Aendra Medita (kiri) dan Syahganda Nangiolan (kanan) saat dialog di Kawasan Menteng Jakarta Pusat/jaksat

CATATAN AENDRA MEDITA*)

TULISAN kali ini mengingatkan saya pada tahun 2017, dimana ada kisah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kini presiden RI ke 8) pernah mengatakan mengaku sedih atas kondisi dan system demokrasi yang berlangsung selama ini. Sebab figur-figur yang berprestasi dan berakhlak baik tak mungkin bisa menjadi pemimpin bila tak punya uang.

Bila ada orang yang ingin menjadi kepala daerah seperti gubernur datang kepadanya dalam sistem dan kondisi seperti sekarang ini, kata Prabowo, maka prioritas perhatiannya adalah soal ketersediaan dana yang dimiliki si calon.

“Saya sedih, karena sekarang kalau ada yang mau jadi gubernur datang ke saya, apa pertanyaan pertama yang saya tanyakan kepada dia. ‘Ente punya uang nggak? Saya tidak tanya Anda lulusan mana, prestasinya apa, pernah nulis buku apa, pernah jadi bupati enggak, pernah jadi camat nggak? (Tapi) yang saya tanya, ‘Ente punya uang berapa?,” ungkap Prabowo yang saat itu memberikan sambutan di Pondok Pesantren Al-Islah, Bodowoso, Jawa Timur, Ahad, 23 Juli 2017.

kisah Prabowo itu ada dalam rekaman video berdurasi 20 menit 56 detik yang diunggah ke YouTube oleh Spardaxyz News Channel 24 Juli 2017 itu, hadir di atas panggung sejumlah tokoh seperti Amien Rais masih Ketua Majelis Kehormatan PAN (kini Partai Umat), pengusaha Hashim Djojohadikusumo (adik Prabowo), serta Kiai Maksum sebagai tuan rumah, dan tokoh lainnya.

Pada menit ke-15.22, kisah berlanjut bahwa kata Prabowo kalau untuk menjadi gubernur,  minimal harus punya uang Rp 300 miliar. “Itu paket hemat, pahe.” Ia menyebut Sandiaga Uno sebagai contoh figur yang memiliki uang sendiri untuk maju dalam pilkada di Jakarta wakyu itu.

Menyimak kisah Prabowo ini menarik dan mengelitik. Kami di Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI) Jakarta melihat saat ini dan ada kisah Prabowo, Presiden RI ke 8 di acara Milad Golkar ke 60 di Sentul keluar pernyataan mengenai Pilkada yang dipilih oleh DPRD memang menjadi topik yang kontroversial dan menimbulkan banyak pandangan.

Jika Prabowo menyetujui gagasan tersebut, itu bisa jadi karena pertimbangan Prabowo adalah efisiensi biaya atau stabilitas politik, mengingat proses Pilkada langsung sering kali menelan biaya besar dan memicu konflik politik di daerah, apalagi saat Pilkada Serentak 27 November kemarin sebagai yang berlangsung 543 wilayah, ini untuk 1 putaran yang berpedoman pada UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Jika ada yang 2 putaran ala ma… biaya nambah toh…!

Namun, banyak yang berpendapat bahwa kembalinya Pilkada melalui DPRD bisa melemahkan demokrasi karena mengurangi partisipasi langsung rakyat dalam memilih pemimpin mereka.

Jika Presiden Prabowo menilai pemilihan kepala daerah oleh DPR akan lebih efisien dan menghemat triliunan rupiah. Maka sejumlah partai berkomentar seperti ini: PDIP memandang tak usah Buru-buru soal Gubernur Dipilih DPRD, kareana Suara Rakyat Suara Tuhan. Partai PAN Siap Kaji Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD,
PKB peimnana Muhaimin langsung dukung Ide Evaluasi Pemilihan Langsung di Level Pilkada.

Memang soal beban biaya penyelenggaraan pilkada yang besar membuat Presiden Prabowo Subianto mengusulkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Secara teori, sistem demokrasi perwakilan memang mendasarkan diri pada gagasan bahwa rakyat memilih wakil-wakil mereka di lembaga legislatif (seperti DPRD) untuk mengambil keputusan, termasuk dalam memilih kepala daerah.

Namun, banyak yang mempertanyakan apakah sistem ini benar-benar mencerminkan kehendak rakyat secara langsung? Kita tak tahu, semua serba mungkin.

Kekuatan yang mendukung Demokrasi Perwakilan Melalui DPRD adalah karena: Efisiensi: Mengurangi biaya besar yang dikeluarkan dalam Pilkada langsung. Stabilitas: Mengurangi potensi konflik horizontal yang sering muncul dalam Pilkada langsung. Keseimbangan Kepentingan: Wakil rakyat (DPRD) bisa mewakili aspirasi daerah yang lebih luas.

