Menunggu Keberanian MK Memutuskan Pilkada Ulang di Jawa Tengah

Oleh: Untung Nursetiawan
Pemerhati Sosial & Koordinator Komunitas Dewantara Kota Pekalongan

Pemilihan Gubernur Jawa Tengah tahun 2024 menjadi sorotan nasional bukan hanya karena hasil akhirnya yang menuai kontroversi, tetapi juga karena dugaan pelanggaran besar yang menciderai proses demokrasi. Pasangan calon (paslon) Luthfi-Yassin yang memenangkan kontestasi ini dituding memperoleh dukungan masif dan terstruktur dari aparatur negara dan Aparat Penegak Hukum (APH). Fenomena ini memunculkan istilah parcok—singkatan dari “partai coklat”—yang mengacu pada keterlibatan aparat berseragam coklat dalam mendukung pasangan tersebut. Istilah ini kini menjadi simbol dari politik yang tidak sehat, merusak kepercayaan publik, dan melahirkan gugatan serius ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh kubu Andika-Hendi.

Gugatan ini menguji keberanian MK untuk memutuskan secara adil dan tegas demi menjaga marwah demokrasi Indonesia. Jika MK berani memerintahkan pilkada ulang dan mendiskualifikasi paslon Luthfi-Yassin, ini bisa menjadi tonggak baru bagi penegakan demokrasi yang bersih dan berintegritas.

Kritik terhadap pelibatan aparatur negara dalam Pilgub Jawa Tengah semakin mengemuka karena bukti-bukti yang diduga kuat menunjukkan keberpihakan sejumlah elemen penting dalam pemerintahan. Aparat penegak hukum, yang seharusnya netral, diduga terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam pemenangan paslon Luthfi-Yassin. Dalam laporan yang disampaikan oleh kubu Andika-Hendi, terdapat dugaan penggunaan sumber daya negara untuk mobilisasi dukungan politik, intimidasi terhadap pemilih, hingga manipulasi informasi di lapangan.

Istilah “parcok” yang awalnya hanya sindiran kecil kini menjadi narasi besar yang mencerminkan frustrasi publik terhadap keterlibatan aparat dalam politik praktis. Fenomena ini tidak hanya terjadi di tingkat lokal tetapi juga menyiratkan masalah struktural yang lebih luas. Jika ini dibiarkan, integritas proses pemilu, baik pilkada, pileg, maupun pilpres, akan terus terancam.

Dalam upayanya menggugat hasil Pilgub Jateng, kubu Andika-Hendi menghadirkan bukti yang menunjukkan bagaimana pelibatan aparat negara telah menciderai asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber-jurdil). Gugatan ini bukan hanya tentang hasil pilkada, tetapi juga soal menjaga keadilan dan kesetaraan dalam kompetisi politik.

Saat ini, sorotan tertuju pada MK sebagai penjaga konstitusi. Namun, reputasi MK pun sedang dipertaruhkan. Skandal “Sang Paman” sebelumnya telah melukai kepercayaan publik terhadap lembaga ini. Oleh karena itu, keputusan MK atas gugatan ini akan menjadi ujian besar. Apakah MK berani berdiri di atas kebenaran meski harus melawan tekanan politik yang kuat?

Jika MK memutuskan untuk memerintahkan pilkada ulang dan mendiskualifikasi paslon Luthfi-Yassin, maka ini akan menjadi sinyal positif bagi proses demokrasi di Indonesia. Keputusan seperti ini tidak hanya akan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap MK, tetapi juga memberikan efek jera bagi paslon atau partai politik yang mencoba melibatkan aparatur negara dalam kontestasi pemilu di masa depan.

Keputusan untuk memerintahkan pilkada ulang tentu tidak mudah. Selain membutuhkan keberanian, MK juga harus memastikan bahwa keputusan tersebut dapat diterima secara luas oleh masyarakat dan aktor politik. Namun, pilkada ulang bisa menjadi solusi terbaik untuk mengembalikan keadilan dalam kontestasi politik di Jawa Tengah.

Jika pilkada ulang dilaksanakan, pengawasan terhadap prosesnya harus diperketat untuk memastikan bahwa pelibatan aparatur negara tidak terulang. Penyelenggara pemilu, termasuk KPU dan Bawaslu, juga harus lebih berani dan tegas dalam menangani dugaan pelanggaran pemilu. Tanpa perbaikan sistemik, pilkada ulang hanya akan menjadi pengulangan dari masalah yang sama.

Keputusan MK atas gugatan ini akan memberikan dampak jangka panjang bagi demokrasi Indonesia. Jika MK menunjukkan keberanian dan integritas, maka ini akan menjadi preseden penting dalam mencegah pelanggaran serupa di masa depan. Paslon dan partai politik akan berpikir dua kali sebelum melibatkan aparatur negara atau memanfaatkan kekuasaan untuk memenangkan pemilu.

Sebaliknya, jika MK gagal bertindak tegas, maka ini akan menjadi sinyal buruk bagi demokrasi Indonesia. Pelibatan aparatur negara dalam politik praktis akan semakin dianggap lumrah, dan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi akan terus merosot.

Mahkamah Konstitusi adalah benteng terakhir bagi keadilan dalam proses demokrasi. Namun, kepercayaan publik terhadap MK telah terkikis oleh berbagai kontroversi, termasuk skandal “Sang Paman” yang mencuat beberapa waktu lalu. Skandal ini menciptakan keraguan apakah MK masih mampu menjalankan tugasnya secara independen dan bebas dari tekanan politik.

Keputusan atas gugatan Pilgub Jateng menjadi kesempatan bagi MK untuk memulihkan marwahnya sebagai penjaga konstitusi. Keberanian dan keadilan dalam mengambil keputusan akan menunjukkan bahwa MK tetap menjadi lembaga yang dapat diandalkan untuk menegakkan demokrasi.

Jika MK memutuskan untuk mendiskualifikasi paslon Luthfi-Yassin dan memerintahkan pilkada ulang, maka ini akan menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Paslon dan partai politik akan lebih berhati-hati dalam bertindak, sementara masyarakat akan semakin percaya pada sistem demokrasi.

Selain itu, keputusan ini juga bisa memberikan harapan baru bagi pemilu-pemilu mendatang. Dengan adanya preseden ini, pelanggaran seperti pelibatan aparatur negara atau penyalahgunaan kekuasaan dapat diminimalkan. Demokrasi yang sehat hanya bisa terwujud jika semua pihak, termasuk penyelenggara pemilu, paslon, dan partai politik, berkomitmen untuk menjaga integritas proses pemilu.

Pilgub Jawa Tengah tahun 2024 telah menjadi ujian besar bagi demokrasi Indonesia. Dugaan pelibatan aparatur negara yang masif dan terstruktur dalam mendukung salah satu paslon mencederai asas keadilan dan kesetaraan. Gugatan yang diajukan kubu Andika-Hendi ke MK kini menjadi harapan terakhir untuk mengembalikan keadilan dalam proses pemilu.

Keputusan MK atas gugatan ini tidak hanya akan menentukan nasib Pilgub Jateng, tetapi juga masa depan demokrasi di Indonesia. Jika MK berani mengambil keputusan yang tegas dan adil, maka ini akan menjadi langkah besar untuk mencegah pelanggaran serupa di masa depan dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi. Semoga MK menunjukkan keberanian dan integritasnya sebagai penjaga konstitusi.