Jadi Lembaga Super-Power yang Membingungkan, OJK Harus Dibubarkan?
Oleh: Revki A. Maraktifa *)
Dalam tatanan hukum dan ekonomi Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan lembaga yang lahir dari UU No. 21 Tahun 2011 sebagai pengawas sektor jasa keuangan, menggantikan peran pengawasan Bank Indonesia. Namun, hampir satu dekade sejak berdirinya, berbagai polemik dan kritikan tajam terus mengemuka, memunculkan wacana bahwa OJK tidak hanya gagal dalam menjalankan tugasnya, tetapi justru menjadi penyebab dari ketidakpastian hukum dan ekonomi yang merugikan masyarakat luas.
Lahir dengan Landasan Hukum yang Dipertanyakan
OJK dibentuk dengan dalih memperkuat pengawasan sektor keuangan yang dianggap lemah dan kurang terintegrasi. Namun, dari sisi konstitusionalitas, terdapat pandangan yang menilai pembentukan OJK melanggar prinsip-prinsip dasar dalam UU Bank Indonesia (Pasal 34 Ayat 2) yang semestinya memegang peran utama dalam stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, dasar hukum pembentukan OJK dianggap cacat demi hukum. Apakah ada kegentingan nasional yang memaksa lahirnya lembaga ini? Jawabannya masih kabur.
Saya ingin mengingatkan kepada Bank Indonesia dimana revisi UU No. 23 Tahun 1999 sebenarnya menegaskan bahwa penyerahan fungsi pengawasan perbankan kepada OJK adalah bentuk perampasan kewenangan Bank Indonesia sebagai bank sentral. Hal ini menimbulkan dualisme hukum perbankan dan melemahkan pilar-pilar fundamental Bank Indonesia, yaitu: Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta Mengatur dan mengawasi bank.
Dengan adanya OJK, kewenangan fundamental Bank Indonesia telah dikebiri, mengakibatkan kebingungan sistemik dan lemahnya koordinasi dalam pengawasan sektor keuangan.
Kegagalan Pengawasan dan Kebobrokan Sistem Keuangan
Alih-alih memperbaiki sistem keuangan, OJK justru menjadi saksi bisu atas maraknya permasalahan seperti:
Pembiaran terhadap Fraud dan Pencucian Uang: Berbagai kasus perbankan yang melibatkan kejahatan pencucian uang (TPPU) tidak ditangani dengan tuntas. OJK tampak seperti penonton pasif, bukan pengawas aktif.
Tekanan Psikologis dan Debt Collector: Fenomena penagihan utang yang kasar dan merendahkan martabat melalui debt collector semakin menggila, khususnya pada kasus FinTech dan Peer-to-Peer Lending. OJK seolah cuci tangan, tidak memihak rakyat kecil yang kerap menjadi korban.
Beban Pungutan Tidak Transparan: Pelaku usaha jasa keuangan dibebani berbagai pungutan tanpa kejelasan manfaatnya, membuka peluang tindak pidana di baliknya.
Pengaburan Fungsi Bank Sentral: Dalam praktiknya, OJK cenderung bertindak sebagai pemilik kewenangan Bank Indonesia, yang justru menciptakan konflik peran dan kebingungan di tataran hukum perbankan nasional.
Jika fungsi pengawasan yang menjadi raison d’être OJK justru tidak berjalan, lalu untuk apa lembaga ini dipertahankan?
Perlindungan Konsumen yang Semu
Di saat masyarakat mengalami kerugian akibat penyalahgunaan layanan jasa keuangan, OJK hanya memberikan ruang pengaduan yang sangat terbatas. Kerugian nasabah perbankan hanya bisa dilayani jika di bawah Rp 500 juta, sementara kasus perasuransian dibatasi hingga Rp 750 juta. Ini adalah penghinaan terhadap keadilan bagi masyarakat yang miskin dan rentan.
Pengaduan masyarakat sering kali tidak mendapat respons yang layak, menandakan bahwa OJK gagal melindungi konsumen sebagaimana diamanatkan undang-undang.
Kelembagaan yang Membebani, Bukan Menyehatkan
OJK sering digambarkan sebagai superbody dengan kewenangan besar, namun minim akuntabilitas. Lembaga ini tidak hanya gagal membawa stabilitas keuangan, tetapi juga turut menambah beban bagi pelaku industri jasa keuangan melalui regulasi yang tumpang tindih dan bahasa hukum yang alay alias tidak jelas.
Selain itu, tidak ada track record signifikan dari OJK dalam hal penyehatan perbankan, penguatan daya beli masyarakat, maupun stabilitas sektor keuangan secara keseluruhan. Yang terlihat justru tumpukan permasalahan baru akibat lemahnya eksekusi pengawasan.
Dualisme Fungsi Bank Sentral
Dalam Surat Terbuka yang pernah saya layangkan untuk Gubernur Bank Indonesia, ditegaskan bahwa revisi UU Bank Indonesia diperlukan untuk mengembalikan tiga pilar utama bank sentral. Dualisme ini berawal dari:
Pasal 23 Ayat (2) UU No. 23 Tahun 1999 yang telah dilanggar dengan pembentukan OJK.
OJK dirancang secara politis, bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan sebagai alat kepentingan pihak tertentu.
Revisi UU Bank Indonesia bertujuan untuk mengembalikan tugas, fungsi, dan kewenangan pengawasan perbankan ke pangkuan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang sesungguhnya.
Solusi: Membatalkan UU No. 21 Tahun 2011
Melihat berbagai persoalan di atas, sudah saatnya kita kembali ke zero point dalam tata kelola sektor keuangan nasional. Pembentukan OJK yang didasarkan pada UU No. 21 Tahun 2011 tidak hanya cacat hukum, tetapi juga gagal memenuhi kebutuhan negara dan masyarakat.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif harus mempertimbangkan penerbitan Perppu untuk membatalkan UU ini dan mengembalikan fungsi pengawasan perbankan ke Bank Indonesia. Pembubaran OJK bukanlah langkah mundur, melainkan upaya untuk merestorasi kewibawaan hukum, melindungi rakyat, dan memastikan stabilitas sistem keuangan yang lebih efektif.
Sekali lagi saya ingin mengingatkan, sebuah negara hukum harus berani mengoreksi kesalahan dan menegakkan keadilan bagi rakyatnya. Jika keberadaan OJK justru menyengsarakan masyarakat, maka pembubaran lembaga ini adalah langkah logis dan konstitusional.
Sudah saatnya hukum yang berdaulat berdiri tegak demi kesejahteraan rakyat, bukan menjadi alat pemuas kepentingan segelintir pihak. Demi Indonesia yang lebih adil dan berkeadilan, mari kita berani berpikir ulang tentang OJK: Apakah keberadaannya masih relevan, atau justru menjadi penghambat kemajuan bangsa?
Sekali lagi menurut penulis, OJK jelas harus dibubarkan karena pembentukannya melanggar batas waktu 31 Desember 2010, pasal 34 (2) UU BI. OJK mengambil 2/3 kewenangan BI dan menyebabkan terjadinya dualisme “Bank Sentral”. OJK tidak melindungi konsumen, justru menjadi beban perbankan yang mengakibatkan perbankan menjadi jahat, serta merugikan keuangan negara & konsumen.
*) Penulis adalah Musisi, Pelukis, dan Advokat Spesialis Hukum Perbankan