Tapi terlpas dari itu ada juga yang Kontra dimana Demokrasi Perwakilan Melalui DPRD: Potensi Korupsi: Proses pemilihan di DPRD rawan jual-beli suara atau transaksional terjadi. Ada Jarak dengan Rakyat: Pemimpin yang terpilih mungkin tidak langsung merepresentasikan keinginan rakyat, melainkan partai atau elite politik akhirnya yang nampung keingan partai. Mengurangi Partisipasi Rakyat: Pilkada langsung memberi kesempatan kepada rakyat untuk menyuarakan kehendak mereka secara langsung.

Apakah ini demokrasi?

Secara teori, iya, tapi demokrasi yang lebih “tidak langsung.” Banyak yang merasa bahwa Pilkada langsung lebih sesuai dengan semangat demokrasi partisipatif, di mana rakyat punya kontrol langsung atas siapa yang akan memimpin mereka.

Memutus oligarki

Ada yang menarik dan patut disimak juga bahwa untuk memutus oligarki di Indonesia membutuhkan reformasi mendasar dalam sistem politik, ekonomi, dan budaya kekuasaan. Oligarki adalah cengkeraman segelintir elite yang mengendalikan sumber daya dan keputusan penting, sering kali mengorbankan kepentingan rakyat. Jadi ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk memutusnya:

Reformasi Sistem Pemilu: Penguatan Demokrasi Langsung: Memastikan pemilihan kepala daerah dan presiden tetap melalui rakyat, bukan DPRD. Batasan Dana Kampanye: Membatasi pembiayaan politik oleh korporasi besar agar kandidat tidak tergantung pada oligarki. Transparansi Dana Politik: Semua aliran dana politik harus diaudit dan terbuka untuk publik.

Pemberantasan Korupsi: Penguatan Hukum Jangan tebang pilih, dimana harus memberikan kewenangan penuh kepada penegak hukum untuk memberantas korupsi di semua tingkat, tanpa intervensi dalam proses politik atau saat Pilkada. Harus hukuman Berat yang lebih tegas bagi pelaku korupsi, termasuk hukuman finansial yang signifikan siapa bandar yang melakukan money politic

Pembatasan Kekuasaan Elite: Aturan Anti-Monopoli: Mencegah segelintir orang menguasai sektor strategis. Batas Masa Jabatan: Membatasi posisi penting agar tidak dikuasai keluarga atau kelompok tertentu. Regulasi Konflik Kepentingan: Melarang pejabat publik memiliki kepentingan dan mereka harus awasi.

Partisipasi Rakyat: Pengawasan Publik atau Masyarakat harus terlibat aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan mengkritisi kebijakan yang hanya menguntungkan elite. Edukasi Politik: Meningkatkan kesadaran politik masyarakat untuk memilih pemimpin yang bebas dari kepentingan oligarki.

Ada catatan Media juga harus Independen, karena selmaa ini media ada yang menajdi berpihak, jadi harus mendorong media yang bebas dari kendali korporasi untuk memberitakan kebenaran tanpa takut. Media jelas harus jadi pilar demokrasi.

Dan akhirnya bisa jadi usulan Presiden Prabowo ini mendukung dan memutus oligarki bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga seluruh rakyat. Perubahan hanya akan terjadi jika ada kombinasi antara reformasi sistem dan tekanan masyarakat.  Karena memang menghapus oligarki di Indonesia adalah tantangan besar, tetapi bukan hal yang mustahil jika ada komitmen kolektif dari masyarakat, pemerintah, dan institusi-institusi independen. Langkah ini membutuhkan perubahan struktural dan gerakan rakyat yang konsisten. dan Penegakan Hukum yang Tegas dan Adil dan memastikan tidak ada kekebalan hukum bagi elite yang melanggar undang-undang, termasuk penguasaan ilegal sumber daya negara.

Dan dengan ini menhapusnya oligarki membutuhkan keberanian politik, tekanan rakyat, dan konsistensi penegakan hukum. Proses ini tidak akan mudah, karena oligarki memiliki sumber daya dan kekuatan untuk mempertahankan status quo. Namun, sejarah menunjukkan bahwa gerakan rakyat yang kuat dan terorganisir dapat meruntuhkan kekuatan elite, seperti yang terjadi dalam reformasi 1998.

Ayo kita bergerak dan melihat Indonesia bebas dari oligarki, dukungan masyarakat harus diarahkan untuk menciptakan pemerintahan yang benar-benar berpihak pada rakyat, bukan segelintir elite. Bagaimana menurut Anda apa yang paling mendesak untuk dilakukan sekarang Apa Pilada oleh DPRD dan mungkihkan OLIGARKI cepat DIPUTUS ?? Atau bagaimana? Tabik…!!!

*)Aendra Medita Analis & Strategi, Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI) Jakarta

Kebagusan, Jagakarsa 14 Desember 2024