ilustrasi Ai

CATATAN AENDRA MEDITA *)

DALAM konteks politik di Indonesia, istilah “closing dynasty” seringkali dikaitkan dengan upaya mengakhiri dominasi politik keluarga atau kelompok tertentu yang berlangsung turun-temurun.

Fenomena ini sudah lama menjadi perhatian dalam sejarah dan dinamika politik di Indonesia, baik pada masa lalu maupun masa kini.

“Closing dinasti” adalah istilah yang dapat merujuk pada berbagai konteks, tergantung pada situasinya. Dalam konteks politik atau sejarah, istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan akhir dari suatu sistem atau era yang didominasi oleh satu keluarga atau kelompok tertentu yang memegang kekuasaan.

Dalam konteks lain, seperti bisnis atau seni, ini dapat berarti penutupan atau pengakhiran pengaruh besar dari individu atau kelompok tertentu.

Berikut beberapa sudut pandang terkait politik dinasti dalam sejarah dan kondisi terkini di Indonesia:

Sejarah Politik Dinasti di Indonesia

Masa Kerajaan:

Di masa kerajaan-kerajaan Nusantara (Majapahit, Sriwijaya, Mataram, dan lainnya), sistem politik dinasti adalah hal umum. Kekuasaan diwariskan kepada keluarga kerajaan sebagai bagian dari tradisi monarki. Konflik internal dalam keluarga sering kali memicu perebutan takhta dan runtuhnya dinasti.

Masa Kolonial:

Pemerintahan kolonial Belanda memperkuat sistem politik dinasti melalui kontrol pada raja dan bangsawan lokal. Elite tradisional digunakan sebagai alat untuk mempermudah kolonialisme, tetapi mereka tetap menjadi simbol kekuasaan dinasti lokal.

Orde Lama dan Orde Baru:

Pada masa Orde Lama (Soekarno), dinasti politik tidak terlalu kentara secara formal, meskipun pengaruh keluarga Soekarno cukup besar. Namun, di masa Orde Baru (Soeharto), terlihat munculnya patronase politik berbasis keluarga dan kroni yang sangat kuat, yang terus memengaruhi politik Indonesia hingga setelah reformasi.

Politik Dinasti di Era Reformasi

Reformasi 1998 membuka peluang demokrasi lebih luas, tetapi juga menciptakan ruang bagi munculnya kembali politik dinasti dalam bentuk baru (dalam hal ini pola lain dengan seolah hidden agenda):

Keluarga dan Daerah: Banyak kepala daerah menggunakan jabatan mereka untuk melanjutkan kekuasaan melalui anggota keluarga (ini terlihat di Pilkada). Contoh terkenal adalah keluarga di Provinsi di daerah atau klan politik di daerah itu makin moncer berkuasa. apalagi saat ini bahkan pola koalisai dari partai makin masiv.

Keluarga Presiden: Setelah reformasi, keluarga mantan presiden “tetap” memiliki pengaruh besar. Misalnya, Megawati Soekarnoputri sebagai putri Soekarno menjadi presiden dan terus menjadi ketua PDI-P hingga kini, dengan pengaruh besar terhadap politik nasional. Putrinya bahkan menjadi menteri dan  bahkan kini jadi ketua DPR dan sejumlah familinya berlaga di Senaya. Keluarga Suharto juga masih berada dalam peta politik misalnya dengan mendirikan partai tapi sayangnya kandas. Mantan Presiden Abdurrahman Wahid partainya banyak disisi famili, Atau Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bahkan anaknya pernah jadi Sekjen dan SBY sendirri jadi ambil ketua partai dan kini anaknya yang sulung jadi ketiua partai dan akhirnya masuk dalam kabinet.

UU dan Regulasi Soal Politik Dinasti

Indonesia sebenarnya telah mencoba membatasi politik dinasti melalui UU Pilkada, yang sempat melarang keluarga dekat petahana mencalonkan diri. Namun, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2015 membatalkan larangan ini, dengan alasan setiap warga negara memiliki hak politik yang sama. Hal ini membuka jalan bagi berkembangnya kembali dinasti politik. Dinamika Terkini dalam Pemilu di Pilkada amkin marak, dalam beberapa tahun terakhir, politik dinasti menjadi semakin kentara, terutama dalam Pilkada. Contohnya adalah anak Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, yang menjadi Wali Kota Solo, dan menantunya, Bobby Nasution, menjadi Wali Kota Medan. Hmmm

Perlu Kritik Publik

Jelas sudah banyak pihak mengkritik politik dinasti karena dianggap mengurangi kualitas demokrasi dan memperkuat oligarki. Namun, pendukung politik dinasti sering berargumen bahwa keberhasilan figur seperti Gibran dan Bobby adalah bukti kompetensi individu, bukan sekadar pengaruh keluarga.

