi politik, yang bertolak dari prinsip bahwa manusia adalah mahluk bebas yang melekat pada hak kodrati manusia.
Dalam ilmu ekonomi politik, manusia digambarkan (diasumsikan) sebagai mahluk sosial yang bertindak rasional, yang bebas menentukan pilihan dari berbagai pilihat alternatif, untuk memaksimalkan kesejahteraannya.
Pandangan tentang manusia ini sangat penting bagi penataan ekonomi dan politik untuk menciptakan kondisi ekonomi yang efisien dan optimal, serta meningkatkan kesejahteraan manusia.
Faktanya, “manusia harus mempunyai kebebasan penuh dalam menentukan pilihan” merupakan prasyarat utama dalam disiplin ilmu ekonomi untuk menciptakan ekonomi yang optimal.
“Kebebasan manusia menentukan pilihan” ini juga menjadi shock absorber atau penyesuaian otomatis terhadap distorsi eksternal sehingga ekonomi bisa mencapai kondisi optimal kembali, melalui mekanisme pasar. Adam Smith menggambarkan penyesuaian otomatis ini sebagai invisible hands.
“Kebebasan manusia dalam menentukan pilihan’ sebagai prasyarat mutlak untuk menciptakan ekonomi yang lebih baik, sudah terbukti secara empirik. Paham komunisme yang menghilangkan kebebasan manusia dalam berinteraksi di dalam ekonomi, untuk menentukan pilihan demi kepentingannya sendiri, dengan menghilangkan mekanisme pasar, terbukti gagal dan hancur.
Paham komunisme yang mengadopsi central planning atau ekonomi terencana, dengan menghilangkan kebebasan manusia sebagai agen ekonomi, tidak bertahan satu dekade. Rezim Komunis Rusia runtuh pada 1989. Sistem ekonomi komunisme di China bahkan runtuh lebih awal, dengan melakukan reformasi ekonomi pada 1978 untuk mengadopso ekonomi pasar, yang pada dasarnya adalah mengembalikan kebebasan manusia dalam menentukan pilihan produksi, konsumsi, dan menabung.
Berbagai pendalaman ilmu ekonomi tentang perilaku manusia dan sekaligus sebagai konsumen membuktikan bahwa manusia mempunyai preferensi, baik preferensi likuiditas atau preferensi waktu dalam menjalankan aktivitasnya sebagai agen ekonomi. Preferensi identik dengan hak bebas memilih, dan hak tersebut membuat manusia lebih bermartabat dan bahagia, dan ekonomi mencapai kondisi optimal.
Teori preferensi likuiditas menjelaskan penentuan pilihan antara menyimpan uang (likuiditas) atau menabung. Penentuan pilihan ini dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Menurut Keynes, tingkat suku bunga dan pendapatan bunga bukan sebagai imbalan atas menabung, tetapi imbalan atas tidak memilih menyimpan likuiditas (kas): berapa pendapatan bunga yang hilang karena memilih menyimpan kas (likuiditas).
Teori preferensi waktu menjelaskan preferensi seseorang apakah lebih memilih konsumsi saat ini, atau memilih menabung untuk konsumsi di waktu mendatang, dengan mendapat imbalan bunga.
Artinya, teori preferensi waktu mempelajari permasalahan pilihan, antara konsumsi-menabung (consumption-saving): konsumsi hari ini atau konsumsi di hari depan, consumption today or consumption in the future.
Preferensi identik dengan hak bebas memilih, dan hak tersebut membuat manusia lebih bermartabat dan bahagia, dan ekonomi mencapai kondisi optimal.
Ketika hak preferensi dihilangkan, yang berarti hak bebas memilih dihilangkan, maka manusia juga akan kehilangan jatidirinya sebagai manusia, kehilangan martabatnya, dan kehilangan kebahagiaannya.
— 000 —
Political Economy, Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Dasar
Studie perilaku manusia dan hak (asasi) manusia mendapat perhatian dunia secara meluas. Prinsip hak asasi manusia diadopsi dari pemikiran para cendekiawan dan filsuf kala itu, bahwa manusia diciptakan setara, bebas, dan independen, dengan hak kodrati yang sama.
Perserikatan Bangsa-Bangsa memberi perlindungan terhadap hak-hak kodrati manusia, yang tidak bisa dihilangkan oleh siapapun, melalui deklarasi The Universal Declaration of Human Rights (UDHR), pada Desember 1948 di Paris, Perancis. The UDHR berisi 30 pasal yang merinci secara detil tentang hak-hak kodrati manusia.
