JAKARTASATU.COM– Pengamat pemilihan umum sekaligus Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini seperti ragu bahwa pemilukada oleh DPRD tidak mahal sebagaimana yang disinggung oleh pejabat negara. “Seingat saya dulu sebelum beralih ke pemilihan langsung oleh rakyat, keluhan pemilihan di DPRD adalah juga soal mahalnya harga per-kursi dan joroknya permainan dalam proses pemilihannya,” ungkap Titi, di akun X-nya, Senin (16/12/2024).
Soal itu, menurut Titi bukanlah akar masalahnya. Ia memberi tahu di mana sebenarnya akar masalah soal pemilu(kada).
“Jadi mau benahi simpton/gejalanya saja atau mau selesaikan sampai ke akar masalahnya? Akar masalahnya ada di mana? Perilaku koruptif oleh aktor politik,” katanya.
Titi mengingatkan semua pihak bahwa perubahan sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dari pemilihan oleh DPRD menjadi pemilihan langsung melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 dilatarbelakangi oleh praktik politik uang yang tinggi, di mana terjadi jual beli dukungan atau jual beli kursi dan suara dari para anggota DPRD demi keterpilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh para anggota DPRD (candidacy buying).
Selain itu, kata Titi, pada saat itu juga terjadi protes dan keberatan warga akibat keterputusan aspirasi dan representasi karena calon yang dipilih oleh DPRD tidak sejalan dengan apa yang menjadi aspirasi dan kehendak masyarakat sehingga di sejumlah daerah kantor DPRD dirusak akibat masyarakat yang tidak puas dengan hasil pemiliha oleh DPRD.
Menurut dia, kita ini perlu mengevaluasi dan belajar pula dari Pilkada 2024, di mana meskipun rakyat memilih secara langsung wakilnya di eksekutif daerah melalui Pilkada tetapi tetap saja peran dan pengaruh partai sangat besar dalam pencalonan pilkada.
“Hal itu berakibat tingginya suara golput dan juga suara tidak sah karena pemilih merasa tidak terwakili dan kecewa dengan calon-calon yang diusung oleh partai. Hal tersebut bisa semakin buruk apabila pemilihan benar-benar sepenuhnya dilakukan tidak langsung melalui wakil-wakil partai di DPRD,” kata Titi.
“Kedaulatan rakyat makin tersandera dan masyarakat makin tidak punya posisi tawar sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam bernegara,” imbuhnya.
Apabila pemilihan dikembalikan ke DPRD mungkin saja biayanya menjadi lebih murah, kata Titi. Tapi kata dia tidak serta-merta menghilangkan praktik politik uang dan juga politik biaya tinggi dalam proses pemilihannya.
Sebab menurutnya yang menjadi akar persoalannya, yaitu buruknya penegakan hukum dan demokrasi di internal partai tidak pernah benar-benar dibenahi dan diperbaiki. Kita malah seolah hanya memindahkan persoalan dari ruang publik ke dalam ruang-ruang tertutup di DPRD.
“Namun, dampaknya sangat besar, yakni kedaulatan rakyat menjadi tersandera dan masyarakat bisa semakin dijauhkan dari urusan-urusan publik. Tata kelola bernegara hanya menjadi urusan eksklusif dari politisi partai politik,” tekannya.
“Hal itu bisa bisa tereskalasi menimbulkan ketidakpuasan dan juga kemarahan politik yang bisa berdampak buruk bagi kepercayaan publik dan dukungan bagi tata kelola pemerintahan di daerah,” katanya lagi.
Selain itu, Titi mengingatkan bahwa (sudah ada) putusan Mahkamah Konstitusi No.55/PUU-XXII/2019 yang menyatakan bahwa pembentuk undang-undang jangan acap kali mengubah mekanisme pemilihan langsung yang ada di Indonesia. “Serta yang terakhir ada pula Putusan Mk No.85/PUU-XX/2022 di mana Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pilkada adalah Pemilu sehingga harus diselenggarakan sesuai dengan asas dan prinsip Pemilu yaitu luber dan jurdil.”
“Serta pelaksanaannya dilakukan oleh penyelenggara pemilu yang juga menyelenggarakan pemilu legislatif dan pemilu presiden, yakni KPU, Bawaslu, dan DKPP,” tekannya.
Dalam pandangannya, lebih baik pemerintah fokus menata konsolidasi demokrasi di Indonesia tanpa harus banyak membuat narasi yang bisa menimbulkan kontroversi karena mempreteli hak rakyat dalam nerdemokrasi. Terlalu banyak kontroversi bisa mengganggu konsentrasi pemerintahan Probowo dalam melaksanakan program pembangunan dan pemenuhan janji-janji politiknya.
“Itu sangat kontradiktif. Pembentuk UU mestinya fokus merevisi UU Pilkada sehingga persoalan-persoalan terkait dengan politik uang, lemahnya penegakan hukum,dan problematika integritas partai politik serta penyelenggara pemilu bisa dibenahi serius,” kata Titi.
Selain efisiensi juga bisa dilakukan tanpa harus mengembalikan pemilihan langsung menjadi pemilihan DPRD, caranya antara lain dengan melakukan pengaturan tranparansi dan akuntabilitas dana kampanye secara serius dan efektif sehingga bisa menekan dana-dana ilegal yang dikeluarkan oleh parpol dan calon.
Kemudian juga bisa dilakukan dengan mengurangi biaya-biaya seremonial dalam penyelenggaraan pemilu yang mestinya tidak perlu dialokasikan.
“Contohnya menghapus pemborosan yang dilakukan oleh KPU dimana mereka menggunakan private jet ketika melakukan kunjungan ke daerah serta fasilitasi mobil dinas yang lebih dari satu (Alphard dan Palisade). Juga membatasi kegiatan-kegiatan yang fantastis dan intens di hotel-hotel mewah padahal bisa diselenggarakan secara lebih sederhana dan efisien berbasis prioritas,” usulnya.
“Anggaran penyelenggaraan pemilu 2024 sebesar 70T lebih bisa diaudit untuk tahu di mana pemborosannya. Apabila hal itu dilakukan, maka juga bisa berkontribusi mengurangi biaya dalam penyelenggaraan pemilu tanpa harus memberangus suara dan hak rakyat yang hanya diberikan lima tahun sekali itu,” tandasnya. (RIS)