Ilustrasi AI | WAW

Seorang Perempuan dan Sepotong Senja di Terminal

Cerpen
Wahyu Ari Wicaksono
Beberapa lampu yang sudah tidak terlalu terang yang ada di halte bus sunyi itu mulai dinyalakan. Seiring bayangan gelap yang mulai menyelimuti, senja merangkak pelan, menyisakan langit dengan semburat oranye keemasan. Angin berdesir pelan membawa aroma tanah yang basah selepas hujan. Seorang perempuan muda berdiri dengan clipboard di tangan, mengenakan blazer krem khas wanita karir yang rapi. Di depannya, seorang pria paruh baya mengenakan kaos oblong dirangkap jaket outdoor lusuh dan bercelana kargo, duduk santai di bangku halte seraya menghisap rokok yang nyaris habis.
“Maaf, Pak. Saya sedang melakukan survei kecil tentang emansipasi perempuan untuk program pengarusutamaan gender yang tengah digodok pemerintah. Bolehkah saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada bapak?” ujar perempuan itu dengan nada formal, walau tersirat sedikit ketegangan halus dalam intonasi suaranya.
Pria itu mengangguk pelan, sejenak menepuk rokoknya hingga abu terakhir jatuh. “Silakan saja. Tapi jangan terlalu serius, ya. Dunia ini sudah cukup berat,” jawabnya santai.
Perempuan itu tersenyum tipis. “Baiklah. Pertanyaan pertama: Jika bapak bepergian dengan bus dan seorang perempuan naik, lalu dia tidak memiliki tempat duduk yang tersedia, apakah bapak akan memberikan tempat duduk bapak untuknya?”
Pria itu mengangkat alis, sambil tersenyum kecil ia menjawab. “Tidak.”
Perempuan itu tampak sedikit terkejut, namun ia mencoba untuk tetap bersikap wajar dan profesional. “Lalu bagaimana sikap bapak jika perempuan yang naik bus itu hamil? Apakah bapak akan memberikan tempat duduk untuknya?”
“Tidak,” jawab pria itu dengan dingin dan nada datar, seolah pertanyaan tersebut terlalu sederhana untuk dipikirkan.
Perempuan itu mengerutkan dahi. Ia mencatat sesuatu di clipboard-nya, menghela napas dalam sebelum melanjutkan pertanyaannya. “Bagaimana jika perempuan yang naik bus itu seorang ibu-ibu tua? Apakah kali ini bapak akan memberikan tempat duduk bapak?”
Pria itu menyeringai dan tertawa kecil, meski lirih namun masih terdengar suara tawanya yang serak seperti mesin bus yang sering mogok. “Tidak.”
Sontak perempuan itu pun mendongak, kini ia benar-benar menatap sinis pada pria itu. “Wah… ternyata bapak seorang pria yang sangat egois ya? Bapak sama sekali tidak punya adab dan sopan santun. Kalian semua lelaki sama saja!” jerit suaranya terdengar meninggi, matanya berkilat seperti api kecil yang baru disulut.
Pria itu menghela napas panjang, lalu menatap perempuan itu dengan senyum yang samar. “Waduuuuh…. Tidaklah mbak. Sepertinya mbak salah paham. Masalahnya saya adalah seorang sopir bus mbak,”ujarnya membela diri.
Sontak, keheningan seperti mendadak jatuh menyiram mereka. Perempuan itu ternganga takjub, ia membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar. Ia hanya berdiri mematung, wajahnya memerah seperti mawar yang baru tersiram hujan.
“Begini,” pria itu melanjutkan, memecah keheningan. “Setiap hari saya mengemudi selama sepuluh jam, mengantarkan orang-orang ke tempat yang mereka tuju. Anak sekolah, pekerja kantoran, ibu-ibu dengan belanjaan berat, bahkan kadang pasangan yang sedang bertengkar. Saya tidak duduk untuk istirahat. Saya duduk karena saya harus. Kalau saya berdiri, siapa yang akan mengemudikan bus?” imbuhnya memecah keheningan.
Wanita itu menunduk, menatap clipboard-nya dengan tatapan kosong. Sesuatu dalam logika pria itu menusuk benaknya, seperti jarum kecil yang menyadarkan.
“Tapi, kalau kita bicara soal emansipasi, mungkin Mbak punya pandangan lain,” pria itu menambahkan. “Mbak tahu, di dunia saya, emansipasi itu sederhana. Perempuan juga bisa jadi sopir bus, kenapa tidak? Bahkan, saya punya rekan kerja perempuan yang lebih sabar menghadapi penumpang rewel daripada saya.”
Perempuan itu pun mendongak perlahan, matanya kini penuh rasa ingin tahu. “Apa yang bapak maksud dengan ‘emansipasi sederhana’?”
“Ah, itu pertanyaan yang bagus,” pria itu berkata sambil menggaruk dagunya. “Emansipasi, menurut saya, adalah memberi orang kebebasan memilih. Mau duduk, berdiri, bekerja, atau berhenti. Semua itu soal pilihan, bukan paksaan. Kalau mbak mau memahami orang lain, mbak harus tahu dulu apa yang mereka pilih, bukan sekadar menghakimi dari apa yang terlihat.”
Perempuan itu terdiam. Kali ini, ia tidak mencatat apa pun. Dalam kepalanya, kata-kata pria itu berputar-putar, menggugah pikirannya seperti buku yang baru dibuka.
“Jadi, kalau mbak bertanya apakah saya akan memberikan tempat duduk saya kepada perempuan tua, wanita hamil, atau siapa pun,” pria itu melanjutkan, “jawaban saya tetap tidak. Tapi itu bukan karena saya egois. Itu karena tugas saya adalah memastikan mereka sampai ke tujuan dengan aman, bukan berdiri untuk sopan santun yang salah tempat.”
Akhirnya perempuan itu tertawa kecil, tawa yang terdengar lepas dan jujur. “Pak, Anda benar-benar filosofis untuk ukuran seorang sopir bus.”
Pria itu tertawa, kali ini lebih keras. “Mbak, semua sopir bus itu filsuf lho. Cobalah duduk di belakang kemudi selama sepuluh jam sehari. Mbak akan punya banyak waktu untuk berpikir tentang hidup, tentang orang-orang, dan tentang kursi kosong yang selalu ada di setiap perjalanan.”
Senja semakin memudar, menyisakan langit yang berangsur kelam. Semua lampu telah dinyalakan, kecuali beberapa yang sepertinya rusak tak bisa menyala. Perempuan itu menutup clipboard-nya, lalu menjulurkan tangan. “Terima kasih, Pak. Survei saya hari ini sangat membuka wawasan.”
Pria itu menjabat tangan perempuan itu dengan erat, lalu berdiri. “Sama-sama mbak. Tapi ingat ya mbak, jangan terlalu serius memikirkan kursi kosong. Kadang, kursi kosong itu ya hanya sebuah kursi kosong.”
Wanita itu tersenyum, menatap pria itu yang berjalan kembali ke busnya. Mesin bus menderu, lampu-lampunya bus pun Nampak menyala, dan perlahan bus itu melaju, meninggalkan halte dengan anggun.
Di bangku halte yang kini kosong, perempuan itu duduk sejenak. Dalam diam, ia merenungkan segala hal yang baru saja terjadi, merasa bahwa sore ini, ia telah belajar sesuatu yang lebih dari sekadar survei. []