Dalam konteks hak asasi manusia, pemikiran bangsa Indonesia termasuk maju dan sudah mengadopsi di dalam Undang-Undang Dasar yang disahkan 18 Agustus 1945. Di dalam pembukaan UUD, Indonesia mengutuk penjajahan, yang telah menghilangkan banyak hak kodrati masyarakat terjajah, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan per keadilan. Peri kemanusiaan dan peri keadilan adalah wujud dari hak asasi manusia secara luas.
Amandemen Undang-Undang Dasar pada perioe 1999-2002 bahkan memberi tempat dan perlindungan yang lebih eksplisit terhadap Hak Asasi Manusia, seirama dengan Deklarasi PBB.
Konstitusi Indonesia mengatur Hak Asasi Manusia di dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari Pasal 28A sampai 28J (10 Pasal) UUD.
Perlu digarisbawahi, Pasal 28A sampai 28J UUD mengatur Hak Asasi Manusia. Sekali lagi Hak. Bukan Kewajiban.
— 000 —
Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) Melanggar Konstitusi
Undang-Undang No 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) mewajibkan masyarakat Pekerja harus menabung untuk pembiayaan perumahan rakyat. Kewajiban menabung ini tertuang di dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1).
Pasal 7 ayat (1) mewajibkan Pekerja dan Pekerja Mandiri wajib menjadi Peserta: Setiap Pekerja dan Pekerja Mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi Peserta.
Pendaftaran menjadi Peserta Kewajiban Menabung wajib dilakukan oleh Pemberi Kerja, seperti di atur di Pasal 9 ayat (1): Pekerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) wajib didaftarkan oleh pemberi Kerja.
Dan Pasal 18 ayat (1) mewajibkan Pemberi Kerja membayar kewajiban tabungan Pekerja, dengan memotong dari gaji dan upah Pekerja bersangkutan: Pemberi Kerja wajib mernbayar Simpanan yang menjadi kewajibannya dan memungut Simpanan yang menjadi kewajiban Pekerjanya yang menjadi peserta.
Ketiga Pasal tersebut semua tentang kewajiban atau pemaksaan kepada Pekerja untuk menabung, dengan alasan untuk pembiayaan perumahan rakyat.
Ketiga Pasal tersebut bertentangan dengan hak asasi manusia, hak kebebasan manusia untuk memilih, apakah mau menabung (konsumsi nanti) atau konsumsi sekarang.
Ketiga Pasal tersebut melanggar Pasal 28C ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan ….”.
Untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, dan kebutuhan dasar keluarganya seperti pendidikan, bisa saja kondisi keuangan Pekerja tidak mampu untuk menabung.. Oleh karena itu, pemaksaan menabung akan melanggar hak asasi Pekerja dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Melanggar Pasal 28C ayat (1).
Pasal 28H ayat (1) menyatakan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, berhak bertempat tinggal, …..Dan Pasal 28I ayat (4) menyataan, bahwa negara, dalam hal ini, pemerintah wajib melindung, menegakkan dan memenuhi hak asasi manusia:
Pasal 28H ayat (1): Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Pasal 28I ayat (4): Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Oleh karena itu, Kewajiban Menabung, seperti diatur di Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) UU Tapera, membuktikan bahwa Pemerintah tidak memenuhi kewajiban dan tanggung
jawab konstitusinya, serta membebani masyarakat dengan pengadaan perumahan rakyat, sehingga secara nyata melanggar Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4).
Artinya, kegagalan Pemerintah dalam memenuhi kewajiban konstitusinya, untuk menyediakan dan membangun tempat tinggal kepada rakyat, tidak boleh dibebankan kepada Pekerja, dengan memaksa (mewajibkan) Pekerja untuk menabung, yang mana melanggar hak asasi Pekerja.
— 000 —
UU Tapera Cacat Hukum dan Melanggar Konstitusi
Bukan saja Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 18 ayat (1) UU Tapera melanggar Hak Asasi Manusia yang diatur di dalam UUD, lebih jauh dari itu, UU Tapera secara keseluruhan mengandung cacat hukum dan melanggar konstitusi.
Setiap UU harus dibuat sesuai amanat UUD, dengan merujuk dasar hukum pembuatan UU tersebut, yang dijelaskan di dalam butir “menimbang” dan “mengingat” pada bagian awal undang-undang atau (peraturan).
Di dalam butir “mengingat” angka 1 UU Tapera dijelaskan, bahwa dasar hukum dibuatnya UU Tapera adalah Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H, dan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Makna dari butir “mengingat” angka 1 tersebut memberi impresi, bahwa pembuatan UU Tapera (seolah-olah) untuk, dan sudah, memenuhi perintah pasal-pasal UUD yang disebut tersebut (Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H, dan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3) UUD).