Tantangan Mengakhiri Politik Dinasti harusnya Kultur Patronase: Sistem patron-klien masih sangat kuat di banyak daerah, di mana masyarakat cenderung mendukung kandidat yang terkait dengan tokoh terkenal. Oligarki Politik Politik dinasti sering didukung oleh penguasaan ekonomi dan jaringan kekuasaan yang sulit ditandingi oleh individu baru. (bandar bermain sangat fenomena)

Dalam Reformasi, meskipun reformasi politik terus diupayakan, aturan hukum sering kali memberikan celah bagi politik dinasti untuk tetap eksis.

Nah pertanyaanny “Closing Dinasti” Apakah Mungkin, sesuai judul diatas?

Dalam catatan Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI) Kami punya Analisa samapai ke soal apakah Politik Dinasti Baik untuk Indonesia?

Jawaban dari  pertanyaan ini bergantung ternyata pada sudut pandang, dampaknya terhadap demokrasi, serta bagaimana dinasti politik dijalankan. Evaluasi dari sisi positif dan negatif untuk menjawab apakah politik dinasti baik bagi Indonesia adalah:

Dampak Positif Politik Dinasti

Konsistensi Kebijakan: Jika dikelola dengan baik, politik dinasti dapat memberikan kesinambungan dalam kebijakan, terutama jika anggota keluarga memiliki visi yang sama, kalau secara struktur meraka menjalakan demokrasi yang cerdas.

Akses ke Jaringan Kekuasaan: Pemimpin dari dinasti politik cenderung memiliki akses lebih mudah ke sumber daya dan jaringan politik, yang dapat mempercepat pengambilan keputusan atau pembangunan daerah.

Popularitas Figur: Keluarga dari tokoh terkenal sering mendapat kepercayaan publik karena dinilai “meneruskan warisan,” sehingga masyarakat merasa aman dengan kepemimpinan mereka.

Dampak Negatif Politik Dinasti

Mengurangi Kompetisi Sehat: Dinasti politik cenderung menciptakan dominasi yang menghalangi munculnya calon-calon pemimpin baru dan potensial dan cerdas serta punya harapan bagi daerahnya.

Meningkatkan Oligarki: Politik dinasti sering menjadi alat untuk memperkuat oligarki, di mana kekuasaan hanya berputar di lingkaran tertentu yang memiliki (bandar) modal besar.

Korupsi dan Nepotisme: Dalam banyak kasus, politik dinasti meningkatkan risiko korupsi karena cenderung memprioritaskan loyalitas keluarga daripada meritokrasi.

Melemahkan Demokrasi: Ini paling parah, karena Politik dinasti bertentangan dengan semangat demokrasi, di mana setiap individu harus bersaing secara adil berdasarkan kapasitas, bukan karena hubungan keluarga.

Nah saat ini Pertanyaan lanjutannya apa yang pas atau Baik untuk Indonesia, agar politik di Indonesia tetap sehat dan demokratis yang perlu dilakukan adalah Meningkatkan Kualitas Pemilih: Pendidikan politik masyarakat sangat penting agar mereka memilih pemimpin berdasarkan kompetensi, bukan popularitas keluarga. Partai baiknya bikin kaderisasi yang utuh dan sinergi untuk bangun demokrasi yang sehat.

Memperkuat Regulasi: Aturan yang lebih ketat, seperti membatasi peluang politik dinasti di daerah tertentu, dapat membantu mengurangi pengaruh berlebihan dinasti politik.

Dorong Pemimpinan Baru  yaitu perlu ada kebijakan yang mendorong regenerasi pemimpin dari berbagai latar belakang, termasuk profesional dan aktivis. Makan hal ini akan masuk ke transparansi dan kuntabilitas, sehingga dinasti politik harus menjalankan pemerintahan secara transparan untuk membuktikan bahwa mereka layak dipilih bukan karena nama besar keluarga, tetapi karena hasil kerja yang akuntabilitas.

AKhirnya secara umum, politik dinasti tidak ideal untuk perkembangan demokrasi jangka panjang di Indonesia. Meskipun ada beberapa contoh dinasti politik yang berhasil membawa kemajuan (seperti tokoh muda dari keluarga pemimpin), kecenderungan sistem ini adalah memperkuat oligarki dan menghambat kompetisi yang sehat.

Dalam arti hakekatnya saat ini Indonesia yang lebih baik, harus  fokus harus diberikan pada menciptakan sistem politik yang berbasis meritokrasi, di mana setiap individu memiliki peluang yang sama untuk memimpin, tanpa terhalang atau diuntungkan oleh garis keturunan. Dengan demikian, demokrasi Indonesia bisa berkembang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan. Dan baik sekali Politik Indonesia baiknya “Closing Dinasti” bukan bukan lapok baru dan tambahan seenaknya begitu… Tabik…!!!

*)Aendra Medita Analis & Strategi, Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI) Jakarta

Bandung, 12 Desember 2024