JAKARTASATU.COM– Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat (MUI Pusat) KH Cholil Nafis mengunggah Keputusan Ijtimak Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di akun X-nya, Sabtu (14/12/2024). Bahkan menurut Cholil, MUI saat itu sudah membahas dan memutuskan soal plus minus pilkada langsung.
“Saat calon ditentukan oleh partai dan pemilih tdk siap utk demokrasi secara langsung memilih kepala daerah maka perlu dikaji dan disesuaikan dg kondisi masyarakat Indonesia yg beragam di daerah2,” kata Cholil.
Berikut poin-poin Keputusan Ijtimak Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) yang diunggah Cholil:
Keputusan Ijtimak Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada)
1. Proses pemilihan dan pengangkatan kepala daerah sebagai pengemban amanah untuk hirasah al-dîn dan siyâyah al-dunya dapat dilakukan dengan beberapa alternatif metode yang disepakati bersama oleh rakyat sepanjang mendatangkan maslahat dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
2. Pemilihan umum secara langsung dalam penetapan kepemimpinan hanya bisa dilaksanakan jika disepakati oleh rakyat, terjamin kemaslahatannya, serta terhindar dari mafsadat.
Pilkada merupakan salah satu media pembelajaran demokrasi bagi masyarakat daerah dan sekaligus untuk mewujudkan hak-hak esensial individu seperti kesamaan hak politik dan kesempatan untuk menempatkan posisi individu dalam pemerintahan daerah.
3. Pemilukada langsung dimaksudkan untuk melibatkan partisipasi masyarakat secara luas, sehingga secara teori akses dan kontrol masyarakat terhadap arena dan aktor yang terlibat dalam proses pemilukada menjadi sangat kuat.
Dalam konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, pemilukada menjadi pilar yang memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional.
4. Saat ini pemilihan kepala daerah secara langsung memiliki mafsadah yang sangat besar, antara lain; (i) munculnya disharmoni dalam hirarki kepemimpinan secara nasional; (ii) mengakibatkan mahalnya biaya
demokrasi, sehingga menunda skala prioritas
pembangunan masyarakat yang saat ini sedang berada dalam ekonomi sulit; dan (iii) berpotensi membuat konflik horizontal antarelemen masyarakat yang dapat melibatkan unsur SARA; (iv) Kerusakan moral yang melanda masyarkat luas akibat maraknya money politic (risywah siyâsiyyah).
Untuk itu, apabila secara sosiologis-politis dan moral, masyarakat belum siap, maka berdasarkan prinsip mendahulukan mencegah kemafsadatan, pemilihan kepala daerah sebaiknya dilakukan dengan sistem perwakilan dengan tetap menjaga prinsip-prinsip demokrasi.
(RIS)