Tetapi, faktanya, tidak ada bunyi di dalam pasal-pasal UUD tersebut yang memberi wewenang kepada pemerintah (dan DPR) untuk membuat UU yang mewajibkan Pekerja untuk menabung, atau kewajiban menabung.
Pasal 20 dan Pasal 21 UUD hanya memberi wewenang konstitusi kepada DPR untuk membuat undang-undang, tetapi bukan memberi wewenang konstitusi kepada DPR untuk membuat UU yang mewajibkan Pekerja untuk menabung.
Pasal 28C ayat (1) UUD menyatakan bahwa “setiap orang mempunyai hak mengembangkan diri untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, mendapat pendidikan, meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan.”
Pasal 28C ayat (1) tersebut hanya mengatur hak (asasi) manusia khususnya terkait hak mengembangkan diri untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, hak untuk mendapat pendidikan, hak untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan. Pasal 28C ayat (1) bukan mengatur kewajiban manusia, apalagi kewajiban menabung bagi Pekerja. Pasal 28C ayat (1) menegaskan hak-hak yang diatur di dalam ayat tersebut sebagai bagian dari hak asasi manusia yang tidak boleh diambil oleh siapapun, dalam kondisi apapun.
Pasal 28H secara penuh berbunyi:
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh
sebagai manusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Pasal 28H juga mengatur hak rakyat Indonesia untuk meningkatkan martabat dan kesejahteraannya, bukan mengatur kewajiban manusia atau kewajiban menabung para Pekerja untuk pembiayaan perumahan rakyat.
Pasal 28H ayat (1) menyatakan secara tegas, bahwa masyarakat berhak mempunyai tempat tinggal. Pengertian “berhak bertempat tinggal” tidak boleh diartikan sebagai kewajiban seseorang, dalam hal ini Pekerja, untuk menabung, untuk memiliki tempat tinggal.
Sedangkan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3) mengatur tentang sistem Jaminan Sosial yang sudah melahirkan dua undang-undang tentang sistem Jaminan Sosial, yaitu undang-undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) tentang Ketenagakerjaan dan tentang Kesehatan.
Perlu dipertegas, bahwa Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3) UUD mengatur tentang pengembangan sistem Jaminan Sosial: bukan mengatur kewajiban menabung. Oleh karena itu, mewajibkan Pekerja untuk menabung atas dasar hukum Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3) secara nyata tidak sah.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka tidak ada satu pasalpun di dalam UUD yang bisa dijadikan dasar hukum yang sah bagi Pemerintah untuk memaksa (mewajibkan) Pekerja untuk menabung.
Sehingga, UU Tapera terbukti cacat hukum karena dibuat tanpa dasar hukum yang sah, bahkan menyimpang dari rujukan hukumnya.
— 000 —
UU Tapera Bertentangan dengan Teori Ekonomi
UU Tapera juga bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi di mana manusia sebagai agen ekonomi mempunyai kebebasan penuh dalam menentukan pilihannya, baik atas dasar rasional maupun irrasional, untuk memaksimalkan kepentingan dan kesejahteraannya.
Sehingga, pemaksaan menabung, atau mewajibkan menabung kepada Pekerja, pada prinsipnya membatasi dan melanggar kebebasan manusia dalam menentukan pilihannya. Pekerja tidak bisa lagi memilih antara konsumsi sekarang atau konsumsi nanti (menabung), karena dipaksa untuk konsumsi nanti dengan mengorbankan kebutuhan (konsumsi) saat ini.
Sebagai konsekuensi, kewajiban menabung dan membatasi kebebasan manusia dalam menentukan pilihan, bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi Pekerja, sehingga mengurangi tingkat kebahagiaan dan kesejahteraan Pekerja bersangkutan, serta membuat ekonomi menjadi kurang optimal.
UU Tapera khususnya bertentangan dengan teori preferensi likuiditas maupun teori preferensi waktu, serta teori utilitas, dan melanggar hak asasi Pekerja karena menghilangkan hak kebebasannya dalam menentukan pilihan yang sesuai dengan kepentingannya, apakah konsumsi sekarang atau konsumsi nanti (alias menabung).
— 000 —
Kesimpulan Ahli
• Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 18 ayat (1) UU Tapera bertentengan dengan konstitusi, bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28I ayat (4).
• Lebih jauh dari itu, UU Tapera secara keseluruhan mengandung cacat hukum, karena dibuat tanpa dasar hukum yang sah.
Jakarta, 9 Desember 2024
— 000 —
12/12/2024.